Oleh: Faozan Amar*)
"Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.” - Buya Hamka, sebagaimana dikutip dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1983) karya Rusydi Hamka.
Kue bika adalah kue tradisional yang terbuat dari tepung beras, kelapa parut, dan gula. Kita sering mendengar kue bika Ambon (Maluku), padahal itu berasal dari Medan (Sumatra Utara).
Namun, ada juga kue bika tradisional Minang (Sumatra Barat), tempat asal Buya Hamka. Cara memasak kue bika dipanggang menggunakan periuk tanah yang dipanaskan di atas tungku api dan diberi pasir.
Proses ini membuat adonan matang sempurna dengan menggunakan api atas dan bawah, serta memberikan cita rasa tersendiri.
Sebagai seorang ulama yang juga sastrawan, Buya Hamka pandai membuat analogi terhadap organisasi yang dipimpinnya saat itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beliau menggambarkan MUI ibarat kue bika, yang diapit dua kepentingan.
"Api dari atas" yakni dari pemerintah dan "api dari bawah" yaitu dari umat.
Karena itu, agar tidak gosong atau terlalu jauh dari umat, MUI harus menjaga keseimbangan agar matang dengan sempurna.
Kue Bika mewakili MUI sebagai lembaga yang berada di tengah-tengah. Api dari atas merupakan “tekanan” dan harapan dari pemerintah agar MUI tunduk atau mendukung kebijakan mereka.
Adapun api dari bawah merupakan keluhan, kritik, dan aspirasi dari masyarakat/umat yang harus diperhatikan dan menjadi "suara" dari MUI. Dengan begitu, umat Islam merasa mendapatkan bimbingan, nasihat, dan arahan dari para ulama agar senantiasa berada di jalan benar yang diridhai Allah SWT.
Apa tujuan Buya Hamka mengibaratkan MUI seperti kue bika yang dibakar di antara dua bara api ini?
Kue bika ini haruslah matang dengan sempurna sehingga enak untuk dinikmati. Tidak gosong dalam salah satu bagiannya.
Maka tafsirannya adalah, MUI harus bisa menjadi penyeimbang (tawazun) antara kepentingan pemerintah dan umat.
Hal itulah yang sekarang menjadi moto dari MUI, yakni pertama sebagai khadimul ummah yang berperan untuk melayani, membimbing, dan melindungi umat Islam. Bimbingan itu terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan tuntunan agama, agar tidak keliru.
Dalam istilah KH Ma'ruf Amin: "Yang keras dilunakkan, dan yang lunak dikeraskan sehingga menjadi umatan wasatha (umat tengahan)."
Kedua, sebagai shadiqul hukumah, MUI menjalin kemitraan dengan pemerintah, seperti memberikan masukan, saran, dan pandangan untuk mendukung kebijakan yang berpihak pada kepentingan umat yang lebih luas. Bahkan, MUI juga mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah walaupun mungkin masih jauh dari cukup.
Namun, MUI juga memberikan kritik apabila kebijakan pemerintah keliru, merugikan umat, dan bertentangan dengan undang-undang. Itulah hakikat dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan tugas pokok para ulama sebagai waratsatul anbiya.
Tentu kita berharap MUI dapat menjadikan kedua peran tersebut sebagai platform dalam setiap gerakan yang dilakukan.
Tantangannya adalah, jika MUI terlalu berat ke atas, akan putus hubungan dengan rakyat dan dianggap tidak mendukung umat.
Jika MUI terlalu berat ke bawah, akan kehilangan dukungan dari pemerintah dan dianggap tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Jika kita melihat “asbabul wurud” kelahiran MUI 50 tahun silam, tepatnya pada 25 Juli 1975, lembaga ini merupakan respons pragmatis dan sekaligus ideologis terhadap kebutuhan umat dan negara.
MUI hadir di tengah adanya “tensi” antara kelompok tradisional yang berpegang teguh pada warisan salaf dan kelompok modernis yang menekankan pembaharuan dan rasionalitas (Azra, 2017).
Dalam konteks Indonesia, "perpecahan" historis antara pesantren (Nahdlatul Ulama) dan organisasi pembaharu (Muhammadiyah) sering menjadi sorotan (Dhofier, 1982).
Maka, MUI hadir sebagai upaya rekonsiliasi kebangsaan, sebuah platform yang menyatukan kedua kutub ini untuk tujuan yang lebih besar.
Inilah yang harus menjadi pengingat dan pedoman bagi para pengurus MUI di semua tingkatan dalam menyusun komposisinya.
Fungsi utama MUI bukan hanya sebagai penghimpun suara umat, melainkan sebagai penjamin legitimasi keagamaan bagi kebijakan publik. Contohnya, ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang vaksin Covid-19 halal. Sejak itu, vaksinasi Covid-19 berjalan mulus.
Begitu pula fatwa tentang haramnya riba, yang menyuburkan industri berbasis syariah sebagai penopang ekonomi bangsa.
MUI adalah jembatan yang unik: produk kontemporer yang diciptakan oleh negara, tetapi memiliki otoritas yang berakar kuat pada tradisi keulamaan dan kecendekiawanan. Keberadaan MUI mencerminkan upaya bangsa untuk menciptakan sintesis harmonis antara keagamaan dan kenegaraan (Tholkhah, 2018).
Karena itulah, Musyawarah Nasional XI MUI pada 2025 yang bertemakan “Meneguhkan Peran Ulama Untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa dan Kejahteraan Rakyat”, menjadi ajang refleksi.
Ini juga dapat mewadahi proyeksi dalam menyusun program dan kebijakan. Ini bukan hanya mendukung program pemerintah, tetapi juga menyuarakan dan mengawal aspirasi umat agar mereka mandiri dan sejahtera.
Sejarah mencatat, pada 17 September 1975, Buya Hamka membuktikan filsafat kue bika itu ketika bertandang ke Istana Negara. Dengan sikap bersahabat tetapi transparan, Hamka mengungkapkan kepada presiden RI saat itu, Soeharto, tentang kegelisahan kaum Muslimin terhadap penyebaran misi zending di kantong-kantong kemiskinan umat.
Gayung pun bersambut. Melalui pendekatan yang persuasif dan argumentatif, presiden Soeharto akhirnya menggulirkan pernyataan yang cukup melapangkan dada umat Islam: “Kiat-kiat mengiming-imingi orang dengan materi untuk menambah penganut agama adalah satu daripada perbuatan tercela.”
Dalam konteks kekinian, ada tantangan yang mesti dihadapi MUI. Menurut KH Masduki Baidlawi menjelaskannya sebagai berikut.
“Tantangan buat para ulama dan para ustaz semua, yaitu bahwa otoritas para ulama, otoritas majelis ulama, dan para pimpinan ormas semuanya itu sekarang sedang terancam oleh algoritma, oleh AI, oleh media sosial.”
Ya, masyarakat sekarang, khususnya anak-anak muda, jika bertanya soal agama tidak lagi kepada MUI (ulama), melainkan artificial intelligence (AI). Hasil survei menunjukkan fakta itu.
Tentu para ulama, ustadz, dan ormas keagamaan harus berbenah. Mengapa Gen Z lebih tertarik bertanya soal agama melalui media sosial? Apakah karena lebih mudah atau kalau tanya ke ulama dan ustaz ribet dan berbelit-belit? Ataukah, lantaran tidak adanya pembatasan penggunaan media sosial oleh pemerintah?
Semoga Munas XI MUI bisa memberikan solusinya. Wallahu’alam.
*) Faozan Amar adalah Sekretaris Badan Pembinaan dan Pengembangan Organisasi
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat periode 2020-2025.