
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Al-Fahmu Institute dan Ketua Umum Forum Dai dan Muballig Azhari Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana ekologis yang beruntun melanda Aceh, Sumut, hingga Sumbar bukan hanya persoalan cuaca ekstrem atau anomali siklon tropis. Itu adalah “bahasa bumi”, sebuah bentuk ‘iqab’, sanksi ekologis atas tata kelola ruang yang sudah terlalu lama dibiarkan tidak terkendali.
Ketika banjir bandang merenggut permukiman, sungai membawa lumpur pekat, dan hutan kehilangan kemampuan menahan air, alam sesungguhnya sedang mengirim alarm keras: ada kezaliman ekologis yang sedang terjadi.
Dalam bahasa syariat, setiap kerusakan memiliki sebab. Allah sudah mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini bukan retorika. Ia adalah peringatan keras. Tidak main-main, ‘warning’ itu keluar dari Sang Pencipta dan Pemilik bumi dan alam semesta ini. Kerusakan ekologis bukan sekadar musibah alamiah, melainkan buah dari pola pembangunan yang tak lagi berpihak pada keseimbangan (mīzān) yang telah ditegakkan Allah di bumi jauh sebelum manusia diciptakan.
Sawit, Tambang, dan Dilema Negara Modern
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia membutuhkan sawit dan mineral strategis. Kedua sektor itu menjadi tulang punggung devisa, pajak, dan pendapatan negara. Dunia juga membutuhkan produk Indonesia: minyak sawit untuk industri pangan, kosmetik dan rumah tangga; nikel dan mineral kritis untuk baterai kendaraan listrik dan transisi global energi menuju energi hijau.
Namun pertanyaan mendasarnya adalah: Haruskah kebutuhan ekonomi dibayar dengan kerusakan ekologis yang menggerogoti masa depan bangsa?
Fikih Islam memberikan jawabannya jauh sebelum para ekonom dan ahli lingkungan modern merumuskannya. Kaidah fikih ‘ekologis’ menyatakan:
1. “Tasarruf imam ‘ala ra’iyyah manuthun bil maslahah”: Kebijakan negara dalam ‘sawit dan tambang’ harus berbasis kemaslahatan rakyat.
2. “Dar’u al-mafāsid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”: Mencegah kerusakan ‘ekologis’ lebih utama daripada meraih keuntungan ekonomi.
3. “Al-Dlarar yuzāl”: Bahaya ‘ekologis’ harus dihilangkan meski industri tetap berjalan.
4. “Mā lā yatimm al-wājib illā bihi fahuwa wajib”: Jika industri penting bagi negara, maka menjaga lingkungan menjadi wajib syar’i.
Artinya, negara boleh mengembangkan sawit dan tambang, tetapi tidak boleh menoleransi model industrialisasi yang menghancurkan daya dukung ekologis. Jadi, sawit & tambang tetap halal, tetapi harus dikelola, bukan diobral tanpa batas.
Islam Tidak Anti-Industrialisasi, Tetapi Anti-Fasad
Dalam sejarah peradaban Islam, Nabi dan para khalifah mengelola tambang, menetapkan zona lindung (hima), dan menggagas tata kelola air yang ketat. Islam bukan anti-produk industri, melainkan Islam anti-fasad, kerusakan yang ditimbulkan oleh kerakusan manusia (‘serakahnomics’).
Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi fondasi penting bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan bersama tidak boleh dimonopoli. Kata “api” di sini oleh para ulama diartikan juga sebagai sumber energi termasuk minyak, batu bara, dan seluruh barang tambang yang menopang kehidupan manusia.
Selain itu, ada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang menegaskan bagaimana Rasulullah mengatur kepemilikan tambang: “Bahwa Rasulullah pernah memberikan kepada Abyadh bin Hamal sebuah tambang garam. Lalu seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya?
Engkau telah memberikan sesuatu yang seperti air yang mengalir!’ Maka Rasulullah pun mencabut pemberian itu darinya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Masalah kita hari ini bukan sawit dan tambangnya. Masalah kita adalah ketika industri tumbuh tanpa etika dan kontrol syariah ekologis.
Ketika hutan primer digunduli demi kebun baru. Ketika area resapan dan sempadan sungai dibangun. Ketika lubang tambang dibiarkan menganga bak kubangan raksasa. Ketika rakyat kecil kehilangan ruang hidup dan menderita jadi korban bencana ekologis tahunan.
Maka bencana ekologis bukan kebetulan; ia konsekuensi logis dari ketidakadilan struktural terhadap bumi.
Fikih Ekologi sebagai Fondasi Peradaban
Apa yang disebut para ulama sebagai fikih bi’ah (fikih ekologi) adalah kerangka normatif agar pembangunan negara tidak keluar dari batas syariah. Dalam fikih, ada tiga prinsip utama yang sangat relevan bagi Indonesia hari ini:
1. Mīzān (Keseimbangan). Allah melarang manusia merusak keseimbangan alam (QS. Ar-Rahman: 7–8). Keseimbangan ekologis harus menjadi dasar perizinan industri.
2. Hifzh al-Bi’ah (Melindungi Lingkungan). Termasuk bagian dari maqashid syariah kontemporer: menjaga keberlangsungan ciptaan Allah dan hak generasi masa depan.
3. Khilafah Insaniyah (Manusia sebagai Penjaga). Manusia bukan tuan atas alam; tetapi manusia adalah mustakhlaf—pemegang amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Dengan prinsip ini, industri boleh berjalan, tetapi wajib berada dalam rel syariah ekologis. Sawit boleh. Tambang boleh. Tapi model eksploitatif yang merusak tidak memiliki legitimasi syar’i.
Saatnya Indonesia Mengadopsi Green Faith sebagai Kebijakan Negara
Di tengah perubahan iklim yang makin ekstrem, negara tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan teknis. Indonesia harus me-revitalisasi moral ekologis yang bersumber dari kearifan agama, green faith.
Konsep ini bukan sekadar kampanye menanam pohon, tetapi: integrasi nilai tauhid, amanah, dan ihsan dalam tata kelola lingkungan, penyusunan regulasi ekologis berbasis fikih, eco-masjid, eco-pesantren, eco-school, dan kurikulum dakwah lingkungan sebagai agenda utama ormas Islam.
Hilirisasi: Jalan Tengah yang Syariah dan Strategis
Islam mengajarkan agar umat tidak menjadi bangsa pinggiran. Dalam konteks sawit dan tambang, hilirisasi adalah kewajiban syariah karena memberikan nilai tambah, mengurangi ketergantungan pada negara besar, dan mencegah eksploitasi berlebihan.
Menjual bahan mentah adalah bentuk idzlal (penghinaan), membiarkan bangsa menjadi obyek ketergantungan ekonomi global. Sebaliknya, mengolahnya di dalam negeri adalah bentuk ’izzah (kemuliaan), mengokohkan martabat bangsa.
Bumi Menagih Amanah Kita
Banjir yang menghancurkan desa dan kota, sungai yang berubah coklat pekat, dan hutan yang kehilangan pohonnya, itu bukan sekadar tragedi alam. Itu adalah aspirasi bumi yang memohon keadilan dan menuntut ‘healing’ (penyembuhan luka ekologis).
Negara harus hadir, bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai pemegang amanah. Industri boleh berjalan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan syariat ekologis. Sawit dan tambang boleh berkembang, tetapi harus tunduk pada mīzān yang telah Allah tetapkan.
Tiba waktunya, pemimpin negara memimpin langsung revolusi kebijakan dengan berpijak kepada sila pertama dan kedua Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang bermuara kepada sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Inilah saatnya mengembalikan pembangunan kepada akarnya: keseimbangan, keadilan, dan amanah syariah. Karena bangsa yang merusak habitatnya adalah bangsa yang sedang menggali kuburnya sendiri. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Allahumma qad ballaghtu. Allahumma fasyhad!