Oleh Nurman Kholis, Peneliti Litbang Departemen Agama RI*
Artikel ini mengungkap tema tentang syirik dalam naskah beraksara Pegon dan berbahasa Sunda yang berjudul Al-Adawiyatu al-Sy±fiyatu fi Bayni al-ti al-jati wa al-Istikharati wa Daf’i al-Kurbt.
Naskah berbentuk litograf ini ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ia adalah salah seorang anggota BPUPKI yang berdiri jelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Di dalam naskah tersebut diinformasikan maraknya pencurian hingga banyak orang berdatangan ke tempat-tempat yang dikramatkan dan dukun untuk mengetahui barang-barang yang hilang.
Untuk mengatasinya, K.H. Ahmad Sanusi memberikan solusi agar umat Islam tidak melakukan praktik-praktik syirik, namun melakukan salat hajat dan salat istikharah serta doa-doa untuk mengatasi kesulitan.
Naskah al-Adawiyah ini ditulis pada tahun 1348 H/1929 M yang bersamaan dengan tahun terjadinya krisis ekonomi dunia (malaise). Rakyat miskin pun semakin bertambah, kerusuhan, pencurian, perampokan, juga marak di kota-kota maupun di desa-desa. Pada tahun 1929 ini selain terjadinya krisis ekonomi dunia juga merupakan awal munculnya istilah “tuyul” di kalangan masyarakat Indonesia.
Berikut ini kajiannya yang sengaja Republika.co.id fokuskan bahasan keempat tulisan itu, yakni ke soal kitab tersebut dengan kaitan soal krisis ekonomi dan sosial -- termasuk soal isu tuyul dan pencuri-- yang marak pada saat itu.