Oleh : Oleh: Shabah Syamsi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di usia yang tidak lagi muda. Meskipun juga belum terlalu tua. Setua-tua orang muda. Semuda-muda orang tua. Setelah mengikuti upacara HUT ke-78 RI di lapangan Masjid Agung Al Azhar Jakarta. Tiba-tiba saya kangen dengan tempat asal kelahiran saya. Nun jauh di sana. Dekat Bengawan Solo. Dulu jadi langganan banjir bandang setiap tahun. Desa Bulubrangsi, kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Teringat masa kecil, ketika saya bebas merdeka bermain bersama teman-teman. Bebas merdeka menggembala kambing di hamparan tanah luas menghijau. Ratusan kambing milik masyarakat dilepas merumput di padang luas itu. Ada yang memiliki 10 ekor, 15 ekor, 5 ekor kambing. Saya memiliki 6 ekor kambing. Ketika ratusan kambing itu merumput, kami bebas merdeka bermain bola plastik, berkejaran main di sungai sepuasnya. Kambing merumput hingga kenyang sampai dengan waktu pulang.
Teringat masa kecil, ketika saya bebas merdeka mencari ikan dengan cara mancing, jala, njegog, njenu, nyulo, di sungai-sungai yang jernih itu. Berbagai macam ikan mudah didapatkan. Ikan lele, gabus, wader, mujair, sepat, udang, hingga keting. Melimpah rezeki tanpa harus beli. Bebas mengambil kapan menghendaki. Alam menyuguhkan kekayaan. Memberi keberkahan penduduk negeri. Kebutuhan ikan cukup diambil dari sungai yang jernih mengalir. Tanpa prosedur. Tanpa protokoler. Tanpa aturan yang memasung.
Teringat masa kecil, saat saya bebas merdeka mencari burung di hutan dan kebun. Bebas menangkap burung untuk dikonsumsi, seperti burung blekok, kuntul, dan tekukur. Bebas menangkap burung untuk dipelihara, seperti emprit, betet, jalak, ketilang, dan kacer. Suara indah sahut-menyahut di pagi hari. Memecah keheningan, meramaikan kesunyian. Dunia menjadi indah. Suara merdu mendendangkan lagu keagungan dan kebahagiaan. Menyemangati berbagai kegiatan. Kicauan burung jalak menyemangati sapi dan kerbau yang bekerja membajak sawah. Kicauan burung tekukur, membangunkan setiap orang yang masih tidur mendengkur.
Betapa indah tanah airku Indonesia. Hamparan sawah ladang hijau membentang luas. Sungai berkelok-kelok, airnya mengalir deras. Hutan lebat. Gunung menjulang tinggi menunjukkan keperkasaan. Lautan lepas dengan kedalam yg menyimpan kekayaan. Debur ombak bersahutan dinamika aktif yang menggerakkan. Angin berembus menyehatkan. Sinar panas menyengat membakar kemalasan dan kejumudan. Duh Indonesia... Serpihan surga yang jatuh ke muka bumi.
Sudah 78 tahun merdeka. Alam subur itu kini kemana. Hamparan subur itu gundul adanya. Hasil tanaman melimpah itu kini tergusur. Kalah dengan produk impor dari negeri tetangga. Dibangun rumah dan apartemen mewah. Bebas merdeka artinya bebas menggusur. bebas merdeka artinya rakyat menganggur.
Sudah 78 tahun merdeka. Sungai mengalir itu kini mengering. Airnya kotor penuh limbah. Mematikan ikan yang dulu melimpah. Pabrik industri masuk desa. Masyarakat menghirup udara pengap menyesakkan dada. Hasil produksi dibawa ke kota. Dibangun besar-besaran untuk memuasi para konglomerat kaya. Orang desa tetap papa. Menangis menahan lapar dahaga.
Sudah 78 tahun merdeka. Beraneka burung itu kini hilang entah kemana. Kicauannya lenyap ditelan polusi. Suara merdu sirna ditelan bumi. Nyanyian cinta berubah jadi benci. Senandung riang berujung dengan tangisan memilukan. Yang tersisa tinggal suara keras dan kasar. Kebencian dan cacian. Marah penuh angkara. Kebisingan terdengar dimana-mana. Teriakan, ancaman dan gertakan membahana. Mematikan kebebasan. Membunuh kemerdekaan.
Merdeka dimaknai bebas mengatur.
Merdeka dimaknai bebas menggusur. Merdeka dimaknai bebas menggertak.
Merdeka dimaknai bebas merampas.
Merdeka dimaknai bebas memanipulasi.
Merdeka dimaknai bebas membenci.
Jadi teringat dengan kiai saya, Pak Zar (KH. Imam Zarkasyi, pimpinan dan pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo). Ketika Beliau memberi wejangan tentang makna kebebasan dan kemerdekaan. Biasanya disampaikan dalam wejangan menjelang perpulangan liburan santri. Bahwa saat liburan di rumah nanti santri lebih bebas tidak seperti di Pondok. Tapi tidak berarti bebas segalanya. Bebas bukan berarti bebas tidak shalat, bebas tidak makan, dan bebas melakukan hal-hal negatif. Beliau kemudian memberi contoh bahwa orang yang tinggal dalam hutan sekali pun tidak bisa bebas. Dia tidak bebas melakukan apa saja. Dia terkena aturan hutan. Dia tidak bebas dari binatang buas. Bahkan tidak bebas dari seekor nyamuk. Beliau lalu menyitir kata mutiara Arab yang diajarkan dalam pelajaran Tarbiyah di kelas 3 KMI, Gontor: Hurriyatul mar'i mahdudatun bi hurriyah ghairihi (kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain).
Bebas merdeka tidak berarti menindas dan menumpas. Bebas merdeka tidak berarti menguasai dan mengeksploitasi.
Merdeka itu ketika mampu mengatakan kebenaran di tengah kemaksiatan. Merdeka itu ketika mampu berdiri tegak di tengah kezaliman. Merdeka itu berani hidup tak takut mati. Merdeka itu pantang menyerah walau dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Merdeka itu ketika mampu menegakkan keadilan dan mewujudkan kemakmuran.
Merdeka itu ketika berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain. Tidak mengemis apalagi menggadaikan negeri untuk kepentingan pribadi. Merdeka itu ketika bebas dari lilitan hutang yang menjerat anak negeri. Merdeka itu ketika bebas bicara menyuarakan keadilan dan kebenaran. Tidak memberangus demi kekuasaan. Merdeka itu ketika bebas menentukan pilihan panutan dan pemimpin masa depan. Tidak diintervensi atau dihabisi karena ketakutan. Merdeka itu bebas menjalankan keyakinan dan agama tanpa campur tangan dan penyeragaman. Merdeka itu aman mengkonsumsi makanan dan minuman halal tanpa ragu dan khawatir. Merdeka itu aman dan nyaman bepergian ke mana saja tanpa rasa takut.
Merdeka itu memerdekakan. Bebas itu membebaskan. Merdeka itu membangun tidak meruntuhkan. Merdeka itu menghidupkan tidak mematikan. Merdeka itu menguatkan tidak melemahkan. Merdeka itu menyehatkan tidak menyakitkan.
Merdeka, merdeka, merdeka.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.