
Oleh : DR. KH. Saiful Falah M.Pd.I, Pengasuh Pesantren Ummul Quro Al Islami Bogor
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena meningkatnya masalah kesehatan mental pada remaja Indonesia kian menegaskan betapa gentingnya isu yang selama ini berdenyut pelan di bawah permukaan perhatian publik. Ini bukan sekadar rangkaian angka dalam tabel statistik; ini adalah isyarat darurat yang merayap sunyi, mengancam masa depan bangsa, dan kerap tenggelam dalam kebisingan keseharian. Krisis kesehatan mental pada generasi muda tak lagi bisa dianggap sepele, ia adalah ancaman yang menggerogoti kekuatan sumber daya manusia Indonesia dari akar terdalamnya.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 membuka tirai kenyataan dengan temuan yang mengguncang. Sekitar 34,9% remaja, setara 15,5 juta jiwa berusia 10–17 tahun, pernah mengalami sedikitnya satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. Bentuk-bentuk gangguan itu menjelma dalam rupa depresi, kecemasan, trauma, masalah perilaku, hingga gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Angka-angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah gema dari kegelisahan yang dialami generasi yang sedang mencari pijakan hidup.
Dari keseluruhan temuan, 5,5% atau sekitar 2,45 juta remaja memenuhi kriteria gangguan mental klinis. Gangguan kecemasan muncul sebagai diagnosis yang paling dominan. Meski prevalensinya tidak banyak berbeda antara remaja laki-laki dan perempuan, pola variasinya menarik untuk dicermati: remaja perempuan lebih sering dilanda kecemasan, sementara remaja laki-laki lebih rentan menunjukkan gejala hiperaktivitas. Perbedaan ini seakan menggambarkan lanskap batin yang tak sama antara dua dunia yang hidup berdampingan.
Lebih memprihatinkan lagi, hanya 2,6% remaja yang mengakses layanan kesehatan mental dalam setahun terakhir. Mayoritas memilih bertahan dengan caranya sendiri, memendam, mengelola, dan merawat luka batin tanpa bantuan profesional. Sebagian lainnya bersandar pada teman dan keluarga sebagai ruang berbagi, meski ruang itu sering kali tak cukup lebar untuk menampung beban yang sesungguhnya.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kuatnya stigma sosial dan rendahnya literasi kesehatan mental di masyarakat. Banyak pengasuh utama memilih menangani masalah anak secara mandiri, bukan karena yakin mampu, tetapi karena tidak tahu harus melangkah ke mana. Stigma yang melekat, kurangnya pemahaman, serta akses layanan yang terbatas membuat remaja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bantuan yang tepat pada saat yang paling mereka butuhkan.
Di tengah lanskap krisis ini, terbuka peluang untuk menghadirkan pendekatan yang lebih inklusif, kontekstual, dan mudah dijangkau. Dengan mayoritas penduduk Indonesia, sekitar 86–87% atau 244–247 juta jiwa pada 2025, beragama Islam, pendekatan kesehatan mental yang berakar pada nilai-nilai Islam dan pendidikan spiritual sufistik dapat menjadi jembatan baru yang relevan. Integrasi antara sains psikologis dan kekayaan tradisi spiritual ini memiliki potensi besar untuk hadir sebagai alternatif yang hangat, dekat, dan dapat diterima masyarakat luas.