Oleh: Suci Puspita Ratih, Renny Nurhasana, Peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun krisis kesehatan yang semakin meningkat dan biaya ekonomi yang terus membengkak, Indonesia tetap menjadi satu-satunya negara ASEAN yang belum meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di era ketika berbagai negara memanfaatkan pengendalian tembakau untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, memperkuat ruang fiskal, dan memperkokoh kesejahteraan sosial, kelambanan Indonesia berujung mahal, baik dari sisi nyawa, potensi ekonomi, maupun kredibilitas.
Meski begitu, pemerintah Indonesia patut diapresiasi karena belakangan ini mulai menunjukkan sikap yang lebih tegas terhadap pengendalian tembakau, seperti melalui terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28/2024, yang menjadi sinyal adanya kemauan politik baru untuk melindungi kesehatan masyarakat. Langkah ini hadir pada saat yang sangat tepat menjelang Konferensi Dunia tentang Pengendalian Tembakau (WCTC) 2025, sebuah forum internasional yang mempertemukan para pembuat kebijakan, akademisi, peneliti, dan pegiat kesehatan masyarakat untuk mempercepat pengendalian tembakau secara global. Acara penting ini akan menghadirkan para pemimpin dunia dan menjadi peluang penting bagi Indonesia.
Sebagai satu-satunya negara ASEAN yang belum meratifikasi FCTC, kehadiran Indonesia di WCTC akan menarik perhatian internasional, bukan hanya dari segi partisipasi, tetapi juga sikap kebijakan domestiknya. Konferensi ini bukan sekadar forum, melainkan cermin yang memantulkan baik kemajuan maupun kelambanan. Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kesiapan berbalik arah, terlibat dalam pertukaran pengetahuan global, dan berkomitmen pada reformasi demi melindungi kesehatan, mengurangi ketimpangan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Indonesia telah lama menghadapi prevalensi merokok yang sangat tinggi, khususnya di kalangan laki-laki dan remaja. Kondisi ini membebani sistem kesehatan nasional secara signifikan. Berdasarkan temuan terbaru dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), biaya ekonomi akibat merokok telah meningkat menjadi Rp27,7 triliun, melonjak dari Rp13,7 triliun pada tahun 2015. Sebagian besar beban ini berasal dari biaya pengobatan penyakit akibat tembakau, yang menyerap 88 persen anggaran BPJS Kesehatan untuk penyakit tidak menular. Indonesia kehilangan sumber daya, bukan karena industri ambruk, tetapi karena kelambanan kebijakan.
Salah satu dampak paling mendesak dari lemahnya regulasi tembakau di Indonesia adalah harga rokok yang tetap murah. Harga yang rendah memudahkan anak-anak dan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses dan akhirnya kecanduan rokok. Sebuah studi oleh Dartanto dkk. (2018) tentang perilaku merokok orang tua dan dampaknya terhadap perkembangan anak menemukan bahwa, dalam banyak rumah tangga miskin, rokok sering kali diprioritaskan dibanding kebutuhan penting seperti makanan bergizi, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pola belanja ini menyebabkan efek penggusuran tragis, di mana konsumsi tembakau memperburuk malnutrisi anak, menghambat perkembangan, dan meningkatkan angka penyakit yang seharusnya bisa dicegah. Akibat ini secara langsung melemahkan upaya nasional untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas SDM, dan memutus rantai ketimpangan antar generasi. Tanpa pengendalian tembakau yang kuat dan menyeluruh, termasuk langkah harga dan kerangka hukum, Indonesia berisiko menghancurkan tujuan pembangunan sosialnya sendiri.
Para penentang regulasi tembakau yang lebih ketat kerap menyuarakan kekhawatiran tentang potensi gangguan ekonomi, khususnya di daerah penghasil tembakau. Namun, negara tetangga telah membuktikan sebaliknya. Thailand, misalnya, menerapkan reformasi cukai tembakau yang kuat dan menginvestasikan kembali sebagian pendapatan untuk mendukung petani beralih dari tembakau ke hortikultura dan pariwisata. Hasilnya? Konsumsi rokok menurun, penghidupan petani membaik, dan ekonomi tetap berjalan. Turki dan Kenya punya kisah serupa: tindakan tegas pemerintah, dukungan yang tepat sasaran, dan hasil jangka panjang yang lebih baik.
Ketergantungan Indonesia terhadap pendapatan dari cukai tembakau juga menyesatkan. Memang benar bahwa cukai tembakau menyumbang besar bagi penerimaan negara, Rp218 triliun pada tahun 2023, tetapi uang itu bukan berasal dari industri. Itu berasal dari masyarakat, terutama masyarakat miskin, yang menghabiskan uangnya untuk rokok alih-alih makanan bergizi atau pendidikan. Cukai tembakau, dengan demikian, bukan kontribusi dari “Big Tobacco”, melainkan pajak atas kesejahteraan rakyat.
Dengan kata lain, cukai tembakau adalah pajak regresif, yang paling membebani mereka yang paling tidak mampu. Industri tembakau kerap mengklaim bahwa mereka "berkontribusi" pada ekonomi, padahal kenyataannya mereka meraup untung sementara beban finansial dan kesehatan ditanggung masyarakat. Apa yang disebut sebagai pemasukan negara sejatinya adalah beban pada masa depan masyarakat. Lebih jauh, seiring meningkatnya penyakit akibat rokok, sistem kesehatan harus menanggung biayanya, menggerus anggaran publik yang seharusnya bisa digunakan untuk pencegahan, program gizi, atau pendidikan. Dalam jangka panjang, siklus ini memperdalam kemiskinan dan ketimpangan, kontraproduktif terhadap tujuan pembangunan yang justru ingin dicapai melalui penerimaan cukai.
Penolakan lain yang sering terdengar adalah bahwa pengendalian tembakau akan merusak sektor pariwisata dan lapangan kerja. Namun pengalaman Singapura, Thailand, dan Brunei membantah mitos ini. Negara-negara tersebut memiliki regulasi tembakau yang paling ketat di dunia, namun tetap menjadi destinasi wisata utama di kawasan. Kebijakan kawasan bebas asap rokok justru meningkatkan kualitas ruang publik dan menjadikannya lebih ramah bagi keluarga dan wisatawan internasional.
Pengendalian tembakau adalah peluang untuk melindungi anak-anak dari kecanduan, mengarahkan kembali pengeluaran rumah tangga ke kebutuhan yang bermakna, dan memastikan Indonesia yang lebih sehat dan tangguh. Ini adalah peluang untuk menunjukkan keberanian politik, berinvestasi dalam diversifikasi ekonomi di daerah penghasil tembakau, dan mendukung pekerja dengan pelatihan dan alternatif kerja. Indonesia sudah punya bukti. Sudah ada model di kawasan. Sudah ada dukungan publik. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah keberanian dan kemauan politik. Meratifikasi FCTC dan melakukan reformasi pengendalian tembakau yang menyeluruh bukanlah kerugian, melainkan investasi jangka panjang yang telah lama dinantikan demi masa depan bangsa.
Indonesia telah melakukan langkah penting dalam memperkuat pengendalian tembakau, seperti ditunjukkan melalui Peraturan Pemerintah No. 28/2024. Ini adalah capaian yang patut diapresiasi dan dapat menjadi momentum untuk kemajuan lebih lanjut. Namun, tanpa meratifikasi FCTC, upaya Indonesia akan tetap terfragmentasi dan kurang memiliki daya dorong dibandingkan negara ASEAN lainnya. Meratifikasi FCTC tidak hanya akan memformalkan komitmen Indonesia untuk melindungi kesehatan publik, tetapi juga memberikan kerangka kerja yang lebih kuat dan terkoordinasi lintas sektor. Kini saatnya Indonesia menyamai ambisi dan keteguhan kawasan, memastikan agenda pengendalian tembakau tidak lagi tertunda, dikaburkan, atau digagalkan.