
Oleh : Ahmad Tholabi Kharlie, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek RI, alumnus Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden tragis yang menimpa Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, menyentuh hati banyak pihak. Kabar bahwa sejumlah santri ikut ngecor bangunan hingga terjadi peristiwa maut menimbulkan keprihatinan mendalam. Publik pun bertanya-tanya, mengapa para santri ikut bekerja layaknya tukang bangunan? Bukankah tugas utama mereka adalah belajar di kelas dan mengaji di pesantren?
Pertanyaan semacam ini muncul dari cara pandang masyarakat modern yang menilai pendidikan sebatas aktivitas akademik di ruang kelas. Padahal, bagi dunia pesantren, kegiatan seperti ro’an, khidmah, dan tabarrukan adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang telah mengakar kuat dalam sejarah Islam Nusantara.
Dalam tradisi pesantren, ro’an berarti kerja bakti bersama yang dilakukan santri, baik untuk kepentingan pondok maupun masyarakat sekitar. Aktivitas ini bukan semata kegiatan yang bersifat fisik, tapi juga mengandung pendidikan nilai dan spiritualitas yang sangat mendalam. Akar spiritualnya berpijak pada perintah Alquran tentang pentingnya tolong-menolong dalam kebaikan, sebagaimana firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Qs. al-Ma’idah [5]: 2)
Ayat ini sering menjadi ruh dari praktik ro’an di banyak pesantren. Pendidikan di pesantren menempatkan kegiatan keilmuan dan pengabdian sosial dalam satu kesatuan yang integratif. Santri dididik agar memahami ilmu agama secara mendalam, sekaligus mampu mengekspresikan nilai-nilai keislaman itu dalam bentuk kepedulian sosial dan kontribusi nyata di lingkungan sekitarnya. Ro’an atau kerja bersama menjadi bentuk nyata dari ukhuwah (persaudaraan) dan ta’awun (kerja sama) yang melahirkan rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial yang tinggi.
Dalam pandangan kiai, kegiatan seperti ngecor, membersihkan lingkungan, memperbaiki bangunan, atau membantu tetangga, bukanlah pekerjaan kasar yang menurunkan martabat santri. Sebaliknya, itu adalah madrasah kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai luhur Islam seperti keikhlasan, disiplin, dan kebersamaan.
Dunia pesantren mengenal adagium penting, “Man lam yakhdim lam yafham”, Barang siapa tidak pernah berkhidmah, maka ia tidak akan memahami (ilmu) dengan sempurna. Artinya, ilmu tidak hanya dicapai melalui pengajaran (ta‘lim), tetapi juga melalui pengabdian (khidmah). Dalam tradisi ini, mengabdi kepada pondok dan masyarakat adalah bagian dari proses pencarian ilmu itu sendiri.