
Oleh : Aslichan Burhan, Dewan Pakar ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat hujan tiba, sebagian kita tentu sudah terbiasa mengucap doa ajaran Baginda Rasulullah yang sangat indah: "Allāhumma shayyiban nāfi‘an” – “Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat”, menegaskan semestinya hujan menjadi rahmat, bukan laknat.
Mirisnya saat ini, kita menyaksikan berita dari Aceh, Sumatera Utara (Sibolga, Tapanuli dan sekitarnya), hingga Sumatera Barat: banjir bandang, longsor, desa tenggelam tersapu air dan lumpur, ratusan orang meninggal dan hilang, ribuan rumah hancur.
BNPB dan berbagai laporan media menyebut, rangkaian bencana hidrometeorologi yang diperkuat Siklon Tropis Senyar pada akhir November 2025 menelan ratusan korban jiwa di tiga provinsi tersebut, dengan banyak warga masih dinyatakan hilang. Di satu sisi kita meminta “hujan yang bermanfaat”, di sisi lain yang tampak seolah “hujan bencana”. Pertanyaannya: apakah Tuhan tidak mendengar doa kita?
Kalau kita kembali ke Alquran, air diperkenalkan sebagai rahmat dan sumber kehidupan. Allah berfirman, “Dan Kami jadikan dari air-lah segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak beriman?” (QS Al-Anbiyā’ [21]:30). Dalam ayat lain, Allah menyebut angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum turunnya rahmat-Nya, lalu menurunkan dari langit air yang suci untuk menghidupkan bumi yang mati, memberi minum manusia dan hewan, serta menumbuhkan kebun dan biji-bijian (QS Al-Furqān [25]:48–49, QS Qāf [50]:9).
Dalam ekoteologi Islam "air adalah "modal kehidupan” – mubārak (diberkahi) dan ṭhahūr (mensucikan), bukan sumber malapetaka. Hadis-hadis tentang doa hujan menegaskan hal yang sama: hujan adalah rahmat, dan kita diminta memohon agar rahmat itu benar-benar membawa manfaat, bukan kerusakan.
Negeri Manja, dari sisi iklim dan geografi, Indonesia sebenarnya penerima paket karunia rahmat yang luar biasa. Negeri ini berada di sabuk khatulistiwa dengan iklim tropis basah, dua musim utama, sinar matahari melimpah, dan curah hujan tinggi yang – bila dikelola – ideal untuk pertanian, kehutanan, dan sumber air. Tanah vulkanik yang subur dan jaringan sungai yang rapat menjadikan Indonesia sebagai negara “lumbung air dan pangan” dunia. Secara “desain alam”, kita punya semua syarat untuk menjadikan hujan sebagai rahmat dan berkah permanen.
Namun perubahan iklim dan kerusakan lingkungan membuat rahmat itu sering berjumpa dengan lanskap yang sudah rapuh. BMKG telah mengingatkan bahwa pemanasan global mendorong curah hujan ekstrem lebih sering dan lebih intens di berbagai wilayah Indonesia. Ketika hujan sangat lebat ini turun di atas daerah aliran sungai (DAS) yang hutannya digunduli, lereng yang ditambang, dan kota yang saluran airnya menyempit dan tertutup beton, wajar jika air “mengamuk” dalam bentuk banjir bandang dan longsor. Di sini, bencana bukan sekadar peristiwa alam, tetapi pertemuan antara fenomena cuaca dan pilihan-pilihan manusia.
Kasus Tapanuli dan ekosistem Batang Toru sebagai contoh telanjang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyatakan bahwa banjir bandang dan longsor di berbagai kabupaten/kota di Sumut tidak bisa dilepaskan dari rusaknya hutan di hulu, termasuk di kawasan Batang Toru yang menjadi penyangga hidrologi penting. Dalam sejumlah rilis, WALHI mengindikasikan sedikitnya tujuh perusahaan yang beroperasi di ekosistem Batang Toru dan sekitarnya, antara lain PT Agincourt Resources (tambang emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy (PLTA Batang Toru), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk (unit PKR), PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate, sebagai pihak yang patut dievaluasi karena pembukaan hutan dan perubahan tutupan lahan di sekitar DAS. Berbagai laporan menyebut hilangnya ratusan hektare hutan dalam satu dekade terakhir untuk tambang, PLTA, geothermal, dan perkebunan.
Dalam posisi inilah ekoteologi Islam mengajak kita bersikap: bukan buru-buru menunjuk “kambing hitam”, tetapi menuntut audit dosa ekologis yang jujur, transparan, dan berpihak pada keadilan bagi manusia sekaligus alam. Ayat-ayat seperti “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia…” (QS Ar-Rūm [30]:41) dan “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS Al-A‘rāf [7]:56) menegaskan bahwa ada dimensi moral dalam kerusakan ekologis. Manusia bukan pemilik absolut, tetapi khalifah yang memikul amanah. Mengabaikan daya dukung DAS, menyusun tata ruang yang menempatkan permukiman di jalur banjir, atau melegalkan pembukaan hutan skala besar demi keuntungan jangka pendek adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah itu.
Di ranah ilmu sosial, kita mengenal istilah "Penyakit Belanda” (Dutch disease) dan “kutukan sumber daya alam” (resource curse), paradoks ketika negara kaya sumber daya justru mengalami stagnasi ekonomi dan rapuh secara sosial karena terlalu bergantung pada komoditas alam dan salah urus. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh majalah The Economist pada 1977 untuk menggambarkan paradoks yang dialami Belanda setelah penemuan gas alam besar-besaran di Groningen: negara kaya sumber daya, tetapi justru struktur ekonomi lemah dan rapuh.
Secara sederhana, “penyakit Belanda” merujuk pada situasi ketika boom sumber daya alam (minyak, gas, tambang, dan sejenisnya) menyebabkan menguatnya nilai tukar dan pergeseran tenaga kerja serta investasi ke sektor ekstraktif, sehingga industri lain (manufaktur, pertanian, dsb.) melemah dan negara terjebak pada ketergantungan tidak sehat terhadap komoditas alam. Fenomena ini masuk dalam kategori yang lebih luas, yaitu kutukan sumber daya (resource curse): negara yang kaya sumber daya alam justru cenderung mengalami pertumbuhan lambat, konflik, dan tata kelola buruk dibanding negara yang sumber daya alamnya lebih sedikit.
Jika penyakit Belanda klasik fokus pada dampak ekonomi makro (nilai tukar, struktur sektor, deindustrialisasi), kita di Indonesia hari ini seolah mengalami varian lain yang bisa disebut “Penyakit Belanda ekologis–spiritual”: negeri yang kaya rahmat iklim, air, dan hutan—plus kekayaan tambang—justru menderita bencana ekologis dan ketidakadilan sosial karena salah kelola. Idealnya, kekayaan tambang dan energi di Batang Toru dan kawasan lain menjadi modal untuk membangun pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan konservasi ekosistem. Namun kenyataan yang sering muncul di lapangan adalah sebaliknya: pembukaan hutan, konflik lahan, bencana berulang, dan kesenjangan antara pusat-pusat keuntungan dan desa-desa yang menanggung risiko. Di sinilah kutukan sumber daya bertemu dengan kutukan amanah: ketika kekayaan tidak dibingkai oleh tauhid, khalifah, dan mīzān, rahmat berpotensi berbalik menjadi ujian yang menyakitkan.
Dalam bahasa ekoteologi, kita seperti mengalami versi ekologis dari penyakit ini: negeri yang diberi rahmat hutan hujan tropis, air, dan mineral, tetapi tata kelola yang buruk membuat rahmat itu berubah menjadi serangkaian bencana dan ketimpangan. Kalau dalam ekonomi ada “kutukan sumber daya”, dalam iman kita bisa menyebut “kutukan rahmat yang disalahkelola”.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, bagi pemerintah pusat dan daerah, bencana ini harus dibaca sebagai alarm untuk membenahi tata ruang dan perizinan, bukan sekadar urusan tanggap darurat. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan turunannya (RDTR, rencana detail kawasan, perizinan berbasis OSS) harus direvisi dengan serius berbasis data kebencanaan dan daya dukung lingkungan: hutan lindung dan kawasan resapan di hulu DAS dijaga ketat, zona rawan banjir dan longsor tidak lagi diisi permukiman dan infrastruktur vital, dan proyek tambang/perkebunan/energi yang menabrak fungsi lindung harus dihentikan atau diubah. RTRW yang “tuna risiko” sesungguhnya adalah RTRW yang "tuna maqāṣid": ia mengorbankan jiwa dan harta masyarakat. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan ilmu kebencanaan, hidrologi, dan prinsip syariah dalam setiap revisi RTRW dan izin pemanfaatan ruang.
Kedua, bagi pelaku usaha – khususnya perusahaan tambang, PLTA, geothermal dan perkebunan di hulu DAS – ekoteologi Islam mengingatkan bahwa “izin legal bukan berarti otomatis halal secara moral”. Fatwa-fatwa lingkungan MUI sebelumnya, seperti Fatwa MUI No. 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan dan Fatwa No. 30/2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan, sudah menandai bahwa praktik merusak lingkungan tidak bisa dibenarkan syariah. Fatwa MUI No. 86/2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global bahkan menegaskan: segala tindakan yang menimbulkan kerusakan alam dan memperburuk krisis iklim hukumnya haram, dan deforestasi tak terkendali yang melepas emisi besar-besaran hukumnya haram; semua pihak wajib berkontribusi dalam mitigasi dan adaptasi, serta mengurangi jejak karbon non-esensial.
Dengan fatwa ini, perusahaan tidak cukup hanya membangun CSR pascabencana; mereka harus berani merombak model bisnis, memperkuat perlindungan DAS, membuka data lingkungan, dan menerima jika ke depan ada wilayah-wilayah yang memang harus “dikembalikan” menjadi kawasan lindung demi keselamatan bersama.
Ketiga, bagi ulama, ormas Islam, dan lembaga pendidikan, ekoteologi perlu diarusutamakan dalam dakwah dan kurikulum. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memegang peran strategis. MUI telah melangkah maju dengan Fatwa No. 86/2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, yang dinilai banyak pihak sebagai fatwa lingkungan paling komprehensif hingga saat ini.
Langkah berikutnya yang sangat penting adalah menerbitkan fatwa khusus yang mengikatkan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan dengan kebijakan tata ruang/RTRW dan perlindungan DAS.
Fatwa ini bisa menegaskan, misalnya, bahwa: menyusun, mensahkan, atau memanfaatkan RTRW dan izin pemanfaatan ruang yang secara ilmiah terbukti memperbesar risiko bencana dan merusak fungsi lindung DAS adalah perbuatan haram karena bertentangan dengan prinsip lā ḍharar wa lā ḍhirār (tidak boleh membahayakan diri dan orang lain) dan mengabaikan ḥifẓ al-nafs dan ḥifẓ al-bī’ah.
Dengan fatwa tematik seperti ini, MUI memberi panduan tegas bagi pemerintah daerah, DPRD, dan pelaku usaha: tata ruang bukan lagi sekadar urusan teknis, tetapi juga urusan halal–haram di hadapan Allah. Fatwa khusus itu juga bisa mengamanatkan agar MUI provinsi dan kabupaten/kota terlibat aktif dalam proses konsultasi publik RTRW, memberikan masukan tertulis, dan menjadikan prinsip keadilan ekologis sebagai salah satu tolok ukur.
Di tingkat akar rumput, pesan-pesan fatwa dapat disebarkan melalui khutbah Jumat, pengajian, dan pendidikan formal agar umat paham bahwa membiarkan penyelewengan tata ruang sama bahayanya dengan membiarkan penyalahgunaan dana zakat: sama-sama mengkhianati amanah publik.
Keempat, bagi masyarakat sipil dan komunitas lokal, empati kepada korban bencana harus berjalan seiring dengan keberanian mengawal proses perencanaan ruang. Warga perlu didukung untuk memahami peta risiko banjir dan longsor, mengetahui bagaimana RTRW disusun, dan punya kanal untuk menyuarakan keberatan ketika ada rencana yang menempatkan mereka di jalur bahaya. Dalam konteks ini, kolaborasi antara organisasi lingkungan, ormas Islam, akademisi, dan tokoh adat sangat penting untuk memastikan bahwa suara korban potensial didengar sejak awal, bukan baru dihitung setelah bencana.
Pada akhirnya, paradoks “Doanya hujan yang bermanfaat, nyatanya hujan bencana” bukanlah ajakan menggugat Allah atau meragukan doa, tetapi undangan bercermin sebagai insan anak bangsa. Hujan tetap rahmat, air tetap sumber kehidupan. Yang sering keliru adalah tata ruang yang abai, izin yang longgar, kerakusan yang menebangi hutan, dan budaya yang memisahkan doa dari kebijakan. Ketika kita terus berdoa meminta “hujan yang bermanfaat”, ekoteologi Islam mengajak kita menambahkan ikrar: bahwa kita juga akan membenahi cara mengelola tanah air, dari RTRW hingga tambang, dari kebun hingga kota, dari fatwa hingga undang-undang.
Dengan begitu, insya Allah suatu hari nanti ketika awan gelap menggantung di atas Aceh, Sibolga, Tapanuli, Sumatera Barat, dan seluruh Nusantara, kita bisa menyambutnya dengan tenang – karena rahmat yang turun bertemu dengan bumi yang dijaga, bukan bumi yang dikhianati. Insya Allah.