Senin 24 Mar 2025 10:23 WIB

Utamakan MBG daripada Buka Lapangan Kerja, Langgar Konstitusi?

Kondisi pengangguran sebabkan kepala keluarga kesulitan beri makan anak.

ILUSTRASI Para pencari kerja mengantre untuk mencari lowongan pekerjaan di acara Jaknaker Expo 2024 di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta. Pengangguran masih jadi soal yang urgen di Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
ILUSTRASI Para pencari kerja mengantre untuk mencari lowongan pekerjaan di acara Jaknaker Expo 2024 di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta. Pengangguran masih jadi soal yang urgen di Indonesia.

Oleh: Buya Anwar Abbas*)

Apa yang harus kita lakukan? Mendahulukan makanan bergizi gratis untuk anak-anak kita atau memberikan lapangan pekerjaan kepada para pencari kerja yang kini meningkat lantaran maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK)?

Baca Juga

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang lebih mendesak saat ini adalah pemberian makanan bergizi gratis. Sebab, dalam statistik yang diungkap Kepala Bappenas tersebut, ada 180 juta orang Indonesia yang angka kecukupan gizinya tidak terpenuhi.

Di samping itu, sekitar 50 ribu bayi lahir di Indonesia setiap tahun dalam keadaan cacat. Kemudian, satu juta orang terpapar penyakit tuberkolosis (TBC) dan 100 ribu orang dari mereka setiap tahunnya meninggal dunia.

Jadi, apa yang disampaikan Kepala Bappenas tersebut ada dasarnya. Namun, menomor-duakan pemberian lapangan kerja kepada warga bangsa juga tidak bisa kita terima. Hal itu kecuali jika negara ini memang sudah bangkrut.

Padahal, keadaan Indonesia jelas belum separah itu. Sebab, negara kita masih punya uang.

Lihat saja, anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada tahun 2025 mencapai Rp 71 triliun. Jika mengacu kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka pemerintah tidak harus menanggung MBG bagi seluruh anak didik se-Indonesia, tetapi membatasinya pada anak-anak dari keluarga fakir dan miskin saja. Sebab, memang demikianlah yang diamanatkan oleh Konstitusi, tepatnya Pasal 34 UUD 1945: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara."

Jika pemerintah bisa membatasi MBG sesuai dengan amanat Konstitusi, maka tentu dana yang tersedia akan ada yang tersisa. Sisa dana itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja di tengah masyarakat.

Jika pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan kerja bagi rakyat, itu berarti pemerintah tidak hanya melanggar Konstitusi, melainkan juga telah berkontribusi bagi terciptanya pengangguran. Alhasil, banyak rakyat di negeri ini yang tidak punya pendapatan sehingga tidak bisa menyediakan makanan yang layak untuk anak-anaknya. Bila sudah demikian, apa-apa yang ditakutkan pemerintah yakni kekurangan gizi dan terganggunya kesehatan rakyat tentu akan terjadi.

Oleh karena itu, mendahulukan MBG dan menomorduakan penyediaan lapangan kerja kepada rakyat jelas bukanlah sebuah cara yang tepat. Bahkan, prioritas demikian jelas-jelas melanggar Konstitusi karena di dalam Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dikatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

*) Anwar Abbas atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement