Selasa 19 Aug 2025 13:06 WIB

Kemerdekaan ke-80 RI dan Dua Pilar Reformasi Tembakau untuk Indonesia

Indonesia harus yakin berjalan di jalur reformasi pengendalian konsumsi rokok.

ILUSTRASI Rokok
Foto: republika wihdan
ILUSTRASI Rokok

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Renny Nurhasana dan Salsabila Nadya, SKM, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI)*

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 seharusnya tidak hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga momentum untuk menegaskan kembali arah pembangunan bangsa. Kedaulatan sejati tidak cukup diukur dari kebebasan politik, melainkan juga dari keberanian melindungi rakyat dari dominasi produk yang merugikan kesehatan. Dalam konteks ini, pengendalian produk nikotin menjadi salah satu agenda mendesak yang tidak boleh diabaikan.

Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan prevalensi penggunaan produk nikotin tertinggi di dunia, dengan hampir 70 juta perokok aktif, termasuk sekitar 5,9 juta remaja usia 10–18 tahun pada 2023 (Survei Kesehatan Indonesia 2023); angka remaja ini meningkat dari sekitar 4,1 juta pada 2018 (Riskesdas 2018). Sementara itu, negara lain melangkah cepat menuju strategi endgame nikotin, yakni upaya menciptakan generasi bebas produk nikotin pada 2030 hingga 2050. Pada Juni 2025 lalu, World Conference on Tobacco Control (WCTC) di Dublin menyoroti dua pilar pengendalian yang relevan bagi Indonesia, yakni kebijakan fiskal melalui reformasi cukai rokok dan integrasi layanan berhenti merokok dalam sistem sosial dan kesehatan.

Reformasi cukai sebagai pilar pertama bukan semata urusan fiskal. Brasil dan Vietnam menunjukkan kenaikan cukai yang terencana, disertai roadmap jangka panjang, penyederhanaan tarif, dan penegakan hukum yang kuat, mampu menekan prevalensi konsumsi nikotin secara signifikan. Vietnam bahkan membentuk Tobacco Control Fund untuk menopang kebijakan lintas kementerian. Pelajaran pentingnya jelas: reformasi fiskal yang berani, konsisten, dan bebas intervensi industri adalah fondasi pengendalian produk nikotin yang efektif.

Pilar kedua adalah integrasi layanan berhenti merokok. Saat ini, layanan berhenti merokok di Indonesia masih terpisah-pisah, tidak terhubung dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program bantuan sosial, sekolah, maupun sistem kesehatan masyarakat. Padahal, jika diintegrasikan, layanan ini dapat menjadi instrumen penting untuk menekan penyakit tidak menular, meningkatkan produktivitas, serta mengurangi beban biaya kesehatan. Survei Tembakau Dewasa Global Indonesia (GATS) 2021 menunjukkan 63,4 persen pengguna aktif nikotin di Indonesia sebenarnya berencana atau sedang berpikir untuk berhenti, tetapi hanya sebagian kecil yang memperoleh akses dukungan layanan penghentian. Upaya konkret seperti penyediaan Quitline dalam JKN, perluasan kawasan tanpa nikotin, dan pelibatan komunitas lokal harus menjadi bagian dari strategi nasional.

Kehadiran Indonesia di forum global tidak akan berarti tanpa kebijakan domestik yang berpihak pada kesehatan rakyat. WCTC telah memberi arah, dan kemerdekaan ke-80 tahun menjadi momentum yang tepat untuk mempertegas komitmen itu. Indonesia harus yakin berjalan di jalur reformasi pengendalian konsumsi rokok, memastikan dua pilar ini diwujudkan secara konsisten demi melindungi generasi masa depan yang sehat dan bebas dari produk nikotin.

*Dr. Renny Nurhasana dan Salsabila Nadya, SKM, Peneliti di PKJS-UI dengan fokus pada advokasi pengendalian tembakau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement