REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Nurman Kholis, Peneliti Litbang Departemen Agama RI*
Faktor orang-orang yang mendatangi benda-benda yang dikeramatkan dan dukun sebagaimana diungkapkan dalam naskah al-Adawiyah salah satunya karena sering kehilangan harta oleh praktik pencurian. Karena itu, sering terjadinya peristiwa pencurian pada tahun 1929 juga perlu diungkap secara mimetik. Hal ini mengacu kepada Teeuw yang karya ditulis tidak dalam kekosongan budaya sehingga karya tersebut harus dipahami pula hubungan sejarahnya, baik dengan keseluruhan karya-karya pengarang sendiri, karya-karya yang sezaman, maupun dengan karya-karya sebelumnnya.
Berkenaan hubungan sejarahnya tersebut, maka diketahui pada tahun 1929 juga merupakan awal munculnya istilah ”tuyul”. Menurut Boomgard (1998: 282-283), tuyul merupakan istilah untuk menyebut makhluk halus yang muncul dalam literatur sejak tahun 1929 dan pertama kali disinggung oleh Drewes. Tuyul kemudian menjadi populer di masyarakat Indonesia sebagai makhluk yang dapat membuat kaya majikannya dalam sekejap.
Dengan demikian, sejak tahun 1929 memelihara tuyul merupakan perbuatan yang menambah maraknya praktik-praktik kemusyrikan di kalangan masyarakat. Kemunculan tuyul ini dapat diasumsikan diketahui para penduduk ibukota Hindia-Belanda termasuk oleh K.H. Ahmad Sanusi. Hal ini karena pada tahun tersebut ia masih berada dalam tahanan di Jakarta selama 6 tahun sejak 1928 hingga 1934.
Kemunculan tuyul tersebut menarik perhatian para peneliti Belanda, sebab makhluk ini tetap dipercaya sebagian masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kekayaan secara mendadak hingga era modern ini. Bahkan penggunaan tuyul untuk mencuri harta orang lain tetap berlanjut pada masa-masa selanjutnya.
Hal ini sebagaimana hasil observasi Mies Grijns tahun 1988 yang menyatakan bahwa sejumlah penduduk desa percaya bahwa di Bandung banyak yang memelihara tuyul. Wujud makhluk ini seperti anak kecil berusia tiga sampai empat tahun, pendek, hitam, dan sangat kotor karena hidungnya selalu ingusan. Para pemilik tuyul tersebut biasanya membawa tuyul ke tempat-tempat ramai seperti toko besar atau pasar dan akan pulang setelah berhasil mencuri uang. Tuyul bisa dilihat oleh pemiliknya dan dukun yang menjadi perantara perjanjian atau kontrak antara mereka dengan setan sebelum mendapatkan makhluk ini.
Makhluk tersebut sangat membahayakan bagi pemiliknya. Ia biasanya minta dimanja dan akan marah jika keinginannya tidak dipenuhi. Karena itu, pemilik tuyul harus memberi imbalan dengan memberikan manusia sebagai korban (kerabat, pembantu) secara teratur. Selain itu, tuyul juga membahayakan istri pemiliknya, karena wanita yang memmunyai bayi harus menetekinya. Tetekan untuk tuyul ini sangat menyakitkan dan membahayakan kesehatan wanita tersebut.
Risiko yang dihadapi pemilik tuyul tersebut sebagaimana diberitakan majalah Tempo edisi 3 September 1983 tentang pasangan Kasmin dan Rasih dari Sidamulya, Bongas, Inderamayu yang tewas karena dituduh memelihara tuyul. Kejadian ini bermula dengan banyaknya bayi yang meninggal dan diyakini masyarakat setempat sebagai imbalan yang harus dipenuh kedua pasangan suami istri ini.
Selain secara lokal di pulau Jawa hingga diketahui awal munculnya istilah “tuyul”, hasil kajian mimetik secara global dengan berpijak kepada tahun tahun 1929 juga menghasilkan pengetahuan bahwa tahun 1929 juga merupakan awal terjadinya krisis ekonomi dunia atau malaise yang juga melanda Hindia-Belanda. Krisis ekonomi dunia atau malaise ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis ekonomi pasca meletusnya Perang Dunia I tahun 1914-1918.