Kamis 04 Dec 2025 17:30 WIB

Membaca Pesan Alam di Tengah Banjir Sumatera

Bencana adalah panggilan bumi untuk kembali pada keseimbangan.

Pengungsi korban banjir bandang berada di tenda darurat di Nagari Salareh Aia Timur, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Ahad (30/11/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Pengungsi korban banjir bandang berada di tenda darurat di Nagari Salareh Aia Timur, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Ahad (30/11/2025).

Oleh : Syafrimen, Dosen UIN Raden Intan Lampung

REPUBLIKA.CO.ID, LAMPUNG -- Hujan di penghujung tahun kembali membawa kabar duka dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bukan hanya tentang rumah yang terseret arus, tanah yang longsor, atau nyawa yang hilang, tetapi jeritan bumi yang terlalu lama kita abaikan. Di balik ribuan keluarga yang kehilangan tempat berpijak, terbentang potret telanjang dari gaya hidup yang kian menjauh dari keseimbangan ekologis. Dalam teologi lingkungan, kerusakan bumi bukan persoalan teknis, tetapi merupakan cerminan moral.

Manusia sebagai khalīfah seharusnya menjaga, bukan menguras, merawat, bukan menghabisi. Hutan yang habis ditebang, bukit yang dikikis tambang, sungai yang menjadi tempat sampah menunjukkan betapa amanah itu kita khianati. Ketika banjir datang, kita sadar bahwa alam yang kita perlakukan semena-mena merupakan pelindung yang paling setia. Banjir hari ini bukan sekadar hujan yang turun lebih deras, tetapi bisa jadi akumulasi pilihan perilaku buruk manusia, kota tumbuh tanpa ruang resapan, dan alam disayat dengan kerakusan. Seperti diingatkan Bryan Walsh, ini bukan bencana alam, melainkan bencana manusia yang menjelma melalui alam.

Di balik rumah, jembatan dan berbagai infrastruktur lain, serta nyawa yang hanyut tersapu banjir, tersimpan pesan yang tidak bisa diabaikan, bahwa alam tidak marah, namun bersedih melihat kita lalai menjaga titipan Sang Maha Pencipta. Banjir bukan sekadar fenomena cuaca, tetapi peringatan spiritual bahwa doa tanpa tindakan hanyalah gema kosong, dan ibadah tanpa etika ekologis adalah kerapuhan moral.

Kerusakan hutan, lenyapnya gambut, sungai yang dangkal, serta kota yang diselimuti beton membuat bumi kehilangan kemampuannya menahan air. Maka ketika hujan turun, rahmat berubah menjadi petaka bukan karena takdir semata, tetapi akibat pilihan kita sendiri. Pertanyaan yang menyentak adalah “Jika air adalah anugerah, mengapa ia berubah menjadi bencana?”. Seharusnya permasalahan ini menggiring kita pada kesadaran bahwa krisis ekologis merupakan cermin dari cara kita memperlakukan alam.

Saat kita memanjatkan doa meminta perlindungan, bumi sesungguhnya menunggu satu jawaban, apakah kita benar-benar siap berubah (Taubatan Nasuha), atau akan terus mengulangi kelalaian yang sama hingga tragedi berikutnya datang? Dalam istilah Minang disebut dengan “Tobat Samba Lado” (Taubat Sambal).

Alam Sebagai Amanah, Bukan Objek Eksploitasi

Akhir-akhir ini, wacana teologi lingkungan kembali menguat, menegaskan bahwa alam bukan sekadar ruang hidup, tetapi amanah moral. Kerusakan lingkungan, sebagaimana diingatkan Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Taimiyyah, adalah bentuk kelalaian spiritual dan sosial yang selalu berbalik menimpa manusia.

Dari perspektif psikologi, krisis ekologis juga lahir dari short-termism, diffusion of responsibility, dan lemahnya self-regulation, membuat manusia mengabaikan dampak jangka panjang. Teologi dan psikologi berpadu menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban etis, tetapi tuntutan untuk membenahi pola pikir dan karakter kolektif agar peradaban tetap bertahan.

Pemikir modern seperti Seyyed Hossein Nasr menyebut krisis ekologis sebagai krisis spiritual manusia modern yang kehilangan rasa sakral terhadap alam. Fazlur Rahman mengingatkan bahwa keadilan sosial, ekonomi, dan ekologis tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks Indonesia, ajaran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tentang kebersihan, keharmonisan, dan tanggung jawab sosial pada dasarnya adalah pesan ekologis yang relevan hingga saat ini. Ayat al-Qur’an yang sering dikutip, namun jarang direnungkan secara mendalam, menyatakan: Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia…(QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini bukan peringatan metaforis, namun deskripsi presisi tentang apa yang terjadi pada banyak wilayah di Negara kita saat ini.

Sains Mengonfirmasi Pesan Moral

Sains menegaskan pesan moral agama bahwa kerusakan alam adalah akibat pilihan manusia. IPCC menunjukkan, hilangnya lebih dari 30 persen tutupan hutan meningkatkan risiko banjir dua kali lipat. James Hansen menyebut cuaca ekstrem sebagai tanda bumi keluar dari keseimbangannya. Di Indonesia, berbagai penelitian membuktikan peningkatan banjir di Sumatera seiring hancurnya hutan dan gambut dalam dua dekade terakhir.

Psikologi menjelaskan akar perilakunya: Ketika seseorang lebih memprioritaskan kepuasan atau keuntungan jangka pendek dibandingkan manfaat yang lebih besar di masa depan (present bias ), membuat manusia mengejar keuntungan sesaat, diffusion of responsibility melemahkan rasa tanggung jawab, dan normalization of deviance (perilaku menyimpang yang dianggap normal) membuat kerusakan terasa wajar. Sains, agama, dan psikologi berbicara hal yang sama, memperbaiki lingkungan berarti memulihkan hutan sekaligus menata ulang kesadaran manusia terhadap tanggung jawab moralnya menjaga bumi.

Setiap banjir membawa satu pesan, alam tidak sedang menghukum, ia hanya bekerja sesuai hukumnya. Sungai yang tertutup akan meluap. Bukit yang gundul akan longsor. Lahan yang tertutup beton akan memaksa air mencari jalan lain, termasuk melalui rumah-rumah masyarakat. Kita tidak bisa lagi menyebut banjir sebagai “musibah” begitu saja. Sebagian memang datang dari faktor alam, tetapi banyak pula yang lahir dari tangan manusia sendiri, baik sengaja, ataupun pembiaran yang telah berlangsung sangat lama.

Banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar menjadi pengingat keras bahwa krisis ekologis tidak lagi abstrak. Ia hadir di halaman rumah kita. Di tengah kenyataan pahit itu, agama memberi kita panggilan moral bahwa merawat bumi adalah bagian dari keberagamaan, dan merusaknya merupakan pengkhianatan terhadap amanah kemanusiaan. Tugas kita bukan sekadar menerima bencana, tetapi mengubah pilihan yang melahirkannya. Bumi dengan diam dan sabarnya, setia menunggu janji untuk dipenuhi bahwa manusia menjadi penjaga, bukan perusak.

Saatnya Bangkit dengan Keyakinan, Ilmu, dan Tindakan

Setiap musim hujan, kembali menenggelamkan luka yang sama, cara penanggulangan berputar tanpa arah. Sepertinya tidak cukup merespons dengan bantuan darurat, yang dibutuhkan adalah keberanian moral dan pembenahan sistemik. Penegakan moratorium pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis, pemulihan hutan berbasis prinsip alam, audit tata ruang yang jujur, serta peringatan dini yang menjangkau pelosok harus menjadi fondasi baru kebijakan.

Pemulihan psikososial juga harus ditempatkan sejajar dengan pembangunan infrastruktur, sebab daya tahan manusia merupakan benteng pertama dalam menghadapi bencana. Kesadaran ekologis bangsa harus digugah kembali, ulama perlu menjadi pemimpin aksi, bukan hanya sekadar pembaca doa. Masjid, pesantren, dan sekolah harus menjadi pusat gerakan menjaga bumi, kampus harus menajamkan riset berbasis data dan etika, masyarakat harus didorong untuk terlibat secara nyata dan penuh makna.

Bencana yang merendam dan menghabiskan rumah-rumah, infrastruktur, harta benda dan nyawa merupakan panggilan tegas dari bumi untuk kembali pada keseimbangan. Kita melemah bukan karena alam terlalu kuat, tetapi karena kita menjauh untuk harmoni dengannya. Seruan itu tidak boleh diabaikan, ketika lingkungan runtuh, yang terluka adalah kehidupan kita sendiri, anak-anak kita, bahkan mungkin cucu dan cicit kita.

Namun, jika tragedi ini menjadi titik balik, mendorong kita memperbaiki kebijakan, memperbarui gaya hidup, menata ulang hubungan dengan alam, maka kehancuran, kesedihan dan pilu kita hari ini akan tumbuh harapan dan peradaban baru. Peradaban yang bukan hanya maju, tetapi peradaban yang berkeadaban, berilmu, dan berbelas kasih kepada tanah yang akan memayungi dari generasi ke generasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement