
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Keamanan PBB telah mengukir sebuah lembaran baru dalam dinamika geopolitik global. Pada tanggal 17 November silam, secara resmi mereka mengesahkan Resolusi 2803 (2025), sebuah keputusan krusial yang salah satu dampaknya adalah membukakan jalan bagi hadirnya International Stabilisation Force (ISF) di Jalur Gaza. Resolusi penting ini berhasil meraih dukungan dari 13 negara anggota, meskipun Rusia dan China memilih untuk menahan diri, abstain dalam pengambilan suara tersebut.
Rancangan resolusi ini laksana mercusuar harapan, menandai babak baru dalam upaya merajut kembali kestabilan di Gaza. Mandat yang diemban ISF melampaui tugas menyalurkan bantuan kemanusiaan semata atau menjaga perdamaian yang rapuh. Lebih jauh lagi, sejalan dengan amanat teks resolusi, kehadiran mereka juga bertujuan untuk menopang proses restrukturisasi keamanan dan "pelucutan senjata" kelompok-kelompok non-negara bersenjata yang berada di sana.
Penolakan Hamas
Kelompok Hamas, pemimpin de facto di Gaza, dengan keras menolak resolusi tersebut. Dalam pernyataannya, Hamas menyebut mandat ISF yang terkait pelucutan senjata sebagai “upaya perwalian internasional” yang tidak sesuai aspirasi rakyat Palestina. Menurut Hamas, senjata perlawanan bukan sekadar alat militer, melainkan simbol perjuangan dan pertahanan rakyat Palestina.
Penolakan itu bukan sekadar retorika. Tanpa persetujuan penuh kelompok perlawanan, setiap upaya untuk melucuti senjata bisa memicu konfrontasi militer. Ini menjadi dilema besar: apakah ISF akan menjadi penjaga perdamaian netral, atau pasukan dengan mandat koersif (peace-enforcement)?
Posisi Indonesia
Pemerintah Indonesia menyatakan menyambut baik resolusi PBB tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan bahwa keterlibatan Otoritas Palestina sangat penting agar misi stabilisasi bisa dijalankan secara inklusif dan efektif.
Namun, jika mandat ISF meluas menjadi demiliterisasi secara aktif terhadap kelompok Palestina bersenjata, hal ini bisa menempatkan Indonesia dalam posisi strategis yang sangat sulit.
Di satu sisi, secara moral dan politik, menjadi bagian dari operasi yang menekan perlawanan Palestina bisa merusak citra Indonesia sebagai pendukung hak kemerdekaan Palestina.
Di sisi lain, secara operasional, jika TNI terlibat dalam operasi seperti ini, risiko bentrokan dengan kelompok bersenjata lokal sangat tinggi.
Motif di Balik Resolusi PBB
Analisis jurnalis dan pengamat politik menunjukkan berbagai potensi motif di balik dukungan terhadap resolusi ini:
1. Agenda keamanan Israel — beberapa negara mendukung karena menginginkan struktur keamanan Gaza yang lebih stabil dan bisa dikontrol, untuk mencegah serangan roket dan kekuatan perlawanan.
2. Peran Amerika Serikat — resolusi ini sejalan dengan rencana perdamaian “20 poin” yang pernah diusulkan Donald Trump pada Oktober silam.
3. Dukungan regional — sejumlah negara Arab dan Muslim tampak mendukung mekanisme transisi stabilisasi, tetapi dengan catatan bahwa hak Palestina tetap dihormati.
Risiko dan Tantangan Implementasi
Legitimasi BoP: Resolusi juga membentuk Board of Peace (BoP) sebagai badan transisi yang akan mengatur rekonstruksi dan keamanan Gaza. Namun, kritik muncul bahwa BoP bisa menjadi entitas internasional yang mengambil alih sebagian kedaulatan Palestina.