
Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator ECOFITRAH, aktif di Yayasan Sinurat Layung, anggota TKPSDA Wilayah Sungai Citarum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam khazanah peradaban kuno, air selalu menjadi pusat kehidupan.Ia adalah denyut peradaban, penentu letak permukiman, sumber tenaga ekonomi, bahkan simbol legitimasi kekuasaan.
Di kawasan padang batu utara Jazirah Arab,wilayah yang kini dikenal sebagai Al-Hijr (Mada’in Shalih) - kaum Tsamud hidup sebagai komunitas yang mempunyai kemampuan teknik batu yang tinggi, memahat gunung menjadi rumah. Namun, kemajuan teknis itu tidak diiringi oleh keluhuran etika pengelolaan karunia alam, khususnya sumber air.
Alquran menempatkan kisah Tsamud sebagai salah satu contoh paling kuat tentang kerusakan moral akibat ketidak adilan karunia air (water injustice).
Kaum Tsamud bukan hanya ingkar terhadap risalah Nabi Shalih, tetapi juga menolak aturan keadilan dalam pembagian air, aturan yang justru merupakan ayat (tanda) Tuhan yang dititipkan melalui naaqatullah, unta betina mukjizat.
Dasar Qurani: Air sebagai Ayat, Bukan Sekadar Komoditas
Dalam beberapa surah yang membahas Tsamud (Asy-Syams, Asy-Syu‘ara, Al-Qamar, Al-A‘raf, Hud), terdapat frasa-frasa kunci yang memandang air bukan sebagai komoditas ekonomi, tetapi sebagai amanah moral-spiritual.
QS Asy-Syams 11–13, menegaskan dua hal:
Pertama, unta itu milik Allah (naaqatullaah). Kedua,ia memiliki hak minum (suqyaahaa). Penggunaan kata “suqyaahaa” menunjukkan sistem giliran minum yang telah ditetapkan: satu hari untuk unta, satu hari untuk manusia. Ini bukan sekadar urusan logistik, tetapi bentuk aturan moral yang diletakkan langsung oleh Allah. Air bukan monopoli manusia; ada hak makhluk lain yang harus dihormati.
Di QS Al-Qamar: 28 ditegaskan:"Beritahukan kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka; setiap bagian mendapat giliran".
Ayat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa pembagian air adalah ketetapan ilahi, bukan kesepakatan sosial semata. Dalam konteks water justice modern, ini dapat dibaca sebagai “hak air yang dijamin oleh sistem moral transenden". Jelas bahwa air juga sebagai ujian keadilan.
Air Sebagai Hak Komunitas dan Bukan Milik Elite
Quran menggambarkan bahwa sebagian elite Tsamud ingin menguasai sumber air dan menolak peraturan yang membatasi otoritas mereka. Dalam QS Al-A‘raf 75–76, kelompok pemuka yang “menyombongkan diri” (al-mala’ al-mustakbirun) menolak aturan Nabi Shalih. Dengan demikian, struktur sosial Tsamud digambarkan sebagai peradaban elite-driven, dimana keputusan ekonomi (terutama air) dimonopoli oleh kelompok tertentu.
Tafsir klasik Ibn Kathir menyebut bahwa Tsamud memiliki sumber air terbatas-- ‘uyuun (mata air) dan bi’r (sumur). Unta Allah minum pada hari tertentu, dan pada hari itu manusia tidak mengambil air dari sumber tersebut.Pada hari giliran unta minum: seluruh air diambil oleh unta itu, penduduk mengambil susu unta sebagai pemenuhan konsumsi mereka.
Pada hari berikutnya: unta tidak minum, manusia mengambil seluruh air untuk kebutuhan mereka.Ini adalah sistem water-sharing yang sangat khas masyarakat gurun: ketika air sedikit, keadilan tidak mungkin tanpa pembagian giliran.
Beberapa riwayat dalam tafsir ath-Thabari menekankan bahwa sebagian elite Tsamud merasa “terhina” karena mereka harus berbagi air dengan seekor unta. Ini adalah petunjuk bahwa penguasaan air identik dengan status kekuasaan.
Al-Qurtubi berpendapat bahwa larangan mengganggu unta itu adalah ujian apakah mereka bersedia tunduk pada etika keadilan ekologis: makhluk non-manusia juga memiliki hak.
Tafsir Modern: Water Politics
Tafsir kontemporer (misal Sayyid Qutb “Fi Zhilal al-Qur’an”) menyoroti bahwa struktur sosial Tsamud telah korup: air menjadi alat kontrol sosial,elite membangun legitimasi melalui kepemilikan sumber air,sistem “hari untuk unta” dianggap mengancam model kekuasaan tersebut. Dengan demikian, pembunuhan unta adalah tindakan politik: upaya mempertahankan monopoli air.
Walau Quran tidak menyebut kata “sumur” secara langsung dalam kisah Tsamud, sejumlah hadis dan atsar mempertegas bahwa air yang dimaksud adalah sumur atau mata air utama.
Hadits perjalanan Nabi ke Mada’in Shalih: Dalam beberapa riwayat tentang perjalanan Nabi SAW melewati bekas permukiman Tsamud, disebutkan bahwa: para sahabat mengambil air dari sumur-sumur Tsamud, Rasulullah melarang menggunakan air dari sumur yang dipakai kaum Tsamud untuk membunuh unta, beliau hanya mengizinkan mengambil air dari sumur tertentu yang dahulu menjadi sumber kebaikan.
Riwayat-riwayat ini memberikan gambaran bahwa di Tsamud terdapat sumur-sumur bersejarah yang terhubung dengan kisah pembagian air.
Analisis Ekologi-Sosial: Tsamud sebagai Kasus Water Injustice
Dari perspektif ekologi manusia, kisah Tsamud adalah studi klasik tentang ketidakadilan air. Arkeologi Al-Hijr menunjukkan bahwa: wilayah itu kering, bergantung pada sumur dan mata air kecil, penduduknya membangun sistem tangkapan air sederhana.
Dalam kondisi semacam ini: siapa menguasai air,menguasai kehidupan,pangan, dan kekuasaan politik.Jika sistem akses air tidak diatur secara adil, maka konflik sosial pasti terjadi.
Unta Sebagai “Juru Bicara Ekologi”: Simbol Koreksi Moral
Naaqatullaah dalam tafsir modern dilihat sebagai ecological agent: makhluk yang ditetapkan Allah sebagai pengingat bahwa air tidak boleh dimonopoli.
Fungsi simboliknya: sebagai indikator kesehatan ekosistem, sebagai representasi hak makhluk nonmanusia; peringatan bahwa ekologis adalah bagian dari keimanan.
Ketika Tsamud membunuh unta itu, mereka tidak hanya membunuh mahluk, tetapi juga membunuh sistem etika ekologis. Kekerasan kepada unta adalah kekerasan kepada ekosistem.
QS Asy-Syams 14 menyebut: “Fa ‘aqaruuhaa” --lalu mereka membunuhnya. Ini adalah tindakan melanggar:aturan keadilan akses air,amanah Nabi, etika makhluk hidup, keseimbangan ekologi gurun. Konsekuensinya adalah kehancuran sosial-ekologi yang total.
Dari kisah Tsamud dapat dirumuskan lima prinsip keadilan air yang relevan untuk zaman modern:
Pertama: Air adalah amanah, bukan komoditas absolut. Quran menjadikan air sebagai ayat, bukan sekadar barang ekonomi. Mengkomersialisasi air secara ekstrim adalah bentuk penyimpangan nilai fitrah -- yang diingatkan melalui kisah Tsamud.
Kedua: Makhluk lain memiliki hak akses air. Konsep suqyaahaa menunjukkan bahwa makhluk bukan manusia berhak mendapat air pada waktu tertentu. Ini adalah konsep multispecies justice dalam etika modern, namun diwahyukan dalam Quran 1400 tahun lalu.
Ketiga: Penguasa/elite tidak boleh memonopoli sumber air.Kaum Tsamud hancur karena elite mengendalikan sumber air dan menolak aturan ilahi. Dalam peradaban apa pun, ketika air diprivatisasi ekstrem, kehancuran sosial adalah keniscayaan.
Keempat: Water-sharing adalah prinsip keadilan ekologis. Giliran air (water rotation) adalah mekanisme adil pada lingkungan kering. Ini sejalan dengan sistem pengairan tradisional seperti:falaj di Oman, qanat di Persia. Semua budaya besar memulai peradaban dari aturan keadilan air.
Kelima: Penolakan terhadap aturan keadilan air sama dengan penolakan terhadap Allah.Dalam narasi Qurani, konflik air adalah konflik spiritual. Ketika aturan water justice ditolak, umat tersebut menolak perintah Tuhan. Akibatnya adalah kehancuran moral dan ekologis sekaligus,serta puncaknya mendatangkan azab.
Relevansi Masa Kini: Tsamud sebagai Cermin Krisis Air Global
Kisah Tsamud bukan dongeng masa lalu. Dunia saat ini sedang menghadapi: krisis air bersih global, privatisasi air oleh korporasi,konflik hulu-hilir, antarwilayah, monopoli sumber air oleh industri, marginalisasi komunitas lokal. Fenomena ini mencerminkan apa yang terjadi pada Tsamud: air dikuasai segelintir,aturan keadilan diabaikan, sistem ekologis rusak, masyarakat kehilangan ketertundukan spiritual kepada amanah alam.
Banyak peneliti modern menyebut bahwa “future wars will be water wars”. Kisah Tsamud seperti peringatan bahwa umat manusia sedang mengulangi kesalahan yang sama.
Kisah Tsamud adalah salah satu narasi paling kuat tentang keadilan air dalam Alquran. Unta Allah bukan sekadar mukjizat, tetapi simbol keadilan ekologis -- pengingat bahwa air adalah amanah yang harus dibagi secara adil antara manusia dan makhluk lain.
Dari nash Qurani, tafsir klasik, dan riwayat hadits, kita memahami bahwa konflik Tsamud berpusat pada penguasaan sumber air (sumur/mata air) oleh elite dan penolakan terhadap sistem rotasi minum yang ditetapkan Allah. Pembunuhan unta adalah puncak ketidakadilan air, dan kehancuran Tsamud adalah konsekuensi ekologis sekaligus moral.
Dalam konteks dunia modern, dari Citarum hingga sungai Nil, dari California hingga Palestina,kisah Tsamud mengajarkan bahwa ketidakadilan air adalah salah satu bentuk kezaliman paling berbahaya. Ia menghancurkan ekosistem, memicu pertentangan sosial, meruntuhkan peradaban,dan puncaknya mendatangkan azab.
Maka, water justice bukan pilihan, melainkan kewajiban moral, ekologis, dan spiritual. Umat manusia perlu kembali pada prinsip yang diajarkan melalui kisah Tsamud: air adalah hak bersama yang harus dikelola dengan keadilan, amanah, dan ketundukan kepada Tuhan.
Wallahu'alam.