
Oleh : Iwan Rudi Saktiawan; seorang difabel, saat ini bekerja di Komite Nasional Ekonomi dan keuangan Syariah (KNEKS)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terjadi pertengkaran sengit antara Jung Myung-seok (JMS), ketua tim pengacara di law firm Hanbada, dengan CEO-nya, Han Seon-young (HSY). Hal itu karena HSY merekrut pengacara baru, Woo Young-woo (WYW) dan memasukkannya ke tim JMS.
HSY berpendapat bahwa ia telah merekrut orang hebat, namun pendapat JMS sebaliknya. Akhirnya disepakati, bahwa WYW akan menangani sebuah kasus, yang bila kalah dalam persidangannya, maka ia akan langsung dipecat tanpa peringatan terlebih dahulu (SP1, SP2 dan seterusnya).
Mengapa JMS berpendapat bahwa WYW tidak layak menjadi pengacara? Simaklah perkataannya saat bertengkar dengan HSY.
“Kau sudah melihat halaman kedua resumenya? Tertulis bahwa dia mengidap autisme.”
Jadi yang menjadi dasar JMS menolak perekrutan tersebut karena pengacara barunya adalah seorang penyandang disabilitas. Namun kemudian ternyata WYW memenangkan kasus pertamanya dengan gemilang, yang kemudian berkontribusi besar dalam memenangkan kasus-kasus berikutnya.
Sesat Pikir
Cerita di awal tulisan ini adalah cuplikan dari drama Korea (drakor) Extraordinary Attorney Woo yang disiarkan oleh Netflix pada tahun 2022. Memang merupakan drakor lama, namun pesan moralnya masih relevan hingga saat ini, terutama untuk International Disability Day (Hari Disabilitas Internasional) yang dirayakan setiap tanggal 3 Desember. Salah satu pesan moralnya adalah masih adanya sebagian orang yang memandang seorang penyandang disabilitas (PD) hanya dari sisi keterbatasannya (disability) tanpa melihat sisi ability lainnya.
Cara pandang tersebut misalnya dapat dilihat pada contoh kisah pada sebuah keluarga dengan dua orang anak, di mana salah satunya PD. Tentang keluarga tersebut, mungkin banyak yang berpendapat bahwa yang akan menjadi tumpuan harapan keluarga tersebut adalah anak yang non-PD. Sedangkan untuk anak yang PD, untuk tidak menjadi beban saja sudah patut disyukuri. Ketika ada anaknya yang PD, tidak sedikit orang tua yang memberikan perhatian lebih kepadanya, namun sayangnya banyak yang bersifat overprotektif sehingga cenderung memanjakan.
Kondisi di mana anak PD tidak menjadi harapan keluarga dan diasuh secara over protektif, cerminan adanya kekeliruan cara pandang atau sesat pikir. Sesat pikirnya adalah bahwa seseorang yang PD itu sudah tidak bisa apa-apanya lagi sehingga tidak ada kemampuan untuk berperan apalagi berprestasi. Cara pandangnya, benar-benar menerjemahkan disability secara harfiah, yakni berketidakmampuan.
Makna Difabel
Memang, PD memiliki ketidakmampuan tertentu misalnya penglihatan (tunanetra), tidak mampu berjalan (tuna daksa), dan lain-lain. Namun meskipun ada ketidakmampuan untuk hal-hal tertentu, PD memiliki kemampuan-kemampuan yang lain. Sebagai contoh adalah Helen Keller, yang tuna netra sekaligus tunarungu sejak berusia 19 bulan. Ia tidak bisa melihat, mendengar dan berbicara, namun ia bisa menjadi dosen dan tokoh internasional. Bagaimana caranya? Ia menggunakan indera perabanya. Dengan demikian, meskipun tidak bisa menerima informasi melalui mata dan telinga serta menyampaikan informasi melalui mulut, Helen Keller masih bisa berkomunikasi dengan isyarat dan indra rabanya. Dia memiliki kemampuan yang berbeda dengan kelaziman orang. Inilah yang disebut dengan cara pandang (paradigma) berkemampuan yang berbeda atau different ability yang disingkat dengan difabel. Dengan demikian, difabel bukan bahasa Inggris dari frasa penyandang disabilitas, atau pengindonesiaan kata disable. Difabel tidak ada kaitannya dengan kata disable atau disability.
Penulis lebih menyukai diksi difabel dibandingkan dengan PD apalagi penyandang cacat, karena pada diksi difabel lebih menonjolkan pesan “kemampuannya” bukan “ketidakmampuannya”. Kata difabel mengungkapkan cara pandang bahwa setiap orang sebenarnya memiliki ability (kemampuan). Dengan cara pandang ini, maka yang kita sebut sebagai PD sebenarnya bukanlah orang yang tidak berkemampuan, namun orang dengan kemampuan yang berbeda dengan kelaziman atau kebanyakan orang.
Allah Swt Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang wujudnya bisa berbeda kepada bagi setiap orang. Dengan demikian, maka setiap manusia diberi ability meskipun berbeda-beda. Kepada pada difabel Allah SWT menyayanginya dengan cara memberikan ability yang berbeda, different ability.
Kondisi disabilitas yang tidak bisa disembuhkan sehingga harus disandang seumur hidup, memang perlu diterima dengan lapang dada, namun bukan akhir dari segalanya. Disandangnya disabilitas seumur hidup, bukan berarti yang bersangkutan tidak mungkin menjadi orang yang berguna karena masih memiliki ability, ability yang lain, yang bila dioptimalkan tidak hanya sekedar menjadikannya orang yang berguna bahkan berprestasi.
Bagi difabel, carilah different ability Anda, kembangkan jadikan itu bermanfaat bagi sekitarmu. Bagi para orang tua yang anaknya difabel, percayalah insya Allah ada different ability anak Anda yang perlu dikembangkan sehingga membuat keluarga bangga.
Penulis tidak bermaksud mengkampanyekan perubahan istilah, namun mengkampanyekan perubahan cara pandang, jangan sampai memiliki cara pandang (pikir) yang sesat bahwa orang difabel benar-benar tidak memiliki kemampuan. Penggunaan istilah disabilitas tidak masalah ketika disertai cara pandang yang benar, diantaranya dengan memandang difabel beserta ability dan potensi ability-nya secara menyeluruh. Memang, dengan kondisinya, para difabel perlu dibantu. Namun bukankah setiap orang tidak ada yang sempurna dan memerlukan bantuan orang lain untuk hal-hal tertentu?
Dengan cara pikir yang tidak tersesat ini diharapkan akan muncul jutaan difabel seperti Woo Young-woo dengan beragam prestasi pada bidang-bidang yang berbeda. Dengan cara pikir yang benar, orang yang menyandang disabilitas, akan terkembangkan ability-nya, sehingga menjadi extraordinary (luar biasa). Penulis naskah Extraordinary Attorney Woo, Moon Ji-won, seolah ingin mengingatkan kita bahwa seorang difabel tidak hanya bisa bekerja seperti yang lainnya, namun bahkan bisa extraordinary!