
Oleh : Muhammad Fatahillah; Dosen MK Jejaring dan Ruang Transnasional, Departemen HI FISIP UI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jakarta bukan hanya kawasan SCBD yang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit. Jakarta juga bukan hanya kawasan Blok M, yang di situ berdiri mall-mall megah dan menjadi pusat tongkrongan anak muda “Skena”. Namun Jakarta juga termasuk gugusan pulau-pulau (Sanskerta: “Nusa”) indah yang ada di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Di kawasan ini, terhampar ekosistem laut nan eksotis dan kehidupan masyarakat pulau yang sudah berlangsung selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun silam. Salah satunya nampak dengan jelas keindahan ekologi dan sosial itu di Pulau Pari. Pulau ini secara topografi merupakan pulau karang timbul yang berbentuk datar dengan ketinggian 0-3 meter di atas permukaan laut (mdpl). Uniknya, jika dilihat dari citra satelit, pulau ini memiliki bentuk yang memang menyerupai ikan pari.
Sebagai wilayah pesisir, Pulau Pari memiliki ekosistem tropis yang relatif lengkap, yakni terdiri dari pantai pasir putih, hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan terumbu karang yang menjadi habitat bagi beragam jenis flora maupun fauna laut. Maka tak heran apabila pulau ini menjadi destinasi wisata favorit karena keindahan alamnya.
Namun dibalik semua itu, Pulau Pari menyimpan cerita kesedihan dan kegentingan ketika harus berhadapan dengan tantangan berupa bencana ekologis. Menurut pengertian yang umum, bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi akibat gangguan oleh beberapa faktor yang saling memengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam (BPBD Kabupaten Buleleng, 2014).
Menghadapi bencana ekologis, masyarakat pulau-pulau kecil seperti Pulau Pari memiliki kerentanan berlapis yang lebih dari masyarakat di pulau-pulau besar. Sebab daya dukung dan daya tampung lingkungan yang lebih terbatas di pulau kecil membuat gangguan sekecil apapun dapat memberi dampak yang signifikan bagi keberlanjutan ekosistem pulau, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada kehidupan manusia di dalamnya.
Khusus di Pulau Pari, tantangan bencana ekologi itu berupa kenaikan muka air laut yang menyebabkan banjir rob dan mampu menenggelamkan pulau; intrusi air laut yang memengaruhi sumber air tanah; abrasi; reklamasi; kerusakan terumbu karang; pencemaran oleh limbah dan sampah; serta cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Di samping itu, potensi pariwisata di Pulau Pari juga menimbulkan konflik agraria ketika mulai dilirik oleh banyak investor pariwisata skala besar. Padahal sektor wisata yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat sebagai alternatif ekonomi tidak hanya menjadi tumpuan kehidupan sosial, namun juga menjadi harapan untuk kelangsungan hidup ekosistem di sekitarnya.
Dengan demikian, ada banyak tantangan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat mulai dari masalah ekologis; masalah ekonomi; masalah sosial; hingga masalah kebijakan pemerintah yang merampas ruang hidup nelayan. Selain itu, Pulau Pari juga rentan terhadap pencemaran, baik berupa kiriman sampah dari Teluk Jakarta maupun limbah minyak mentah yang tumpah di laut (WALHI, 2022).
Sudah cukup kiranya penjelasan di atas menggambarkan berbagai potensi bencana ekologis yang secara empirik telah mengancam aspek sosial dan lingkungan di Pulau Pari. Namun yang terjadi sekarang ini justru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mencabut secara resmi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di gugusan Pulau Pari.
Meskipun KKP telah melakukan penyegelan dan menghentikan sementara aktivitas di lapangan, pencabutan izin secara permanen masih menjadi tuntutan utama dari warga Pulau Pari bersama koalisi NGO yang terdiri dari Forum Peduli Pulau Pari (FP3); Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA); Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI); Perempuan Pulau Pari; Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); Greenpeace Indonesia; Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta; dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (Greenpeace Indonesia & LBH Jakarta, 2025).
Lebih jauh lagi, kehadiran perusahaan swasta yang menguasai (privatisasi) tanah dan perairan di sekitar Pulau Pari juga menimbulkan sejumlah ketegangan sosial. Masyarakat Pulau Pari terbelah menjadi dua, yakni kelompok yang menentang penguasaan pulau dan mereka yang mendukungnya. Keduanya saling mengejek bahkan memutuskan hubungan kekeluargaan.
Lalu terjadi intimidasi dan kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang menolak privatisasi pulau, hingga empat orang perwakilan masyarakat tercatat pernah menjadi korban kriminalisasi sampai penahanan. Pada saat yang sama, warga Pulau Pari juga menghadapi ancaman maupun dampak dari krisis iklim sebagai fenomena global. Oleh karena itu, warga Pulau Pari menggugat perusahaan semen multinasional PT. Holcim atas kontribusinya terhadap dampak krisis iklim yang mengancam pulau dan penghidupannya pada tahun 2023. Hingga kini kasus tersebut masih disidangkan di Pengadilan Cantonal Zug, Swiss dan menunggu putusan akhir (WALHI, 2025).
Kisah pilu Pulau Pari secara tidak langsung berkaitan dengan sejumlah tragedi bencana alam yang terjadi di beberapa daerah, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir-akhir ini. Sama-sama sebagai dampak perubahan iklim yang diperparah oleh aktivitas perusakan alam oleh manusia. Maka sudah saatnya kita benar-benar menerapkan kata pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati (menanggulangi)”.
Dari Program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, kami memulainya dengan mengadakan kuliah lapangan bagi 60 orang mahasiswa peserta mata kuliah Jejaring dan Ruang Transnasional (JRT) di Pulau Pari pada 14-15 November 2025, untuk mencari data dan menguak fakta di lapangan.
Selanjutnya para mahasiswa melaporkan hasil temuan dan inovasi-solusinya kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada audiensi tanggal 19 November 2025, sebagai bentuk masukan kepada pemerintah. Lalu diakhiri dengan pameran bertajuk “#SavePulauPari: Krisis Iklim, Perebutan Ruang Hidup, dan Daya Resiliensi Masyarakat Meraih Keadilan Sosial”, yang diadakan di kampus FISIP UI Depok, Jawa Barat pada 3-4 Desember 2025 untuk mensosialisasikan isu Pulau Pari kepada masyarakat luas.