Selasa 22 Jan 2019 06:48 WIB

Korupsi di Atas Penderitaan Korban Bencana Alam

Belum satu pun terdakwa kasus korupsi dana bencana yang dihukum maksimal.

Muhammad Hafil
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Negara kita masih sering terjadi bencana. Pada 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut terdapat 2.426 peristiwa bencana. Jumlah korban meninggal dunianya mencapai 4.231 orang. Kemudian 9,9 juta orang terdampak dan mesti mengungsi atas bencana. Kerusakan rumah ditaksir sejumlah 374.023 unit. Menyusul 1.928 fasilitas pendidikan, 1.120 fasilitas ibadah dan 110 fasilitas kesehatan juga rusak. Jumlah tersebut belum termasuk data dampak dan korban dari bencana tsunami di Selat Sunda serta longsor di Sukabumi.

Karena, laporan tersebut tercatat hingga 18 Desember 2018. Sedangkan dua bencana terakhir terjadi setelah tanggal tersebut.

Belum selesai, BNPB juga memprediksi selama 2019, akan terjadi lebih dari 2.500 kejadian bencana. Artinya, bencana masih mengintai sejumlah wilayah di Indonesia.

Dana penanganan bencana pun sudah disiapkan oleh pemerintah. Jika pada 2018 dana penanganan bencana Rp 7 triliun, pada 2019 ini dinaikkan hingga dua kali lipat yaitu Rp 15 triliun.

Yang perlu diperhatikan adalah, selain kita mewaspadai bencana dan upaya pencegahan dampak bencana (mitigasi bencana), juga perlu diawasi dari tangan-tangan jahil para koruptor. Sebab, para koruptor sering tergoda dengan dana penanganan bencana ini.

Berdasarkan catatan Republika.co.id, dana penanganan bencana 10 tahun terakhir ini kerap disalahgunakan oleh para pemangku kepentingan, mulai dari oknum pejabat pemerintah, legislatif,  hingga pihak swasta yang mendapatkan tender proyek penanganan bencana. Belum lepas dari ingatan kita, pada akhir tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan (OTT) sejumlah pejabat pemerintah dan swasta terkait proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di daerah terdampak bencana gempa-tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.

Sebelumnya, pada Oktober 2019 lalu, Kejaksaan Negeri Mataram menangkap seorang anggota DPRD Kota Mataram yang memeras pejabat pemerintah terkait proyek dana renovasi gedung pendidikan yang terdampak bencana gempa Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan, yang paling terbaru adalah kejadian operasi tangkap tangan yang dilakukan polisi terhadap seorang oknum pegawai Kementerian Agama yang melakukan pungutan liar (pungli) dana renovasi masjid yang terdampak gempa NTB pada beberapa hari kemarin.

Catatan/Republika.co.id lainnya, masih banyak dana penanganan bencana yang dikorupsi oleh para pemangku kepentingan penanganan bencana. Ada kasus korupsi dana penanganan gempa-tsunami di Nias pada 2006-2007 lalu yang dilakukan oleh bupati Nias saat itu.

Selain itu, ada korupsi dana tanah longsor Majalengka pada 2014, ada korupsi peta bencana Sumatra Utara, ada korupsi shelter tsunami di Banten pada 2012, korupsi dana rekonstruksi dampak erupsi Merapi di Magelang pada 2012, korupsi dana penanganan puting beliung di Serang pada 2012, pembobolan dana bencana Mojokerto pada 2013, korupsi logistik bencana Kudus pada 2014. Kemudian, ada korupsi pembangunan pemecah ombak di Kolaka pada 2012, dan korupsi konferensi penggalangan dana Aceh pascagempa-tsunami pada 2005 lalu.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa korupsi dana penanganan gempa sangat rawan terjadi. Padahal, ancaman hukuman korupsi dana penanganan bencana sangat berat yaitu hukuman mati.

Pasal 2 UU Tipikor Ayat 1 menyebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kemudian, ayat 2 menyebutkan, //dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan//. Dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter

Namun, dari belasan pelaku korupsi penanganan dana gempa, belum satu pun yang dihukum maksimal. Baik itu kasus yang ditangani oleh KPK, Polri, maupun Kejaksaan. Padahal, hukuman maksimal ini sangat diperbolehkan. Apalagi, jika hal tersebut bertujuan untuk membuat efek jera kepada yang lain agar tidak terulang kasus korupsi penanganan bencana.

Karena itu, penulis menyarankan, kepada para penegak hukum baik itu KPK, Kejaksaan, Polri, dan hakim di pengadilan, agar bisa membuat terobosan untuk melakukan tindak hukum maksimal kepada para pelaku korupsi bencana. Tujuannya, untuk memunculkan efek jera kepada para pemangku kepentingan terkait penanganan bencana agar bencana tidak dikorupsi.

Selain itu, diperlukan regulasi dari pemerintah maupun penegak hukum yang sistemis untuk pencegahan dana penanganan bencana. Misalnya, pengawasan dari penegak hukum terhadap pencairan dana penanganan bencana maupun sistem online dan terbuka untuk tender perusahaan yang mendapatkan tugas membangun infrastruktur di daerah bencana. Atau, menghilangkan sama sekali ‘tradisi’ pemberian commitment fee maupun pungli dalam pengadaan sebuah proyek khususnya untuk proyek penanganan bencana.

 

Kemudian, bagi para pemangku kepentingan penanganan bencana, harus memiliki empati dan kesadaran maksimal bahwa mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengkorupsi dana penanganan bencana, sangat tidak manusiawi. Ingatlah, dampak dari bencana alam mulai dari korban jiwa, korban terluka, pengungsi, keluarga yang ditinggalkan, fasilitas pendidikan, fasilitas ibadah, fasilitas umum yang rusak karena bencana. Di mana, ini semua tentu membuat mereka semua menderita.

*)Penulis adalah redaktur Republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement