Rabu 20 Mar 2019 16:07 WIB

Simpati Rakyat Australia Pascatragedi Christchurch

Banyak rakyat Australia memberikan dukungan kepada umat Muslim.

Warga berdoa untuk para korban penembakan di dekat Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19 /3/ 2019).
Foto: AP/Vincent Thian
Warga berdoa untuk para korban penembakan di dekat Masjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19 /3/ 2019).

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf*

Meskipun terpisah 2.000 kilometer di bagian tenggara Australia, Selandia Baru adalah negara tetangga di Oceania dan berada di benua yang sama. Kejadian penting yang terjadi di Selandia Baru, relatif cepat mendapat respon di Australia, begitu pula sebaliknya.

Waktu pelaksanaan Shalat Jumat pun tak jauh berbeda. Selandia Baru lebih awal dua jam dibanding Melbourne. Sesaat setelah menyelesaikan Shalat Jumat, seorang kawan yang tinggal di Selandia Baru mengabarkan lewat akun media sosialnya, telah terjadi penembakan di dua masjid di Kota Christchurch saat Shalat Jumat berlangsung.

Rasa marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk menjadi satu setelah mengetahui banyaknya jumlah korban dan pelakunya adalah warga Australia. Saya semakin marah setelah membaca pernyataan Fraser Anning, seorang senator dari Queensland, Australia yang justru menyalahkan umat Islam atas kejadian teror di Selandia Baru itu.

Tapi setidaknya, kekesalan saya sedikit terlampiaskan setelah Will 'Egg Boy' Connolly, memukulkan telur ke kepala Fraser Anning. Lewat aksi kontroversialnya, Si Egg Boy berhasil menarik perhatian masyarakat dunia sehingga muncul tagar #EggaNAZI. Remaja Melbourne itu tidak terima suatu agama dan pemeluknya dilabeli secara sepihak dan rasis, seolah-olah Islam adalah akar dari semua penyebab kekerasan dan orang Islam adalah komunitas yang penuh kekerasan pula.

Sehari setelah tragedi Christchurch, tak sedikit teman dan warga Australia (yang notabene tidak beragama Islam), memberi respon dengan menunjukkan solidaritas dan dukungan. Dari sekadar bertanya apakah ada kerabat yang menjadi korban hingga memberikan kartu ucapan atau karangan bunga dan meletakkan di depan masjid-masjid atau tempat ibadah umat Islam lainnya. Ada pula yang sengaja datang dan menemui tokoh komunitas Muslim untuk menyampaikan ucapan solidaritas dan dukungannya secara langsung.

Kebetulan juga, Ahad (17/3) telah diprogramkan sejak lama, kegiatan Open Mosque 2019 yang diikuti sekitar 10 masjid se-negara bagian Victoria. Meskipun ada imbauan untuk tetap tenang dan waspada, setelah berkoordinasi dengan pihak kemananan dan pemerintah setempat, penyelenggara acara memutuskan tetap menyelanggarakan acara tersebut. Pertimbangannya justru menjadikan open mosque sebagai forum strategis untuk menjembatani perbedaan dan menghilangkan miskonsepsi yang ada selama ini terhadap Islam, Muslim, dan keberadaan masjid itu sendiri.

Harus diakui, Islamophobia masih terjadi di Australia, apalagi trauma Bom Bali yang melekat dalam memori kolektif masyarakat Australia karena banyak warga Australia yang menjadi korban saat itu. Framing media dan komentar oknum politisi juga seringkali memperkeruh suasana. Realitas inilah yang kami rasakan sebagai minoritas, meski secara umum Australia sangat ramah dan toleran, apalagi kehidupan agama adalah urusan individu.

Alhamdulillah, dukungan masyarakat sekitar sungguh luar biasa dalam kegiatan Open Mosque. Mereka terus berdatangan sepanjang hari, dari pagi sampai sore. Ratusan orang dari berbagai komunitas, perwakilan gereja, council, tetangga sekitar, mengunjungi Masjid Westall, tempat komunitas Muslim dari Indonesia sering berkegiatan.

Simpati juga datang dari kampus tempat saya belajar, Monash University. Di kampus yang mahasiswa aktifnya berjumlah 70 ribu orang ini, secara resmi, rektor mengirim email ke seluruh civitas akademika menyatakan belangsungkawa dan mengutuk aksi teror di Selandia Baru. Kampus mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berduka. Tak berhenti di situ saja, kampus juga menjadwalkan penyelenggaraan doa bersama lintas agama.

Terorisme, kebencian, dan kekerasan tidak akan pernah menang. Kelembutan hati, persaudaraan, dan rasa damailah yang lebih bisa menyatukan manusia. Dan itulah seharusnya yang selalu ditunjukkan dan menjadi bagian penting dari identitas Islam.

Kia Kaha, stay strong NZ! Abqa qawiyyan wa tasydidul ukhuwah, brothers and sisters!

*) Peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, PhD candidate di Faculty of Arts Monash University Australia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement