Kamis 27 Nov 2025 18:30 WIB

Menguatkan Akuntabilitas Digital Institusi Zakat di Era Keterbukaan Informasi

Institusi Zakat bukan sekadar entitas filantropi.

Warga membayar zakat fitrah di Unit Pelayanan Zakat (UPZ) Masjid istiqlal, Jakarta, Selasa. (18/3/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga membayar zakat fitrah di Unit Pelayanan Zakat (UPZ) Masjid istiqlal, Jakarta, Selasa. (18/3/2025).

Oleh : Syuhelmaidi Syukur, Chairman Harika Foundation dan Mahasiswa Pascasarjana Institut SEBI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun terakhir beredar banyak informasi yang menyesakkan dada terkait keterbukaan informasi publik. Dan itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah era yang terbuka secara informasi. Masyarakat juga semakin peduli terhadap informasi dan menjadikan dasar dalam pengambilan Keputusan. Institusi Zakat dalam hal ini perlu memberikan perhatian lebih dalam hal informasi publik ini, agar eksistensi dan kepercayaan publik dapat terus ditingkatkan.

Digitalisasi bukan hanya pilihan teknis, tetapi keniscayaan strategis bagi lembaga zakat dalam memperkuat legitimasi publik. Berdasarkan Artikel penelitian Wahyudi, Herianingrum, dan Ratnasari (2021) menunjukkan kenyataan yang mengkhawatirkan: indeks akuntabilitas berbasis website Institusi Zakat Nasional hanya mencapai 47 persen, dengan dimensi transparansi 43 persen, akuntabilitas 34 persen, dan responsibilitas hanya 27 persen (Wahyudi et al., 2021). Fakta ini menunjukkan gap serius antara kemajuan teknologi dan kualitas pertanggungjawaban publik.

Sebagai lembaga yang mengelola amanah dan dana umat, Institusi Zakat bukan sekadar entitas filantropi; ia juga memiliki dimensi keimanan, ketaatan pada nilai-nilai Islam serta pertanggungjawaban sosial yang kental. Namun, fenomena muzaki yang cenderung menyalurkan zakat langsung ke mustahik menunjukkan masih rendahnya trust institutional. Artikel ini menegaskan bahwa kelemahan tata kelola dan minimnya transparansi digital menjadi faktor utama. (Wahyudi et al., 2021)

Dalam perspektif ekonomi Islam dan sharÄ«‘ah enterprise theory, akuntabilitas harus mencakup direct dan indirect stakeholders -- bukan hanya pelaporan teknis, tapi juga mengkomunikasi nilai-nilai (values), dampak sosial (social impact), dan kebijakan strategis. Oleh karena itu, website Institusi Zakat seharusnya bukan hanya “papan informasi”, tetapi “portal akuntabilitas interaktif” yang memungkinkan publik melakukan evaluasi berbasis data.

Trust based Accountability

Penulis berpendapat, praktik akuntabilitas digital harus bergeser dari compliance-based menuju trust-based accountability. Tidak cukup hanya ketaatan pada regulasi yang mengatur masalah pertanggungjawaban Institusi Zakat, tapi harus menjadi kesadaran, yaitu kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kinerja Institusi Zakat kepada publik. Jadi harus menjadi komponen strategis yang harus dilakukan Institusi Zakat, agar kepercayaan publik terus meningkat.

Ada tiga rekomendasi strategis yang menurut penulis penting untuk ditindaklanjuti oleh Institusi Zakat. Pertama, Integrasi pelaporan real-time berbasis dashboard digital, mencakup penghimpunan dan distribusi dana, pertumbuhan muzaki dan mustahik, hingga dampak program bagi pengentasan kemiskinan. Dengan dashboard digital pergerakan data penghimpunan dan pendistribusian dana terpantau dengan mudah. Apalagi bisa dilengkapi dengan dampak sosial dari program, maka akan secara significant meningkatkan kepercayaan publik.

Kedua, Membangun kultur akuntabilitas berbasis riset dan audit independen, mengapa ini penting? karena dimensi riset hanya mendapat skor 2 dari 75 indikator (sangat rendah) (Wahyudi et al., 2021). Keterbukaan Institusi Zakat terhadap para peneliti untuk melakukan riset atas berbagai aspek strategis lembaga akan sangat memperkuat akuntabilitas Institusi Zakat. Karena hasil riset pada peneliti akan menjadi rujukan secara akademis dan bagi pengambil kebijakan. Demikian juga audit independen oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), apalagi audit sudah menjadi kewajiban secara regulasi. Dengan predikat WTP (wajar tanpa pengecualian) kepercayaan publik kan semakin meningkat.

Ketiga, Mendorong sinergi regulator–institusi zakat–akademisi untuk mengembangkan standar tata kelola zakat digital yang berorientasi pada user-experience publik dan penguatan legitimasi syariah. Sinergi ini akan membuka ruang kerjasama dan kesamaan perspektif dalam mengelola dana umat yang lebih baik. Aturan regulasi yang dihasilkan dari sinergi ini akan lebih membumi, hasil riset akademisi juga lebih dirasakan manfaatnya, dan Institusi Zakat juga akan dengan senang hati taat dan patuh pada regulasi dan menjalankan rekomendasi akademisi karena manfaat yang dirasakan.

Bagi Institusi Zakat penelitian ini seharusnya menjadi wake-up call untuk segera berbenah. Jika akuntabilitas digital tidak segera diperkuat, Institusi Zakat berpotensi kehilangan momentum di tengah meningkatnya literasi digital masyarakat Muslim. Di era donasi online dan fintech syariah sekarang ini, kepercayaan publik tidak hanya dibangun dari narasi dan publisitas, tetapi dari data yang dapat diverifikasi secara terbuka oleh semua stakeholder Institusi Zakat.

Sebagai penutup, penulis menilai bahwa akuntabilitas berbasis digital bukan hanya sekedar mekanisme pelaporan, tetapi ia adalah instrumen ‘tabligh’ modern dalam penguatan pengelolaan filantropi Islam. Ke depan, keberhasilan institusi zakat tidak hanya diukur dari total penghimpunan dana, tetapi dari sejauh mana ia menghadirkan transparansi, partisipasi, dan keberlanjutan kepercayaan publik melalui berbagai platform digital.

Wallahu a'lam bish shawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement