Oleh AFRIZAL AKMAL; Founder Inisiasi Hutan Wakaf (IHW)
REPUBLIKA.CO.ID, Di sini, kita terbiasa percaya bahwa keputusan besar lahir dari ruang yang jauh: deri meja rapat berlapis kaca, atau pidato yang lahir setelah rangkaian konsultasi yang tak pernah benar-benar kita ketahui.
Kita sering lupa bahwa demokrasi—kata yang begitu sering dilafalkan hingga nyaris kehilangan wibawa semantiknya—seharusnya mengandung sesuatu yang sederhana: suara rakyat. Bukan suara yang diminta setiap lima tahun, melainkan suara untuk keputusan yang menyentuh masa depan hidup itu sendiri.
Indonesia telah beberapa dekade berdiri di tepi dilema ekologis yang terus melebar. Kita hidup di tanah yang dulu mengandung hutan-hutan yang konon hanya dapat dipahami bila seseorang berdiri di dalamnya—karena kata-kata tak mampu menampung luasnya. Kini luas itu menyusut, perlahan dan pasti, digantikan barisan pohon yang sama tinggi, sama umur, sama jenis. Kebun sawit. Kita bisa berdebat tentang ekonominya, tentang devisa, tentang penduduk desa yang mungkin kini memiliki sedikit uang yang tak mereka miliki dulu. Namun kita juga tahu: ada harga yang tak tercatat dalam neraca negara.
Dan karena itu, di banyak negeri lain, orang mulai bertanya kepada rakyatnya sebelum harga itu menjadi terlampau mahal. Pada 2023, Ekuador—negara kecil yang selalu muncul dalam kepala kita sebagai siluet di atas peta Amerika Selatan—menyodorkan pertanyaan yang sederhana dan sekaligus mengguncang: apakah minyak di bawah tanah lebih penting daripada hutan yang tumbuh di atasnya?
Hutan itu bernama Yasuní, sebagian dari Amazon, tempat udara memiliki sejarah lebih panjang dari republik mana pun. Para ekonom mungkin punya jawabannya; para politisi memiliki argumen yang tak kalah rumit. Namun ketika pertanyaan itu sampai pada rakyat, suara mereka terbelah dengan jelas: mayoritas memilih hutan.