
Oleh : Ratna Puspita, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Jaya
REPUBLIKA.CO.ID, Video penemuan Rafflesia hasseltii di Sijunjung, Sumatra Barat, menjadi viral di media sosial pada pertengahan November lalu. Publik hanyut dalam euforia setelah melihat rekaman tangis haru Septian Andriki, atau Deki, yang menunggu 13 tahun untuk menemukan bunga langka itu. Video tersebut disukai, dibagikan, dan dikomentari ribuan kali.
Kisah perjalanan berat di tengah hutan, momen bunga mekar di malam hari, dan keindahan visualnya membuat penemuan ini terlihat seperti “keajaiban hutan” yang memukau banyak orang. Namun hanya beberapa hari kemudian, suasana media sosial berubah. Lini masa dipenuhi unggahan tentang konflik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), yakni demonstrasi, penertiban, hingga perusakan fasilitas negara. Tagar #KamiBersamaTessoNilo dan #SaveTessoNilo bermunculan untuk menunjukkan keberpihakan masing-masing pihak.
Kedua peristiwa ini tampak tidak berhubungan, tetapi sesungguhnya menunjukkan hal yang sama, yakni media sosial tidak hanya menyebarkan informasi tentang lingkungan, melainkan memperbesar emosi yang muncul dari peristiwa tersebut. Algoritma menentukan peristiwa apa yang dianggap penting, dan yang paling sering diangkat adalah yang memicu rasa haru atau kemarahan, bukan yang menjelaskan persoalan sebenarnya.
Unggahan tentang Rafflesia hasseltii memiliki pola yang mirip, yakni dramatis, dekat dengan emosi personal, dan dipenuhi unsur heroik. Narasi seperti “bunga yang lebih sering dilihat harimau daripada manusia”, perjalanan 20 jam melewati hutan, hingga proses bunga yang mekar di malam hari adalah elemen yang sangat disukai algoritma.
Platform seperti Instagram bekerja berdasarkan engagement. Semakin banyak orang menyukai atau mengomentari sebuah konten, semakin sering konten itu muncul di beranda orang lain. Karena itu, penemuan Rafflesia tidak hanya terlihat sebagai keberhasilan ilmiah, tetapi berubah menjadi tontonan visual yang memukau.
Bahkan ketegangan, seperti kritik terhadap akun resmi Universitas Oxford yang tidak mencantumkan nama peneliti Indonesia, justru membuat peristiwa ini makin ramai dibicarakan. Kontroversi membuat interaksi meningkat, sehingga umur viralitas menjadi lebih panjang.
Namun, perhatian publik pada sisi dramatis ini sering membuat hal penting lain tertutup. Misalnya, kondisi habitat Rafflesia yang terancam, atau minimnya perlindungan jangka panjang. Algoritma cenderung memilih hal-hal yang memukau mata, bukan penjelasan tentang masalah ekologis yang sebenarnya jauh lebih mendesak.
Lihat postingan ini di Instagram
Berbeda dari kegembiraan pada penemuan Rafflesia, unggahan tentang Tesso Nilo dipenuhi kemarahan dan saling serang. Konten yang menyalahkan pendemo, menuduh warga merusak fasilitas negara, atau menegaskan kekuatan hukum negara mendapat banyak respons karena memicu emosi yang kuat.
Ada beberapa pola yang terlihat. Pertama, polarisasi atau dipaksa memilih kubu. Unggahan seperti “Kamu bersama siapa?” atau menyebut masyarakat sebagai “perusak” membuat persoalan Tesso Nilo seolah hanya memiliki dua sisi, yakni benar dan salah.
Padahal, masalah sebenarnya jauh lebih rumit, mulai dari ketidakjelasan tata batas hingga ketergantungan ekonomi warga. Bagi algoritma, polarisasi adalah keuntungan. Semakin panas perdebatan, semakin banyak interaksi yang muncul.
Kedua, visual yang dramatis. Visual prajurit yang diturunkan untuk menjaga kawasan, pos komando yang dirusak, atau gajah bernama Domang dijadikan ikon, memicu emosi yang kuat.
Ketiga, konflik lebih menarik daripada penjelasan. Persoalan penting seperti sejarah panjang pembiaran kebun sawit ilegal, minimnya kepastian hukum, atau akses ekonomi masyarakat jarang menjadi viral. Konten bernuansa konflik lebih mudah naik ke permukaan dibanding konten yang menjelaskan akar masalah.
Hasilnya, isu Tesso Nilo disederhanakan menjadi drama moral di media sosial. Padahal, krisis ini melibatkan persoalan agraria, kesenjangan ekonomi, kebijakan tata ruang, dan kegagalan negara dalam jangka panjang.
Pola dari kedua peristiwa itu menunjukkan bahwa algoritma media sosial mempengaruhi pandangan publik tentang hutan. Pertama, emosi lebih diprioritaskan daripada urgensi ekologis. Penemuan Rafflesia membuat publik terpukau, tetapi perhatian pada konservasi habitatnya tenggelam.
Kedua, konflik lebih cepat viral daripada solusi. Isu Tesso Nilo dibicarakan lewat kemarahan, bukan lewat pemahaman. Ketiga, hutan diperlakukan sebagai tontonan. Keajaiban dan krisis sama-sama menjadi konten, tetapi tidak membawa pemahaman yang lebih dalam tentang kesehatan ekosistem.
Hutan tidak membutuhkan sensasi viral. Yang dibutuhkan adalah pemahaman utuh tentang apa yang terjadi di dalamnya. Rafflesia yang mekar dan konflik di Tesso Nilo seharusnya menjadi pengingat bahwa ekologi kita tidak hanya menghadapi tekanan di lapangan, tetapi juga di ruang digital. Media sosial pada akhirnya tidak hanya menyebarkan kabar tentang hutan, tetapi membentuk cara kita membayangkannya, yakni indah ketika spektakuler, gaduh ketika konflik, dan sepi ketika membutuhkan perhatian jangka panjang.