
Oleh : Syafrimen, Dosen UIN Raden Intan Lampung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Di tengah cepatnya perubahan global, keilmuan Islam dituntut menemukan kembali relevansinya tanpa kehilangan akar tradisi, sekaligus mampu menjawab persoalan kemanusiaan modern melalui pendekatan ilmiah yang lebih terbuka, kritis, dan berdampak. Gagasan Ernest L Boyer tentang scholarship of integration dan pandangan Jürgen Habermas mengenai rasionalitas komunikatif menunjukkan bahwa ilmu harus mampu menjembatani nilai klasik dengan realitas sosial yang terus bergerak.
Dalam konteks Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), kekayaan turath perlu dibaca ulang melalui riset interdisipliner yang memadukan nilai, data, dan metodologi lintas bidang, sebagaimana ditekankan Julie Thompson Klein dan Henry Etzkowitz tentang pentingnya kerja ilmiah kolaboratif dan berorientasi problem.
Karena itu, jalan ke depan tidak lagi cukup bertumpu pada normatif atau kajian tekstual yang terpisah dari konteks, tetapi pada kemampuan akademik Islam untuk menghasilkan pengetahuan yang integratif, empiris, dan solutif. Orientasi seperti ini, keilmuan Islam bukan hanya menjaga kontinuitas tradisi, tetapi juga bertransformasi menjadi sumber inovasi yang mampu memberi kontribusi dan berdampak nyata bagi masa depan masyarakat dan peradaban.
Selama beberapa dekade, banyak kajian keislaman di PTKI terjebak dalam pola deskriptif dan berulang, padahal sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa kejayaan ilmiah lahir dari keberanian melampaui batas disiplin, sebagaimana diteladankan Ibn Sina, al-Biruni, dan al-Farabi. Para pakar pendidikan tinggi seperti Clark Kerr dan Tony Becher menegaskan bahwa universitas hanya relevan ketika menjadi ruang integrasi gagasan, sementara Gardner dan Sternberg menyatakan bahwa pemikiran akan berkembang melalui keberagaman perspektif.
Dalam era big data dan kecerdasan buatan, pendekatan monodisiplin jelas tidak memadai. Keilmuan Islam harus kembali hadir secara interdisipliner agar mampu merumuskan solusi yang lebih substantif, adaptif, dan bermakna bagi tantangan umat masa kini.
Persoalan utama dalam riset keislaman adalah minimnya keterhubungan dengan realitas sosial umat. Penelitian masih berkutat pada tema rutin dan repetitif, sementara dunia menghadapi etika AI, krisis iklim, tekanan psikologi digital, ekonomi kreatif halal, hingga intoleransi daring. Fazlur Rahman mengingatkan bahwa Islam harus membaca teks dan konteks secara berkelindan, Ibn Khaldun menyatakan bahwa ilmu harus menjawab kebutuhan masyarakat.
Untuk itu, pertanyaan masa depan bagaimana AI digunakan secara etis, bagaimana Islam merespons terhadap kerusakan ekologi, tidak cukup dijawab hanya dengan dalil-dalil normatif semata. Diperlukan riset interdisipliner yang berakar kuat pada nilai Islam, berbasis data, analisis ilmiah, dan visi kemaslahatan untuk membangun solusi nyata dan berkeadaban.
Pengetahuan Menyapa Realitas Kehidupan
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam memiliki modal besar untuk bergerak maju, populasi mahasiswa yang sangat beragam, tradisi akademik dan keagamaan yang mapan, serta jejaring ulama, birokrasi, dan komunitas yang kaya sebagai laboratorium sosial-keagamaan. Namun potensi ini belum terkelola secara optimal. Transformasi keilmuan Islam menuntut pergeseran paradigma, riset keagamaan tidak sekadar melestarikan teks, tetapi menghadapkan ajaran pada realitas dan persoalan masyarakat. Pendekatan interdisipliner menjadi satu keniscayaan.
Tafsir harus berdialog dengan linguistik komputasional, fikih dengan ekonomi dan kebijakan publik, pendidikan Islam dengan psikologi kognitif, serta akhlak dan tasawuf dengan psikologi moral, dan seterusnya. Integrasi inilah jalan menuju keilmuan Islam yang relevan, transformative serta menjawab berbagai persoalan kekinian di tengah-tengah masyarakat.
Perubahan paradigma ini tidak sekadar teknis-metodologis, tetapi juga etis. Keilmuan Islam harus hadir sebagai suara yang menyeimbangkan perkembangan teknologi dan kepentingan kemanusiaan. Di tengah pesatnya kecerdasan buatan, riset lintas ilmu yang memadukan prinsip maqashid al-syari’ah dengan etika AI dapat memberi perspektif baru yang tidak dimiliki oleh berbagai disiplin lain.
Demikian juga dalam isu lingkungan, konsep khilafah dan amanah dapat diartikulasikan sebagai fondasi etika ekologis modern. Tugas Pendidikan Tingi Keagamaan Islam tentunya mengajukan gagasan yang bukan hanya islami secara normatif, tetapi juga valid secara ilmiah dan relevan secara sosial.
Transformasi interdisipliner hanya dapat terwujud jika PTKI memiliki struktur akademik yang visioner. Pimpinan harus berani mereformasi kurikulum dengan mengintegrasikan sains-data, riset digital, dan literasi teknologi ke seluruh program studi. Pada saat yang sama, peningkatan kapasitas dosen menjadi agenda mendesak melalui penguasaan metodologi penelitian mutakhir, analisis kuantitatif dan kualitatif, studi komparatif lintas disiplin dan lintas negara, serta kemampuan publikasi ilmiah berbasis temuan empiris.
Selain itu, ekosistem riset kolaboratif antar perguruan tinggi, lembaga riset nasional, dan universitas global perlu diperkuat supaya penelitian keislaman memiliki landasan akademik yang kokoh, akses data yang luas, dan ruang pertukaran gagasan yang produktif dan inovatif.
Ilmu yang Menggerakan Perubahan
Pengelolaan dana reset harus difokuskan pada isu-isu strategis yang menyentuh kebutuhan nyata umat dan bangsa, seperti pencegahan radikalisme digital, penguatan ekonomi syariah yang inklusif, pemerataan akses pendidikan, pemajuan kesehatan reproduksi yang selaras dengan nilai Islam, serta peningkatan literasi keagamaan generasi Z. Bandura menegaskan bahwa intervensi pengetahuan akan efektif jika berakar pada konteks sosial-budaya yang dihadapi masyarakat.
Tanpa arah prioritas yang jelas, riset pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam berisiko menjadi sekadar tumpukan laporan tanpa dampak sosial. Dunia menanti kontribusi keilmuan Islam yang mencerahkan akal, menenangkan nurani, dan menggerakkan perubahan menuju kemajuan.
Pada titik inilah keilmuan Islam pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam harus melampaui narasi normatif dan menjadi ilmu yang memecahkan persoalan. Keilmuan Islam harus tampil sebagai sumber inspirasi metodologis, bukan hanya sumber aturan. Pendekatan interdisipliner membuat keilmuan Islam bergerak dari ruang kelas menuju ruang kehidupan, dari teks menuju konteks, dari monolog menuju dialog dengan sains, teknologi, dan masyarakat global. Masa depan keilmuan Islam ditentukan oleh keberanian para ilmuwan, dosen, dan mahasiswa untuk merentangkan pengetahuan, memperluas horizon, dan membangun jembatan antar-disiplin demi kemaslahatan umat dan bangsa.
Transformasi keilmuan Islam keniscayaan yang tak dapat ditunda, hal tersebut memastikan ilmu agama tetap hidup dan relevan dalam menghadapi dinamika zaman. PTKI harus berperan bukan hanya sebagai penjaga warisan intelektual, tetapi sebagai motor inovasi yang menautkan nilai wahyu dengan temuan sains modern.
Di tengah percepatan perubahan global, keilmuan Islam perlu hadir sebagai kompas peradaban yang menuntun arah moral umat manusia, dengan kedalaman spiritual, ketajaman analisis, dan keberanian berkolaborasi lintas disiplin, kemampuan membaca realitas secara kritis, bijak, transformatif di setiap zaman dan berkelanjutan.