Oleh: Nur Hadi Ihsan
Dosen Universitas Darussalam Gontor
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selasa malam, 11 September 2025, Bumi Perkemahan Cibubur menjelma menjadi ruang sejarah. Ribuan pasang mata tertuju ke panggung Culture Night Show dalam rangkaian acara World Muslim Scout Jamboree (WMSJ) 2025. Udara malam itu penuh dengan keheningan yang khidmat sekaligus riuh tepuk tangan santri dan pramuka dunia. Lampu-lampu sorot menyinari wajah-wajah muda yang duduk tertib, seolah menanti bukan sekadar konser musik, tetapi sebuah peristiwa batin.
Di atas panggung, seorang legenda musik tanah air berdiri. Iwan Fals—nama yang akrab di telinga berbagai generasi Indonesia—malam itu hadir bukan sebagai penghibur. Ia datang dengan kerendahan hati, membawa sebuah persembahan khusus: lagu bertajuk “100 Tahun Gontor.” Bukan lagu biasa, melainkan ikrar musikal, doa, dan penghormatan bagi sebuah Pondok yang telah melintasi satu abad perjalanan: Pondok Modern Darussalam Gontor.
Dentum gitar akustik mengalun, suara khas Iwan membuka malam dengan bait pertama. Suasana pun berubah: konser itu menjelma menjadi ziarah sejarah.
100 Tahun Gontor
Oleh: Iwan Fals
Di Ponorogo yang sunyi, Trimurti nyalakan api
Sebuah Pondok lahir dari niat suci
Santri datang dengan harapan membawa mimpi negeri
100 tahun benih di tanam kini pohon bersemi
Dari lumbung padi desa, suara azan menjadi kompas
Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan kitab menyatu tanpa batas
Disiplin jadi darah, ikhlas jadi nafas
Pesantren berdiri tegak walau zaman semakin keras
Anak kampung jadi pemimpin
Alumni pergi jauh
Ada yang jadi guru, ada yang jadi diplomat, ada yang jadi penyeru
Tak terhitung nama mereka tersebar bagai embun biru
Membawa ruh Darussalam dimanapun mereka tumbuh
Wahai Gontor rumah ilmu, rumah jiwa yang merdeka
Bukan milik pribadi, tapi wakaf untuk umat semua
100 tahun engkau berjalan setia pada cita-cita
Menggembleng manusia, bukan hanya mengejar nama
Mari kita nyanyikan bersama
Lagu syukur yang sederhana
Pondok 100 tahun berkahnya untuk dunia
Trimurti tersenyum di langit
Melihat amanah terjaga
Api itu tak pernah padam
Akan terus menyala
Setiap bait lirik itu terasa seperti lembaran kitab sejarah yang dibacakan dengan nada sederhana, namun menyentuh relung hati. Suara Iwan yang khas—bergetar, jujur, dan lugas—menyulut haru di dada para santri. Tidak sedikit yang menundukkan kepala, bibir mereka bergetar mengikuti syair, dan mata basah oleh ingatan kepada orang tua yang rela berkorban agar mereka bisa menuntut ilmu di Pondok.