REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridho Rahmadi (Ketua Umum Partai Ummat)
UU TNI dapat memperluas endemi korupsi, karena mengizinkan berbagai konflik kepentingan pada jabatan-jabatan penting. Kita tahu, hulu korupsi adalah konflik antara kepentingan pribadi atau kelompok, dengan kepentingan bersama atau publik.
Regulasi yang kuat serta transparansi akan memberikan insentif bagi berbagai resolusi konflik kepentingan. Tapi korupsi, sebaliknya, akan menawarkan insentif untuk merusak kontrak sosial yang berbasis moral dan penegakan hukum.
Mental korup adalah endemi, dan akan semakin meluas jika kebijakan yang diambil memungkinkan dualitas pada pucuk organisasi yang mengurusi hajat hidup orang banyak.
Kita bukannya pesimistis, tapi indeks persepsi korupsi Indonesia, nyatanya, masih bertengger di urutan 99 dari 180 negara. Harusnya ini dijadikan bukti empiris bahwa kita belum sepenuhnya siap untuk berbagai macam rangkap jabatan.
Korupsi adalah penyakit mental yang menyerang individu yang lemah iman, dan menular cepat pada lingkungan yang mengalami berbagai macam kemunduran struktural. Ditambah, Indonesia saat ini masih merasakan virus-virus korupsi yang ditinggalkan rezim Jokowi, menjangkit berbagai bagian di dalam tubuh bangsa ini.
Yang sesungguhnya penting saat ini untuk dilakukan adalah bagaimana menyembuhkan bangsa ini dari endemi penyakit korupsi. Upaya gencar untuk memperbaiki kemunduran struktural, dengan makan bergizi gratis dan efisiensi anggaran, sebagai contoh, harus diapresiasi. Tapi tanda-tanda alam seperti IHSG yang anjlok kemarin, tidak boleh kita abaikan begitu saja, karena itu merupakan tanda-tanda akumulasi dari kemunduran struktural lainnya. Sekarang ini, badai PHK telah merumahkan ratusan ribu orang, yang artinya mengancam kehidupan ratusan ribu rumah tangga, yang artinya membahayakan jutaan hidup rakyat Indonesia.
Upaya penyembuhan sistematis lainnya sangat kita butuhkan saat ini. Mentalitas sosial berawal dari mentalitas individu. Maka mengobati mental yang korup mesti berawal dari memperbaiki individu.
Ramadhan, insya Allah, menjadi salah satu antivirus yang membantu membersihkan aliran darah bangsa ini dari virus korupsi. Tapi pemerintah bersama DPR dan berbagai lembaga penegak hukum perlu melanjutkan dengan upaya lainnya setelah Ramadhan ini.
Upaya yang serius dan sistematis, harus dimulai dari tubuh pemerintahan bersama DPR dan lembaga-lembaga penegak hukum itu sendiri, dan kemudian menjangkau luas ke berbagai lapisan dan elemen masyarakat. Selanjutnya, berbagai regulasi yang dibuat, seyogianya juga dalam rangka untuk menghindari semakin meluasnya endemi virus korupsi.
Di sinilah letak kritik konstruktif kita untuk UU TNI, dan berbagai keputusan pemerintah bersama DPR ke depan lainnya, termasuk UU Polri yang sedang akan dibahas. Bahwa jangan sampai kita memberi ruang sekecil apapun untuk virus-virus korupsi dapat menerobos masuk ke dalam tubuh bangsa ini.
Pengawasan regulasi dengan transparansi dan akuntabilitas yang baik adalah sebuah keharusan. Kalau kita masih membiarkan praktek-praktek patronase seperti uang sogokan supaya cepat kelar urusan, atau menyalip antrian karena pertemanan, atau memenangkan perkara karena bayaran, atau mendapat tender karena settingan, atau bahkan menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak dan sumber daya alam hingga tujuh turunan, itu semua adalah praktik korupsi yang harus segera disembuhkan.
Penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi juga harus tegas dan bersih dari tebang pilih. Terlebih, lembaga penegak hukum dan anti korupsi tidak boleh disusupi kepentingan politik dan modal. Kalau lembaga-lembaga ini sudah terinfiltrasi, dampak kolateralnya akan sampai ke setiap ujung bumi Indonesia. Tidak akan ada lagi yang bisa dipercaya. Kalau terus dibiarkan, endemi korupsi akan merusak seluruh tatanan di negeri ini. Sudah terlalu banyak studi yang menemukan korelasi negatif antara korupsi dengan berbagai aspek kehidupan kita seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, dan lain sebagainya.
Semakin korup maka semakin lemah ekonomi, semakin turun kualitas pendidikan dan kesehatan, dan semakin besar ketidakpastian hukum dan politik. Kita sendiri selalu dikagetkan dengan temuan korupsi di negeri ini, seakan tidak ada habisnya.
Untuk diingat, mega korupsi PT Timah Rp 300 triliun, BLBI Rp 138 triliun, Asabri Rp 23 triliun, Jiwasraya Rp 17 triliun, kondensat ilegal di Tuban Rp 35 triliun, Duta Palma Rp 101 triliun, menara BTS 4G Rp 8 triliun, PSN Rp 2,7 triliun, yang baru-baru ini kita dengar, Pertamina Rp 194 triliun, PDNS hampir Rp 1 triliun, dan triliunan rupiah lainnya yang barangkali akan terus kita dengar berita korupsinya, jika penyakit ini tidak pernah disembuhkan. Dan ingat, itu semua adalah uang rakyat. Kalau digunakan untuk rakyat, bukan tidak mungkin, tidak ada lagi orang miskin, dan yang tidak sarjana di Indonesia ini.
Apa lagi yang kita tunggu? Tentu kita tidak menunggu sampai bangsa ini kolaps karena korupsi. Mari kita bergegas memperbaiki. Dari sisi masyarakat, mari kita ambil peran pada perbaikan-perbaikan individu. Dan pada sisi pemerintahan, kita berharap kepada Presiden Prabowo bersama juga para pimpinan DPR dan lembaga penegak hukum, untuk bersama mengobati bangsa ini dari endemi korupsi.