
Oleh : Prof Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski di atas kertas masih tergolong aman, tetapi kenaikan utang pemerintah dari tahun ke tahun tetap perlu diwaspadai. Kalau mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, utang pemerintah saat ini memang masih dalam koridor aman, yakni jauh di bawah angka 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun demikian, perkembangan rasio utang pemerintah pusat kian hari kian mendekati batas kewaspadaan.
Kementerian Keuangan mencatat total outstanding utang pemerintah pusat per Juni 2025 sudah mencapai Rp 9.138,05 triliun. Angka tersebut setara dengan 39,86 persen terhadap PDB. Rasio utang yang hampir menyentuh 40 persen PDB bagaimana pun adalah alarm yang perlu diwaspadai, sebab tekanan bunga global yang tinggi dan volatilitas pasar keuangan bukan tidak mungkin menambah beban fiskal dan mengurangi ruang bagi belanja produktif pemerintah.
Secara garis besar, utang pemerintah terdiri dari pinjaman dan surat berharga negara (SBN). Jumlah pinjaman utang sebesar Rp 1.157 triliun. Sementara utang dalam bentuk SBN sebesar Rp 7.980 triliun. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah utang pemerintah harus diakui terus meningkat. Posisi utang pemerintah per Juni memang sedikit turun dibandingkan Mei 2025 yang mencapai Rp 9.177,48 triliun, tetapi secara tahunan menunjukkan tren peningkatan tajam. Dalam lima tahun terakhir, utang pemerintah tercatat meningkat lebih dari Rp3.000 triliun. Sebagai perbandingan, utang pemerintah pada tahun 2020 Rp 6.079,17 triliun, kini jumlah utang pemerintah naik menjadi sembilan ribu triliun rupiah lebih.
Bank Dunia atau World Bank memperkirakan kenaikan rasio utang Pemerintah Indonesia terhadap PDB akan mencapai 40,1 persen pada 2025. Rasio utang pemerintah akan terus meningkat setiap tahun menjadi 40,8 persen pada 2026 dan menyentuh 41,4 persen pada 2027. Proyeksi rasio utang pemerintah ini diungkap oleh Bank Dunia dalam data The Macro Poverty Outlook (MPO) edisi April 2025.
Resiko yang Perlu Diantisipasi
Menurut kalkulasi pemerintah, utang pemerintah saat ini masih dalam kondisi yang terkendali. Risiko utang yang meningkat memang ada, tetapi masih dalam taraf moderat karena sekitar 60 persen utang Indonesia berdenominasi rupiah dan berjangka panjang. Berbeda dengan utang dalam bentuk dollar AS, utang yang sebagian besar dalam bentuk rupiah relatif lebih aman. Selain itu, dibandingkan negara-negara lain, utang pemerintah Indonesia sebetulnya masih tergolong rendah.
Menurut data, Malaysia, misalnya negara tetangga kita sudah mencatatkan rasio utang 61,9 persen pada tahun lalu. Kemudian, Filipina 62 persen terhadap PDB, Thailand 62,8 persen, India 84,3 persen, hingga Argentina yang tembus 116,7 persen. Dibandingkan negara-negara itu, utang Indonesia jauh lebih rendah. Walaupun tetap membutuhkan tata kelola yang baik, menurut pemerintah utang kita sebetulnya belum terlalu mengkhawatirkan. Benarkah demikian?
Kalau berbicara asumsi normatif, memang utang pemerintah yang masih di bawah angka 60 persen sah-sah saja bila diklaim belum berbahaya. Namun demikian, bukan berarti sama sekali tidak ada risiko yang perlu diwaspadai. Secara garis besar, beberapa resiko yang perlu diantisipasi berkaitan dengan dampak peningkatan jumlah utang pemerintah adalah sebagai berikut:
Pertama, ketika utang meningkat, maka dampaknya niscaya akan terjadi peningkatan beban bunga utang yang ujung-ujungnya akan dapat membebani APBN dan mengurangi alokasi dana untuk sektor penting bagi masyarakat, seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika cukup banyak porsi APBN yang harus dialokasikan untuk membayar cicilan dan utang pokok. Untuk program-program yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat niscaya akan terkurangi.
Kedua, ketergantungan pada utang luar negeri dan dalam negeri, langsung maupun tidak langsung akan mengurangi fleksibilitas fiskal pemerintah. Kita tentu telah menyadari bahwa sebagian besar portofolio utang pemerintah, yakni sekitar 87 persen berupa SBN yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Ketika suku bunga global naik, biaya bunga dalam APBN niscaya juga akan ikut naik, sehingga dampaknya ruang fiskal untuk belanja lain akan ikut tertekan.
Ketiga, utang pemerintah yang terus bertambah dapat mengurangi kepercayaan investor dan mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Yang namanya investor tentu tidak akan sembrono mengalokasikan modalnya. Mereka niscaya akan memilih mengalokasikan modal yang dimiliki ke negara yang dinilai aman –yang tidak beresiko menghadapi masalah ekonomi karena persoalan utang.
Keempat, meski utang pemerintah dapat dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang produktif, namun utang yang terlalu besar dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jika tidak dikelola dengan baik. Utang pemerintah yang meningkat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia karena akan menyebabkan kenaikan suku bunga, tekanan inflasi, beban fiskal yang besar, dan mengurangi daya saing ekonomi. Jika rasio utang terhadap PDB terlalu tinggi, beban pembayaran utang dapat menyita anggaran yang seharusnya digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan atau layanan publik, serta memicu risiko krisis keuangan. Rasio utang pemerintah yang tinggi juga berpotensi membuat perekonomian lebih rentan terhadap pelemahan nilai tukar dan rentan berdampak perlambatan ekonomi global.
Tata Kelola Utang
Dengan rasio utang yang terus meningkat, tekanan bunga tinggi, dan ketidakpastian kondisi perekonomian global, disiplin fiskal niscaya menjadi kunci utama pemerintah dalam mengantisipasi berbagai resiko buruk yang mungkin timbul. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan pembangunan dan kemampuan membayar utang agar ruang fiskal tetap terjaga dan kepercayaan pasar tidak terkikis.
Utang yang meningkat tentu harus diikuti dengan tata kelola yang benar-benar transparan, dan akuntabel. Selain perlu meningkatkan kualitas belanja negara dari dana utang, yang tak kalah penting pemerintah perlu memperkuat strategi mitigasi utang. Pemerintah seyogyanya tidak menggantungkan pada utang yang berbunga tinggi dan hanya menggantungkan pada sumber pendanaan tertentu saja.
Pemerintah ke depan seyogianya mengembangkan diversifikasi sumber-sumber pendanaan, seperti meningkatkan porsi pinjaman berbiaya rendah dari lembaga multilateral serta memperkuat basis investor domestik lewat penerbitan SBN berdenominasi rupiah. Di samping itu, yang tak kalah penting pemerintah juga perlu menekankan pentingnya reformasi perpajakan, peningkatan ekspor, dan dorongan terhadap investasi untuk memperluas basis PDB.
Utang memang tidak terhindarkan dan menjadi pilihan terakhir yang harus diambil ketika kondisi keuangan nasional sedang bermasalah. Untuk mencegah agar utang tidak dibayar dengan utang baru yang makin membebani, maka pemasukan dari sumber-sumber dalam negeri, terutama pajak sangatlah penting. Bagaimana pendapat anda?