Rabu 26 Nov 2025 10:04 WIB

Menata Arah Besar Abad Kedua NU

NU adalah jangkar NKRI.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf memberikan keterangan usai melakukan silaturahmi alim ulama di Gedung PBNU, Jakarta, Ahad (23/11/2025). Silaturahmi ini membahas sekaligus meminta masukan dari para kiai dan alim ulama di tengah ramainya isu pemakzulan terhadap Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf memberikan keterangan usai melakukan silaturahmi alim ulama di Gedung PBNU, Jakarta, Ahad (23/11/2025). Silaturahmi ini membahas sekaligus meminta masukan dari para kiai dan alim ulama di tengah ramainya isu pemakzulan terhadap Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.

Oleh : Syukron Jamal, Dosen Universitas Islam Depok Direktur Jaringan Muslim Madani (JMM)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Nahdlatul Ulama telah menapaki lebih dari satu abad perjalanan, sebuah hamparan pengalaman panjang yang ditorehkan oleh para kiai, dirawat oleh para santri, dijaga oleh umat, dan disangga oleh tradisi yang tidak pernah putus.

Dari pesantren di sudut-sudut desa hingga mimbar forum keagamaan internasional, NU selalu hadir sebagai peneduh, menjadi perekat ketika masyarakat retak, menjadi jangkar ketika arus ideologi mengalir begitu deras.

Baca Juga

Kini, menjelang Muktamar ke-35, NU berdiri pada persimpangan besar. Apakah kita kembali sibuk mencari figur, atau berani menata arah besar agar organisasi ini tetap relevan dan teduh di abad keduanya?

Relevansi abad kedua dan spirit khittah

Memasuki abad kedua, banyak warga NU merasa bahwa jalan terbaik untuk menjaga keteduhan organisasi adalah kembali ke khitah, kembali pada ruh pendirian, menjadi jam’iyyah yang mengayomi umat, bukan arena rebutan pengaruh.

Selama ini, NU tumbuh besar karena dikelola dengan keikhlasan, dijaga oleh para kiai, dan digerakkan oleh santri serta jamaah yang bekerja tanpa pamrih. Dalam dunia yang berubah cepat dari hiruk-pikuk politik hingga derasnya arus digital, kembali ke khitah berarti menguatkan jati diri NU: fokus pada pendidikan, dakwah, pelayanan sosial, dan kemaslahatan masyarakat.

Inilah saatnya NU merapikan kembali langkahnya, memastikan agar organisasi tetap relevan tanpa kehilangan arah, modern tanpa meninggalkan tradisi, dan besar tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang menjadi tonggaknya sejak awal.

Dalam konteks seperti itu, Muktamar ke-35 mestinya lebih dari sekadar kontestasi siapa yang akan memimpin. Muktamar adalah ruang strategis untuk merumuskan peta jalan, sistem kelembagaan, kaderisasi ulama dan profesional, pembangunan ekonomi umat, serta diplomasi keagamaan global.

Tujuannya adalah agar NU tetap menjadi lentera moral Indonesia dan peradaban Islam Nusantara. Tentu, figur pemimpin tetap penting, namun figur bukanlah segalanya. Warga NU butuh pemimpin yang mampu menyatukan, yang tidak sibuk mengejar panggung, tetapi mendedikasikan diri untuk membangun sistem yang memiliki visi konseptual, yang memahami pesantren klasik, sekaligus mampu menavigasi tantangan modern. Ia adalah seorang arsitek arah, bukan aktor panggung.

Turbulensi

Sayangnya, situasi internal PBNU akhir-akhir ini menghadirkan kegaduhan yang tak bisa diabaikan. Isu internal mencakup pemakzulan Ketua PBNU, yang dikabarkan upaya tersebut muncul dari unsur Syuriah dalam hal ini termasuk di dalamnya Rais Aam, dan kini menjadi konsumsi publik.

Keadaan ini menegaskan PBNU mengalami turbulensi akut dalam mengelola manajemen organisasi, secara politik seperti kapal yang terombang-ambing di lautan, dan sulit untuk menepi.

Kegaduhan ini mencerminkan bahwa PBNU membutuhkan seorang konsolidator ulung untuk menata kembali puing-puing yang berserakan di semua tingkatan NU dan akar rumput, serta menyelaraskan kembali antara jam’iyyah (organisasi) dan jamaah (umat).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement