Senin 24 Nov 2025 06:19 WIB

Jejak Santri, Kalbu Suci, dan Martabat Negeri

Selama di pesantren, santri tak sekadar mengasah nalar, tapi juga melembutkan kalbu.

Sejumlah santri berdoa saat mengikuti apel Hari Santri Nasional di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (22/10/2025). Peringatan Hari Santri Nasional dengan tema Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia tersebut diikuti oleh ribuan santri Lirboyo.
Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Sejumlah santri berdoa saat mengikuti apel Hari Santri Nasional di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (22/10/2025). Peringatan Hari Santri Nasional dengan tema Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia tersebut diikuti oleh ribuan santri Lirboyo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lanskap peradaban Islam, pesantren sering dipahami sekadar sebagai lembaga pendidikan tradisional, tempat para santri belajar kitab kuning, hidup sederhana, bangun sebelum subuh, dan meneladani kiai.

Namun di balik rutinitas yang tampak biasa itu, tersembunyi sebuah dinamika ruhani yang jauh lebih dalam: quwwah al-rūḥiyyah, potensi ruh yang membentuk kedalaman akhlak, ketenangan batin, dan orientasi hidup yang didasari penyaksian (musyahadah) terhadap nilai-nilai ilahiah. Potensi inilah yang menjadikan pesantren bukan hanya pusat pendidikan, tetapi pusat pembentukan peradaban.

Baca Juga

Pendidikan pesantren berangkat dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ruhani sebelum menjadi makhluk sosial, dan bahwa kemajuan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis, tetapi terutama oleh keadaan hati. Dalam logika tasawuf, perubahan sosial adalah pancaran dari perubahan batin. Di sinilah relevansi teori tajalli Ibn ‘Arabi menemukan tempatnya. Tajalli menggambarkan bagaimana cahaya Ilahi memancar ke berbagai tingkatan wujud, dan bagaimana hati manusia menjadi cerminnya. Ketika hati disucikan, ia memantulkan cahaya kebijaksanaan, kasih sayang, dan kebenaran.

Pesantren, dengan seluruh tradisi tazkiyah dan adabnya, merupakan arena pemolesan hati agar siap menerima pancaran cahaya itu. Rutinitas harian santri—mulai subuh berjamaah, zikir, menghafal teks, melayani kiai, hingga kerja bakti—adalah riyadhah ruhani yang menyiapkan mereka untuk takhalli (mengosongkan diri dari sifat buruk) dan tahalli (menghias diri dengan akhlak mulia).

Ketika keduanya terjadi, hati siap menerima tajalli: pancaran makna-makna mendalam dari ilmu dan kehidupan. Dengan demikian, santri tidak hanya belajar memahami teks, tetapi juga menangkap ruh dari teks tersebut. Ilmu menjadi cahaya, bukan sekadar informasi.

Kedalaman ruhani ini melahirkan manusia yang tenang, rendah hati, dan bijaksana. Mereka tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan mampu melihat persoalan melalui kacamata yang jernih. Dalam kehidupan sosial, karakter semacam ini menjadi fondasi etika publik, pembentukan solidaritas, dan stabilitas moral. Inilah kontribusi pesantren dalam membentuk peradaban Islam yang diwarnai kelembutan akhlak dan keteguhan nilai.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement