
Oleh : Ibnu Tsani, Direktur Utama Lazis Muhammadiyah (LAZISMU)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tanggal 18 November 2025, berdasarkan kalender Masehi, Muhammadiyah genap berusia 113 tahun. Dalam suasana penuh syukur ini, Persyarikatan tidak lantas menutup mata terhadap berbagai persoalan kesejahteraan yang masih melanda negeri.
Sebagai wujud empati dan kepedulian mendalam, tema milad kali ini secara khusus mengangkat fokus untuk "Memajukan Kesejahteraan Bangsa".
Tema ini bukanlah hal baru. Sejak era pergerakan nasional, isu kesejahteraan memang telah menjadi perhatian kolektif seluruh elemen bangsa. Keinginan untuk hidup sejahtera menjadi kerangka berpikir utama, yang hanya bisa dicapai dengan cara melepaskan diri sepenuhnya dari belenggu penjajahan.
Menjadi bangsa terjajah tidak hanya berdampak pada aspek politik, tidak memiliki kedaulatan. Namun aspek sosial, bangsa miskin dan terbelakang. Para pendiri bangsa menindaklanjuti melalui kesepakatan politik ketika merumuskan konstitusi. Memajukan kesejahteraan dijadikan sebagai salah satu tujuan berbangsa dan bernegara
Dana Sosial Kegamaan dan Ikhtiar Memajukan Kesejahteraan
Jauh sebelum Indonesia lahir dan merumuskan tujuan bernegara, para pendiri dan penggerak Persyarikatan Muhammadiyah telah menjadikan upaya memajukan kesejahteraan umum sebagai agenda kolektif berskala nasional. Bagian Penolong Kesengsaraan Oemum (PKO) didapuk sebagai ujung tombak pelayanan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut.
Meskipun didirikan oleh organisasi berbasis iman, PKO menerapkan nilai-nilai pelaksanaan yang sangat inklusif. Islam sebagai agama yang membawa kesejahteraan bagi semua dipraktikkan nyata: program PKO dapat diakses oleh seluruh golongan tanpa memandang latar belakang agama maupun kebangsaan. Bahkan, nonmuslim atau warga negara asing bisa menjadi sekutu donatur.
Nilai inklusif ini juga diterapkan dalam layanan di tiga rumah pertolongan: Rumah Miskin, Rumah Yatim, dan Rumah Sakit. Komitmen kuat terhadap pertolongan kesengsaraan umum, yang ditopang oleh nilai inklusivitas, berhasil menarik perhatian tokoh seperti dr. Sutomo. Beliau terlibat langsung dalam mendukung akses kesehatan melalui pendirian rumah sakit (Abdul Munir Mulkhan: 2010).
Hingga kini, nilai inklusif tersebut tetap lestari. Wajar jika muncul apresiasi positif manakala mahasiswa nonmuslim menempuh pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah tanpa perlu khawatir dipaksa berpindah keyakinan.
Selain program rumah pertolongan, ibadah kurban dan zakat ditetapkan sebagai program strategis. Zakat difungsikan sebagai instrumen keuangan atau pendanaan utama untuk mensukseskan program pertolongan kesengsaraan umum.
Pada Kongres ke-15 tahun 1926, diputuskan bahwa Muhammadiyah harus menjadi amil zakat resmi ("Moehammadijah harus mendjadi ’amil zakat, tidak oesah mengadakan Comite”). Untuk memaksimalkan pengelolaan kurban, Kongres ke-24 tahun 1923 di Banjarmasin menghasilkan keputusan melobi pemerintah Hindia Belanda agar membebaskan biaya potong hewan kurban.