Jumat 10 Oct 2025 09:47 WIB

Gencatan Senjata Gaza: Dari Krisis Kemanusiaan ke Dinamika Geopolitik Baru

Dunia akhirnya menyaksikan peluang besar perdamaian di Gaza.

Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
Foto: Dokpri
Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahmi Salim — Direktur Baitul Maqdis Institute

 

Setelah hampir dua tahun genosida yang menelan puluhan ribu korban, dunia akhirnya menyaksikan peluang besar perdamaian di Gaza. Serangkaian pernyataan resmi dari Israel, Hamas, Mesir, Rusia, hingga Amerika Serikat menandai tercapainya kesepakatan gencatan senjata dan penarikan pasukan pendudukan dari Jalur Gaza.

Walau masih menunggu pengesahan kabinet Israel, momentum ini menandai titik balik penting dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang penuh risiko. Gaza, yang selama dua tahun menjadi simbol penderitaan kemanusiaan, kini menjadi arena uji bagi kesungguhan dunia dalam menegakkan keadilan dan perdamaian.

Negosiasi Panjang dan Peran Negara Mediator

Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa kesepakatan ini lahir dari negosiasi serius untuk mengakhiri perang pemusnahan terhadap rakyat Palestina dan memastikan penarikan pasukan Israel. Gerakan itu menyampaikan apresiasi kepada Qatar, Mesir, dan Turki sebagai mediator utama, serta mengakui peran Presiden AS Donald Trump yang kembali aktif dalam upaya diplomasi di Sharm el-Sheikh.

Keterlibatan Trump menjadi ironi geopolitik tersendiri. Setelah masa pemerintahan Biden yang cenderung pro-Israel, kehadiran Trump sebagai inisiator perdamaian menunjukkan perubahan taktis Washington. Sementara itu, Mesir dan Qatar tetap memegang peran penting sebagai jembatan komunikasi yang menjaga keseimbangan antara kepentingan regional dan Barat.

Rusia, melalui pernyataan resmi Kremlin, juga menyambut positif kesepakatan tersebut. Bagi Moskow, perdamaian di Gaza bukan hanya soal stabilitas kawasan, tetapi juga peluang untuk menegaskan posisi Rusia sebagai kekuatan penyeimbang dalam sistem dunia yang semakin multipolar.

Dilema Strategis bagi Israel dan Hamas

Kesepakatan ini membawa implikasi politik yang kompleks. Bagi Hamas, deklarasi gencatan senjata adalah kemenangan simbolik. Setelah dua tahun pertempuran sengit, mereka berhasil memaksa Israel untuk duduk di meja perundingan — sebuah pencapaian yang jarang terjadi. Dalam kacamata politik perlawanan, pengakuan internasional terhadap peran Hamas di meja negosiasi memberi legitimasi politik baru. 

Bukan itu saja, Hamas juga berhasil memaksa Israel membebaskan tahanan politik Palestina papan atas seperti: Marwan Bargouti, Ahmed Saadat, Ibrahim Hamed dan Hassan Salameh. Dibebaskannya mereka sudah pasti akan memperkuat persatuan nasional Palestina dan menggagalkan rencana klasik Israel untuk memecah belah antara kubu Gaza pro-perlawanan dan kubu Ramallah yang tunduk kepada syarat penjajah. Ini akan membuka era baru dominasi kubu perlawanan Palestina yang akan memimpin pemerintahan persatuan nasional, dan kebangkrutan faksi Fatah yang anti-perlawanan dan kordinasi keamanan dengan Israel sejak Oslo Accord 1993 yang banyak merugikan kepentingan nasional Palestina.

Bagi Israel, keputusan ini menghadirkan dilema. Pemerintahan Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar dari dalam negeri: kelompok sayap kanan menolak kompromi, sementara publik menuntut penghentian perang dan pembebasan sandera. Kantor Netanyahu bahkan menegaskan bahwa gencatan senjata baru berlaku setelah disetujui kabinet — tanda tarik-menarik kepentingan antara politik, militer, dan tekanan moral masyarakat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement