Rabu 19 Nov 2025 11:31 WIB

Dari Akar Rumput ke Dakwah Global: Perkokoh Ta'shil Syar'i dan Tathwir 'Ashri Muhammadiyah

Akar tanpa tunas adalah kemandekan;, tunas tanpa akar adalah kegoyahan.

Muhammadiyah
Foto: ist
Muhammadiyah

Oleh MUHAMMAD CHOIRIN; Dosen Ilmu Dakwah FAI UMJ, Anggota Bidang Dakwah Global Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap Milad Muhammadiyah tiba, ingatan saya selalu kembali pada kampung kecil di Bojonegoro; tempat denyut dakwah itu hadir tanpa hiruk-pikuk, tanpa panggung, namun terasa dalam langkah orang-orang sederhana yang mengajarkan makna pengabdian.

Baca Juga

Saya lahir dari rahim Aisyiyah. Ibu saya, yang kini berusia kepala enam, masih mengayuh sepeda lima belas kilometer setiap Ahad pagi untuk menghadiri pengajian di masjid PDM Kota Bojonegoro. Bukan untuk mencari popularitas atau pengakuan, tetapi agar nyala dakwah di kampung tidak padam. Di situlah pertama kali saya memahami bahwa gerakan ini tumbuh dari cinta yang sunyi.

Di kampung kami, Muhammadiyah tidak pernah berdiri sebagai nama besar. Ia hadir sebagai napas keseharian. Kakek saya, seorang pedagang yang tidak pernah disebut sebagai tokoh, adalah salah satu penggerak berdirinya Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah 13. Setelah beliau wafat, paman dan bibi melanjutkan perjuangan itu dengan keteguhan yang sama.

Saya tumbuh bersama ikhtiar-ikhtiar kecil semacam itu: belajar di TK ABA, MIM, SMP Muhammadiyah, hingga kemudian menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Muhammadiyah Paciran; Pondok Pesantren Modern tempat saya mengenal turats, nahwu, sharaf, arudh, falak, dan kitab gundul, yang kelak menjadi fondasi akademik saya.

Ketika kemudian saya melanjutkan studi ke Libya, saya berangkat membawa surat rekomendasi PP Muhammadiyah yang ditandatangani Prof. Din Syamsuddin dan Buya Godwil Zubair. Pada saat itu saya mulai sadar: jejak kecil dari kampung ternyata mengarahkan langkah saya pada ruang dakwah yang lebih luas.

Kini, ketika saya diberi amanah di Bidang Dakwah Global Majelis Tabligh, wajah-wajah guru kampung, ustaz-ustaz senyap, dan ibu-ibu Aisyiyah itulah yang sering saya ingat. Mereka mengajarkan bahwa dakwah bukan soal retorika, tetapi soal ketulusan. Bukan soal tampil, tetapi soal memberi manfaat.

Memasuki Milad Muhammadiyah ke-113, tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa” bagi saya bukan sekadar slogan tahunan. Ia adalah panggilan sejarah yang terus diwariskan sejak 1912; tahun ketika Kiai Ahmad Dahlan menenun agama ke dalam denyut hidup umat, bukan hanya dalam ceramah, tetapi dalam aksi nyata di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kemanusiaan.

 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement