
Oleh : Syafrimen, Dosen UIN Raden Intan Lampung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepemimpinan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kini berada di tengah pusaran tantangan yang semakin kompleks. Institusi ini tidak hanya dituntut menghadirkan pendidikan tinggi Islam yang modern, tetapi juga mematangkan karakter akademik, integritas moral, dan kepemimpinan intelektual.
Dalam perspektif Psikologi dan tradisi kepemimpinan Islam, Perguruan Tinggi Keagamaan memikul amanah ganda, yaitu mendorong transformasi akademik sekaligus menjaga kemurnian nilai-nilai keilmuan Islam. Analisis terhadap isu kepemimpinan memerlukan pendekatan yang bukan sekadar administratif, tetapi juga pedagogis, psikologis, dan epistemologis, agar arah perubahan tetap berpijak pada nilai dan nalar yang sehat.
Dalam literatur kepemimpinan pendidikan global, dari transformational (Bass & Riggio, 2006), adaptive (Heifetz, 1994), hingga distributed leadership (Spillane, 2006) menggambarkan bahwa kemajuan perguruan tinggi tidak lahir dari kebijakan semata, tetapi dari kepemimpinan yang mampu menggerakkan hati, pikiran, dan energi kolektif sivitas akademika. Kepemimpinan yang menumbuhkan motivasi intrinsik, rasa memiliki, serta ruang kreativitas intelektual menjadi fondasi utama.
Perspektif psikologi pun, seperti konsep self-determination Deci & Ryan (2000). menegaskan pentingnya pemimpin yang menghadirkan iklim psikologis aman, adil, dan mendorong pertumbuhan autentik. Dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan, kesenjangan antara idealitas dan realitas menjadikan isu kepemimpinan menarik untuk dianalisis, supaya kampus Keagamaan Islam dapat melangkah lebih tegap menuju masa depan yang bermartabat.
Tata Kelola Akademik dan Visi Keilmuan
Salah satu tantangan mendasar kepemimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan adalah kuatnya orientasi administratif yang sering menyita energi para pimpinan pada pelaporan, serapan anggaran, revisi DIPA, dan koordinasi birokratis lainnya. Situasi ini kerap menggeser perhatian dari tugas inti perguruan tinggi, yang seharusnya juga memperkuat mutu akademik, membina dosen, serta menumbuhkan kultur riset yang hidup dan berdampak.
Tanpa keberanian memberikan fokus, Perguruan Tinggi Keagamaan berisiko kehilangan ruh keilmuan yang seharusnya menjadi pusat geraknya. Situasi seperti ini dalam perspektif psikologi dapat melahirkan extrinsic pressure climate, yaitu iklim psikologis yang diam-diam melemahkan kreativitas serta motivasi intrinsic sifitas akademika. Temuan Amabile (1996) menegaskan bahwa tekanan administratif yang berlebihan bukan sekadar mengganggu kenyamanan kerja, tetapi juga menghambat alur pikir kreatif dan inovatif yang menjadi fondasi berkembangnya ekosistem akademik yang sehat.
Pada saat yang sama, Perguruan Tinggi Keagamaan dihadapkan pada tantangan global yang menuntut pemimpin mampu membaca denyut zaman, seperti kecerdasan buatan, ekonomi digital, pembelajaran sepanjang hayat, hingga pergeseran paradigma studi Islam modern. Tanpa keluasan wawasan dan ketajaman membaca arah perkembangan ilmu pengetahuan, kepemimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan berisiko terjebak pada langkah yang reaktif, alih-alih melangkah visioner dan strategis dalam memandu masa depan perguruan tinggi Islam.
Situasi ini selaras dengan pandangan para pemikir pendidikan Islam modern, seperti Fazlur Rahman dan Tariq Ramadan, yang menekankan pentingnya pembaruan pemikiran melalui penguatan epistemologi, bukan sekadar pembangunan fisik atau administratif. Pandangan ini menegaskan bahwa kemajuan pendidikan Islam hanya lahir dari kepemimpinan yang memahami hakikat ilmu dan mampu menuntun arah perubahan, bukan dari sosok yang sekadar mengelola institusi tanpa visi keilmuan yang mendalam.
Tantangan besar lainya Perguruan Tinggi Keagamaan hari ini adalah ketiadaan alur pembinaan calon pemimpin secara sistematis, terencana, dan berkesinambungan (leadership pipeline). Pada banyak kampus terbaik dunia, calon pemimpin dibina melalui mentoring, pelatihan, dan evaluasi profesional yang berkelanjutan. Sebaliknya, regenerasi kepemimpinan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kerap berlangsung spontan tanpa fondasi budaya yang kuat. Padahal, kematangan kepemimpinan akademik hanya lahir dari proses pengkaderan yang baik, terarah, dan disiapkan secara berlapis sejak dini.
Dinamika Politik dan Rapuhnya Meritokrasi
Tidak dapat disangkal bahwa dinamika politik masih memberi warna kuat dalam proses kesinambungan kepemimpinan di Perguruan Tinggi. Politik sesungguhnya tidak selalu bermakna negative, pada titik tertentu, politik menjadi energi penguat jejaring, membuka akses kolaborasi, dan menghadirkan dukungan institusional yang dibutuhkan untuk memajukan kampus. Bagaimanapun, persoalan muncul ketika logika patronase lebih dominan daripada prinsip meritokrasi. Pada situasi itulah profesionalisme, integritas akademik, dan objektivitas ilmiah perlahan menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan.
Dominasi patronase akan memunculkan fenomena learned helplessness atau merasa ketidakberdayaan untuk mengubah keadaan (Seligman, 1975) di kalangan dosen muda. Tumbuh keyakinan keliru bahwa kualitas kerja, rekam jejak ilmiah, dan dedikasi tidak sepenuhnya menentukan arah masa depan karier. Kondisi seperti ini sesungguhnya mengkuatirkan, karena secara perlahan membunuh motivasi intrinsik, melemahkan etos kerja, menggerus keberanian untuk berinovasi, pada akhirnya melahirkan budaya akademik yang serba minimalis. Bila situasi ini terus dibiarkan, kampus akan kehilangan ekosistem kepemimpinan yang sehat, ekosistem yang seharusnya bertumpu pada integritas, kompetensi, dan keberpihakan pada mutu dan kompetensi.
Fenomena loyalitas berbasis kelompok, afiliasi kedaerahan, jaringan alumni, maupun keterikatan organisasi sering kali membuat objektivitas memudar, dan menempatkan kualitas pada urutan kedua. Dari perspektif teori identitas sosial (Tajfel, 1981), pola kepemimpinan yang lahir dari ikatan kelompok sempit akan mudah memicu in-group favoritism dan out-group marginalization, sehingga merusak kohesi akademik serta menghambat lahirnya ekosistem kampus yang sehat. Jauh sebelum kritik modern muncul, para ilmuwan Islam klasik telah memberi peringatan bahwa pemimpin sejatinya dipilih atas dasar kompetensi, keadilan, dan integritas.
Nilai-nilai tersebut jauh melampaui nasab maupun loyalitas kelompok. Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah juga mengingatkan bahwa kekuasaan yang bertumpu pada solidaritas kelompok (asabiyyah) tanpa kapasitas akan cepat rapuh, kehilangan keberkahan, dan menyeret institusi pada stagnasi. Pandangan tersebut bukan hanya relevan, tetapi menjadi cermin jernih bagi dunia akademik hari ini untuk kembali kepada nilai-nilai meritokrasi yang memuliakan ilmu dan kemaslahatan bagi masyarakat luas.
Para pemikir Islam modern seperti Syed Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi menekankan bahwa kepemimpinan pada Pendidikan Tinggi Islam harus berlandaskan adab yaitu kualitas yang memadukan integritas moral, ketajaman intelektual, serta kesadaran mendalam terhadap tanggung jawab epistemologis. Tanpa adab, pemimpin kampus bukan hanya kehilangan arah, tetapi juga merapuhkan fondasi keilmuan kampus yang dipimpinnya.
Dinamika politik di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan tidak bisa dipandang semata sebagai persoalan structural, namun sesungguhnya telah menyentuh wilayah batin institusi, cara berpikir, cara bersikap, dan cara membangun tradisi keilmuan. Tanpa keberanian menegakkan meritokrasi dan menempatkan kapasitas di atas kepentingan sesaat, Perguruan Tinggi Keagamaan tentunya akan menghadapi tantangan besar untuk tumbuh sebagai pusat keilmuan yang dihormati, dipercaya, dan dijadikan rujukan oleh masyarakat luas, seperti yang banyak dituangkan dalam visi dan misi intitusi.
Tradisi Keilmuan dan Kepemimpinan Visioner
Perguruan Tinggi Keagamaan memikul mandat ganda, merawat tradisi keilmuan Islam sekaligus berkompetisi sebagai kampus modern. Mandate ini kerap menjadi ambigu, sehingga modernisasi berhenti pada wajah administratif, sistem informasi diperbarui, gedung diperindah, namun kurang memberikan perhatian pada penguatan substansi akademik dan fondasi epistemologis. Dalam perspektif Pembelajaran, perubahan sejati hanya lahir dari deep learning environment yang menumbuhkan pemahaman kritis, integratif, dan reflektif. Ketika kampus lebih terpikat pada indikator birokrasi, proses belajar terperangkap pada pola-pola belajar yang berfokus pada hal-hal permukaan (surface learning), pembelajaran dangkal dan tidak berkelanjutan.
Khazanah Islam klasik sesungguhnya menawarkan landasan kokoh untuk membaca ketegangan epistemologis yang dihadapi kampus hari ini. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa ilmu hanya akan menemukan kemuliaannya bila dipandu oleh hikmah, sementara para pemimpin pendidikan dituntut mampu menimbang secara arif antara warisan tradisi dan tuntutan kemaslahatan zaman. Ibn Rushd menegaskan peran akal dan penalaran yang jernih dalam merespons perubahan realitas sosial, tokoh islam lainya menyatakan bahwa pendidikan mesti selaras dengan kebutuhan masyarakat agar tetap relevan dan membumi.
Pada era modern, pemikir seperti Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, dan Hashim Kamali mendorong pembaruan metodologis melalui double movement, neo-modernisme, dan pendekatan maqashid agar ilmu keislaman mampu bergerak lebih jauh melampaui sekadar teks menuju praksis. Namun, gagasan besar ini belum sepenuhnya menjadi arus utama dalam kepemimpinan akademik di Perguruan Tinggi Keagamaan saat ini. Krisis identitas epistemologis bukan hanya persoalan desain kurikulum, melainkan persoalan kepemimpinan yang kurang mampu menjembatani antara tradisi dan modernitas. Kepemimpinan kampus masih terperangkap pada modernisasi kosmetik, alih-alih menghadirkan transformasi intelektual.
Kepemimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan menjadi salah satu titik penentu masa depan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Berbagai tantangan birokrasi, patronase, krisis epistemologis, rendahnya motivasi sivitas, hingga tarik-menarik tradisi dan modernitas, menuntut hadirnya pemimpin yang tidak hanya cakap mengelola administratif, tetapi matang secara moral, psikologis, dan intelektual.
Pembaruan kepemimpinan bisa diawali dengan tiga langkah utama: (i) Mengembalikan orientasi pada penguatan akademik, (ii) menegakkan meritokrasi dan integritas, (iii) serta memperkuat identitas epistemologis keilmuan Islam agar relevan sepanjang zaman. Dengan tiga resep awal ini, Perguruan Tinggi Keagamaan akan tumbuh sebagai institusi kompetitif sekaligus pusat pendidikan tinggi yang mencerahkan.