Selasa 30 Sep 2025 20:37 WIB
Wawancara Pakar Tasawuf Sosial

Reformasi Polri dengan Revolusi Ruhani Polisi

Reformasi Polri harus melibatkan kecerdasan emosional-spiritual, bukan cuma aksesoris

Sejumlah polisi mengikuti Upacara HUT ke-76 Bhayangkara di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (5/7/2022). Kegiatan itu mengangkat tema Polri yang Presisi Mendukung Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural untuk Mewujudkan Indonesia Tangguh - Indonesia Tumbuh.
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Sejumlah polisi mengikuti Upacara HUT ke-76 Bhayangkara di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (5/7/2022). Kegiatan itu mengangkat tema Polri yang Presisi Mendukung Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural untuk Mewujudkan Indonesia Tangguh - Indonesia Tumbuh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Dari jurnalis menjadi akademisi dan praktisi tasawuf, mantan bendahara umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat ini menilai reformasi Polri harus melibatkan kecerdasan emosional-spiritual, bukan hanya perbaikan aksesoris kepolisian.

Reformasi Polri kembali jadi sorotan. Kasus-kasus yang mencederai integritas aparat membuat publik menagih perubahan yang lebih fundamental. Budi Rahman Hakim, PhD, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lulusan McGill University Kanada (M.S.W.) dan Tilburg University Belanda (Ph.D.), serta penulis buku Genealogi Neosufisme di Indonesia menegaskan bahwa reformasi Polri tidak bisa berhenti di level prosedur.

“Polisi butuh kecerdasan ruhani. Tanpa itu, hukum bisa tegak di atas kertas, tapi runtuh dalam praktik,” ujar Budi kepada Republika, Selasa (30/9/2025). Berikut petikan wawancaranya:

Publik menyoroti reformasi di tubuh Polri setelah kasus Agustus kemarin. Kepala Polri pun membentuk tim sendiri, pemerintah bentuk tim sendiri. Menurut Anda?

Saya memandang Polri adalah institusi strategis. Mereka bukan hanya penegak hukum, tapi juga penjaga moral publik. Namun tantangannya besar: Godaan kekuasaan, tekanan politik, hingga ekspos media yang intens. Semua itu bisa membuat aparat kehilangan jati diri jika hanya mengandalkan kecerdasan intelektual dan keterampilan teknis. Di sinilah tasawuf sosial relevan. Polisi perlu kecerdasan emosional untuk mengendalikan amarah, empati terhadap rakyat, dan kesadaran spiritual agar setiap tindakan dianggap ibadah. Itu bukan retorika, tapi kebutuhan nyata. Aparat dengan jiwa bening akan lebih tahan godaan, lebih adil dalam memutuskan, dan lebih manusiawi dalam bertugas.

Bagaimana konsep ini bisa diterapkan di institusi sebesar Polri?

Ada beberapa langkah. Pertama, pendidikan dan pelatihan polisi jangan hanya menekankan fisik dan hukum, tapi juga latihan ruhani. Dzikir, refleksi, dan penguatan nilai etika bisa masuk dalam kurikulum. Kedua, pemimpin Polri harus memberi teladan: Sederhana, transparan, dan tidak arogan. Ketiga, perlu ruang konseling spiritual, agar anggota punya tempat untuk menenangkan diri, bukan hanya menyalurkan stres lewat cara destruktif.

Kita bisa belajar dari tradisi pesantren: disiplin, kepatuhan, tapi juga kasih sayang. Polisi yang kuat secara fisik akan tangguh di lapangan, tapi polisi yang kuat secara ruhani akan tangguh menghadapi godaan kekuasaan.

Anda optimistis moralitas aparat bisa dijaga lewat spiritualitas?

Betul. Tasawuf mengajarkan ihsan—berbuat baik seolah-olah melihat Allah SWT. Kalau nilai ini hidup, polisi akan merasa diawasi bukan hanya oleh hukum internal, tapi juga oleh nuraninya. Itu modal moral paling kuat.

Tapi kemudian, ada anggapan pesimistis di publik melihat reformasi Polri. Banyak kasus yang mencoreng nama baik. Berkali-kali terjadi. Menurut Anda?

Saya percaya perubahan selalu mungkin. Memang tidak mudah, tapi bisa dimulai dari hal sederhana: membangun kecerdasan ruhani di kalangan aparat. Kalau tubuh Polri adalah mesin, maka moral spiritual adalah oli yang membuat mesin bekerja mulus. Tanpa itu, mesin bisa panas dan rusak.

Bisa lebih spesifik, apa kecerdasan ruhani bagi polisi?

Ada tiga hal. Pertama, kesadaran diri: polisi harus tahu bahwa setiap tindakan punya konsekuensi hukum dan moral. Kedua, empati: aparat harus bisa merasakan penderitaan rakyat, bukan sekadar menjalankan prosedur. Ketiga, transendensi: polisi sadar bahwa pekerjaannya bukan sekadar profesi, tapi ibadah. Kalau tiga hal ini ada, polisi tidak akan mudah tergoda oleh suap, tekanan politik, atau godaan gaya hidup mewah.

Apakah ada contoh nyata praktik tasawuf sosial yang bisa dijadikan inspirasi untuk Polri?

Banyak. Abah Anom dari TQN Suryalaya misalnya, mendirikan program rehabilitasi narkoba berbasis dzikir. Itu menunjukkan tasawuf bisa menjawab masalah sosial konkret. Jika pendekatan ini dibawa ke Polri, akan ada banyak inovasi: misalnya program pembinaan narapidana berbasis spiritual, atau pelatihan polisi yang menekankan pengendalian diri.

Pesan Anda untuk institusi Polri dan masyarakat luas?

Pesan saya sederhana: jangan pisahkan pembangunan fisik dan pembangunan ruhani. Polisi butuh senjata, tapi juga butuh hati yang jernih. Kalau dua-duanya seimbang, Polri akan dihormati bukan karena takut, tapi karena kasih sayang dan integritas. Itulah polisi yang dicintai rakyat dan diridhai Tuhan.

Anda sekarang dikenal sebagai akademisi tasawuf. Tapi sebelumnya pun sempat jadi jurnalis. Bisa ceritakan latar belakangnya?

Betul. Perjalanan saya dimulai dari dunia jurnalistik. Saya dulu aktif di pers mahasiswa dan sempat bekerja sebagai wartawan. Dunia media melatih saya untuk peka pada realitas sosial, mendengarkan suara rakyat kecil, dan membedah fakta dengan kritis. Tapi di balik itu, saya merasakan ada ruang batin yang kosong. Saat itu saya sadar, kerja jurnalisme yang keras butuh fondasi spiritual agar tidak hanya mengejar berita, tapi juga makna.

Dari pengalaman itu saya melanjutkan studi sosial work di McGill University, Kanada, dan doktor di Tilburg University, Belanda. Saya meneliti tentang neosufisme dan tarekat di Indonesia. Lalu saya kembali ke tanah air, mengajar di UIN Jakarta, sambil membangun konsep Tasawuf Sosial. Ini upaya menjembatani pengalaman spiritual dengan persoalan sosial. Jadi peralihan saya bukan meninggalkan profesi jurnalis, melainkan memperluasnya. Dari menulis berita untuk publik, sekarang saya menulis dan mengajar untuk membangun kesadaran ruhani masyarakat.

Apa yang paling membekas dari perjalanan itu?

Pelajaran paling berharga adalah bahwa ilmu tanpa ruhani menjadi kering, dan spiritualitas tanpa aksi sosial menjadi hampa. Dunia jurnalisme memberi saya realitas, dunia tasawuf memberi saya kedalaman. Keduanya saling melengkapi.

sumber : Rilis
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement