REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: David Krisna Alka, Ketua Umum Perhimpunan Rakyat Progresif (PRP) dan Wakil Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah
Lagu Hymne Guru yang diciptakan oleh seorang guru bernama Sartono dinyanyikan saat memperingati Hari Guru setiap 25 November menyiratkan, peran guru jauh melampaui ruang kelas. Guru membentuk nalar, menuntun karakter, dan menjaga warisan nilai yang menjadi fondasi peradaban bangsa.
Dalam satu tahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melakukan sejumlah langkah progresif. Langkah itu mencakup beasiswa peningkatan kualifikasi, perluasan pelatihan profesi, hingga kenaikan tunjangan bagi guru non-ASN dan honorer. Selain itu, arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam percepatan rekrutmen ASN PPPK, misalnya, menjadi langkah korektif yang lama dinanti.
Setelah bertahun-tahun ketimpangan tenaga pendidik dibiarkan, kebijakan ini memberi kepastian bagi ratusan ribu guru honorer. Akomodasinya tidak terbatas dalam bentuk status formal, tetapi juga pemulihan martabat profesi.
Kebijakan ini menemukan pijakannya pada gagasan Ki Hadjar Dewantara yang memandang guru sebagai “pamong,” sosok yang menuntun, bukan sekadar mengajar. Langkah memperkuat pelatihan, memangkas administrasi, dan membuka akses pengembangan profesi sebagai upaya menegakkan martabat guru.
Meski demikian, rekrutmen besar-besaran harus diikuti desain karier yang lebih tertata agar profesionalisme guru tumbuh berkelanjutan. Pelatihan perlu mengedepankan mutu, bukan hanya memenuhi target jumlah. Dan sebelum menuntut guru untuk inovatif, negara perlu memastikan bahwa beban administratif dan birokrasi yang menghambat kreativitas sudah dikurangi.
Dalam pandangan Nel Noddings (1992) tentang ethics of care, kualitas pendidikan lahir dari relasi yang memungkinkan murid merasa diperhatikan. Karena itu, kebijakan yang menumpuk beban administratif bukan hanya mengganggu teknis mengajar, tetapi merusak ruang paling mendasar dari profesi guru: ruang kepedulian. Di titik inilah perhatian tak bisa berhenti pada ruang kelas saja, melainkan harus bergerak ke persoalan yang lebih struktural.
Melampaui ruang kelas
Wajah guru Indonesia hari ini ditentukan oleh arah kebijakan pendidikan yang diletakkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Langkah merapikan kurikulum, misalnya, menjadi upaya mendudukkan kembali guru sebagai pusat pembelajaran, bukan sebagai pelengkap administrasi.
Ketika beban teknis dikurangi, ruang kelas pun memperoleh napas baru: guru kembali dapat menatap murid, bukan tenggelam dalam laporan. Namun, penyederhanaan kurikulum hanyalah satu sisi dari pekerjaan besar.
Di sisi lain, Kemendikdasmen mulai membaca kebutuhan guru dalam kerangka yang lebih konkret. Salah satu langkahnya ialah membuka akses peningkatan kualifikasi melalui beasiswa bagi 12.500 guru, yang akan diperluas menjadi 150.000 penerima pada 2026. Pemerintah juga memperkuat kompetensi guru lewat pelatihan skala luas, mulai dari Pendidikan Profesi Guru dan penguatan Bimbingan Konseling hingga pembelajaran mendalam (deep learning).
Upaya menyentuh kesejahteraan pun dilakukan lewat insentif dan tunjangan yang disalurkan langsung ke rekening guru. Di saat yang sama, beban administratif yang selama ini menyita energi perlahan dikurangi agar guru kembali dapat menaruh fokus pada pembelajaran, bukan pada formulir.
Dari sinilah arah kebijakan bergeser pada tujuan yang lebih mendasar, yaitu mengembalikan penghormatan terhadap profesi guru. Sebab profesionalitas tak lahir dari slogan pengabdian, tetapi dari jaminan dan dukungan struktural yang membuat guru dapat bekerja dengan tenang dan bermartabat.