Ahad 14 Feb 2016 17:59 WIB

Membedah Struktur Otak LGBT yang Meninggal

Anggota komunitas LGBT menggelar demo di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (17/5).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Anggota komunitas LGBT menggelar demo di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (17/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihshan Gumilar/Peneliti Psikologi Syaraf (Neuropsychology)

Dalam sebuah pemberitaan yang dilansir oleh BBC Indonesia berjudul "Bisakah Anda menyembuhkan LGBT?" dan juga Kompas.com berjudul "Ahli Neurologi: Variasi Struktur Otak Pengaruhi Adanya LGBT", berdasarkan narasumber seorang ahli bedah saraf Indonesia Dr Roslan Yusni Hassan (Ryu Hassan) mengatakan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) itu bukanlah sebuah penyakit. Lebih jauh lagi bahwa orientasi seks terhadap sesama jenis adalah sebuah perbedaan biasa di dalam hidup. Hal ini disebabkan para LGBT mempunyai struktur otak yang berbeda dari orang yang nonhomoseksual.

Tidak ada yang bisa "mengutak-atik" struktur otak. Dengan kata lain, jika struktur otak LGBT berbeda dengan yang non-LGBT, hal ini adalah sesuatu yang natural dan alamiah. Karena itulah, yang sudah didesain oleh "pabrik" otaknya (baik dalam segi struktur maupun fungsi). Terimalah LGBT untuk menjadi dirinya sendiri, begitu ringkasan pernyataan Ryu Hassan.

Orang awam yang tidak pernah mempelajari otak atau bahkan tidak pernah melihat langsung otak manusia seperti apa, sebaiknya tidak menerima informasi tersebut tanpa sebuah filter. Karena, filter yang terbaik itu adalah ilmu.

William James, seorang psikolog Amerika Serikat, adalah orang yang pertama kali mencetuskan ide bahwa otak itu bisa mengorganisasikan (mengubah) dirinya sendiri. Hal itu dikenal untuk hari ini dalam ilmu yang mempelajari otak (neuroscience) dengan istilah neuroplasticity, sebuah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Jerzy Konorski, seorang neuroscientist asal Polandia pada 1948.

Neuroplasticity mendobrak kebuntuan pemikiran dunia kedokteran yang terkungkung dalam konsep yang salah tentang otak selama tiga abad: otak manusia berhenti berkembang pada umur tertentu. Penemuan konsep ini menyatakan, otak manusia berubah-ubah, baik struktur maupun fungsinya, sampai kapan pun tergantung dari pengalaman yang dilakukan. Pengalaman ini meliputi lingkungan, perilaku, pemikiran, persepsi, perasaan, emosi, dan bahkan kebiasaan berimajinasi sekalipun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement