Selasa 19 Aug 2025 11:53 WIB

Karnaval Kemerdekaan: Dari Pesta Rakyat Menuju Infrastruktur Sosial-Ekonomi Indonesia

Indonesia bisa menjadikan karnaval bukan sekadar seremoni tahunan.

Penampilan kesenian rakyat saat Lembang Street Carnival 2025 di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (13/8/2025).
Foto: Edi Yusuf
Penampilan kesenian rakyat saat Lembang Street Carnival 2025 di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (13/8/2025).

Oleh : Devie Rahmawati; Wakil Ketua Komtap Kadin Bidang Regulasi, Kebijakan, dan Standardisasi Industri Event

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap 17 Agustus, bangsa Indonesia selalu menemukan cara untuk merayakan kemerdekaannya. Dari upacara bendera, lomba balap karung, panjat pinang, hingga pesta rakyat di alun-alun. Tahun ini, dengan adanya Karnaval Kemerdekaan yang digelar di Monas hingga Istana Merdeka, kita menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan: sebuah momentum sosial, budaya, bahkan ekonomi yang besar.

Banyak yang melihat karnaval hanya sebagai pesta jalanan penuh tawa dan warna. Namun, jika kita menelusuri riset lokal hingga global, ternyata karnaval menyimpan makna jauh lebih dalam: ia adalah infrastruktur sosial-ekonomi yang menopang kesehatan masyarakat, memperkuat ikatan sosial, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Karnaval Sebagai “Lem Sosial” di Tengah Krisis Kesepian

WHO pada 2025 merilis laporan mengejutkan: krisis kesepian kini diakui sebagai ancaman kesehatan global. Orang yang hidup dalam isolasi sosial memiliki risiko kematian dini 30 persen lebih tinggi dibanding mereka yang punya ikatan sosial kuat. Harvard Study bahkan menegaskan, pertemanan dan interaksi sosial yang sehat bisa menambah hingga 5 tahun usia sehat manusia.

Dengan kata lain, hadir di karnaval, berinteraksi dengan orang lain, tertawa bersama, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, sama pentingnya dengan olahraga teratur atau pola makan sehat. Festival adalah “vitamin sosial” yang menyelamatkan kita dari epidemi kesepian pascapandemi.

Bayangkan, jika kita hitung secara sederhana: 30 persen risiko kematian dini yang lebih rendah setara dengan peluang hidup lebih panjang dan produktif. Rasanya, jarang ada “obat” kesehatan gratis yang seefektif berkumpul di alun-alun, menari dengan musik marching band, atau berswafoto dengan warga lain yang mengenakan pakaian adat.

Panggung Identitas di Era Digital

Generasi hari ini hidup dalam lanskap digital. Mereka merekam, membagikan, dan mengabadikan setiap momen dalam bentuk konten. Di sinilah karnaval menemukan relevansi baru.

Ketika ribuan orang mengenakan pakaian adat dari Aceh hingga Papua, mereka tidak sekadar merayakan keberagaman. Mereka juga menciptakan konten visual yang viral. Menurut Allan Jepson (2015), ekspresi budaya dalam festival berfungsi sebagai narrative anchor—penanda visual yang memperkuat kebanggaan lokal sekaligus menarik atensi global.

Dengan kata lain, busana adat dalam karnaval bukan sekadar pakaian. Ia adalah “emoji budaya” yang mudah dipahami generasi digital. Setiap unggahan di media sosial menjadi bentuk diplomasi budaya, mengingatkan dunia bahwa Indonesia kaya akan keragaman, dan merayakannya dengan penuh suka cita.

Festival: Mesin Ekonomi Bernilai Triliunan

Mari kita masuk ke angka yang sering terlupakan. Menurut laporan Oxford Economics, industri event global bernilai 1,6 triliun dolar AS per tahun, dengan kontribusi lapangan kerja lebih dari 27 juta orang. Statista (2024) memproyeksikan angka ini akan melonjak ke 2,3 triliun dolar AS pada 2028.

Apakah festival hanya soal musik dan tawa? Jelas tidak. Festival adalah ekonomi pengalaman (experience economy). Begitu ribuan orang datang ke karnaval, mereka membeli tiket transportasi, makan di warung sekitar, menginap di hotel, membeli cinderamata, hingga membuat konten digital yang pada akhirnya menggerakkan industri kreatif.

Penelitian lain menyebutkan, satu dolar yang dibelanjakan di festival bisa melipatgandakan dampak ekonominya hingga tiga kali lipat ke sektor lain. Artinya, karnaval bukan sekadar pesta rakyat, tetapi juga mesin penggerak ekonomi mikro yang memberdayakan UMKM. 

Karnaval dapat dikatakan laboratorium besar menuju experience economy. Ekonomi masa depan tidak hanya bertumpu pada produksi barang, tetapi juga pada penciptaan pengalaman yang bermakna.

Laporan meta-study tentang makro ekonomi industri event menegaskan, negara-negara yang berinvestasi pada ekosistem event akan memperoleh return ekonomi jangka panjang melalui pariwisata, industri kreatif, hingga diplomasi budaya.

Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa menjadikan karnaval bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi brand experience nasional yang menarik wisatawan global, memperkuat industri lokal, dan menyehatkan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement