
Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pada Jumat 21 Maret 2025 lalu, naskah RUU KUHAP akhirnya dirilis secara resmi oleh Pimpinan Komisi 3 DPR, setelah banyak simpang siur mengenai draf RUU KUHAP yang beredar di masyarakat dan para ahli tertentu.
Hal ini sekaligus menjawab polemik di masyarakat mengenai transparansi pembahasan RUU KUHAP maupun rancangan undang-undang yang dilakukan DPR maupun Pemerintah. Saya sebagai anggota Komisi III DPR mengapresiasi langkah Pimpinan Komisi III DPR untuk segera merespons polemik yang terjadi akibat ketidakpastian draf.
Banyak opini yang menduga bahwa ada sebuah konspirasi untuk melemahkan pihak-pihak tertentu. Saya sendiri juga melihat bahwa polemik tersebut memang perlu segera diakhiri mengingat permasalahan yang terjadi sebenarnya hanya diakibatkan oleh proses editing atau pembahasaan yang dilakukan oleh Tim DPR atau tidak dimaksudkan untuk melemahkan pihak-pihak tertentu atau menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak sah atau bahasa hukum yang lebih sering dipakai adalah “penyelundupan hukum”. Kini semua dapat melihat dan berpendapat secara bebas mengenai draf RUU KUHAP tersebut.
Hingga saat ini KUHAP telah berusia 44 tahun dan masih berlaku atau menjadi acuan bagi sistem penegakan hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Telah banyak perkembangan dan dinamika hukum yang terjadi selama kurun waktu tersebut, yang tentu harus dijawab dengan perubahan undang-undang.
Perubahan ini tidak hanya sebuah perubahan terhadap sistem atau kebijakan namun lebih jauh lagi perihal landasan dan filosofi maupun paradigma hukum pidana formil modern, dimana lebih mengedepankan pelindungan hak asasi manusia dan demokrasi.
Melihat dari RUU KUHAP tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi fitur utama sebagaimana disampaikan oleh Komisi III. Beberapa poin perubahan tersebut adalah RUU KUHAP ini tidak mereduksi atau melemahkan pihak manapun, bahkan menguatkan peran advokat dan penegak hukum itu sendiri.
RUU KUHAP juga mengenalkan mekanisme keadilan restoratif. RUU ini mengatur pelindungan untuk korban, saksi, dan seluruh pihak yang berhadapan atau berkaitan dengan proses hukum, termasuk pengaturan yang lebih pasti tentang Upaya Paksa dan penahanan pada khususnya.
RUU KUHAP melindungi pula kelompok rentan dan mencegah adanya kekerasan dan intimidasi yang kerap terjadi. Pada intinya RUU KUHAP ingin menciptakan kesetaraan hak dan kewajiban seluruh pihak berbasis HAM dan keadilan yang obyektif.
Fitur-fitur baru tersebut disambut baik oleh berbagai pihak termasuk saya sebagai anggota Komisi III yang berlatarbelakang Praktisi Hukum dan Akademisi yang selalu tertarik untuk memperhatikan perkembangan teknis dan kebijakan dalam Hukum Acara Pidana.
BACA JUGA: Berkat Kecerdasan Ilmuwan Iran, Program Nuklir tak Dapat Diserang atau Dibom Sekalipun
Sebagaimana catatan saya terdahulu mengenai Urgensi RUU KUHAP, saya menilai bahwa perlu adanya modernisasi terhadap KUHAP saat ini. Saya sebagai salah satu yang tergabung dalam tim penyusunan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP melihat bahwa KUHAP 1981 merupakan salah satu karya agung karena mencoba untuk mengubah HIR warisan pemerintah kolonial.
Kini sebagai salah satu anak bangsa, saya juga telah melihat dan mengalami sendiri berbagai perkembangan yang perlu direspons. Hal yang paling krusial tentunya adalah adanya pergeseran paradigma dan filosofi pendekatan hukum pidana dan hukum acara pidana yang ada di Indonesia.