
Oleh : Hadiyanto Arief: Pengasuh Pesantren Darunnajah, Alumnus Bristol University
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah hiruk-pikuk pembangunan fisik dan kompetisi politik yang semakin keras, ada satu kekuatan moral bangsa yang tetap bekerja dalam diam: pesantren. Ketika banyak lembaga pendidikan sibuk mengejar akreditasi dan ranking, pesantren tetap setia pada misi aslinya — mencetak manusia beriman, berilmu, dan berakhlak. Ironisnya, lembaga yang paling konsisten menjaga jiwa bangsa ini justru paling sering diabaikan oleh negara.
Sejarah panjang bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran besar pesantren. Lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini bukan hanya melahirkan ulama, tetapi juga pejuang yang menjadi motor kebangkitan nasional. Dari pesantren lahir kesadaran beragama yang membumi dan nasionalisme yang tulus. Kiai dan santri berjuang di garis depan, tidak hanya dengan doa dan kitab, tetapi juga dengan darah dan pengorbanan.
Namun, ironi sejarah terjadi ketika kemerdekaan telah diraih. Negara yang lahir atas perjuangan rakyat dan doa para kiai seolah lupa berterima kasih. Pesantren dipinggirkan dari arus utama kebijakan pendidikan nasional. Padahal, lembaga-lembaga itu terus mendidik anak bangsa dengan ikhlas, tanpa subsidi dan fasilitas memadai. Selama puluhan tahun, lulusan pesantren bahkan tidak mendapat pengakuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Baru pada tahun 2019—setelah lebih dari tujuh dekade Indonesia merdeka—Undang-Undang Pesantren akhirnya disahkan, memberi pengakuan formal yang seharusnya datang sejak awal berdirinya republik ini.
Padahal, konstitusi telah dengan jelas menegaskan kewajiban negara terhadap pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 menyebut bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, dan pemerintah wajib mengusahakan serta menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Ayat (3) bahkan menegaskan bahwa pendidikan nasional harus “meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Pasal inilah yang menjadi cermin bagi kita semua: sejauh mana sistem pendidikan nasional benar-benar berkomitmen mewujudkan cita-cita konstitusi tersebut? Jika ditelusuri, lembaga pendidikan mana yang paling konsisten menjaga nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia? Jawabannya jelas: pesantren.
Tempat belajar khas Indonesia ini tetap teguh menjaga ruh pendidikan yang berakar pada nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, ketika banyak lembaga pendidikan lain terjebak dalam formalitas akademik semata. Di pesantren, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter dan adab.
Fenomena krisis keteladanan yang mewarnai kehidupan publik hari ini menunjukkan adanya kegagalan moral dalam pendidikan nasional. Kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan minimnya empati pejabat terhadap rakyat kecil menjadi cermin bahwa akhlak bukan lagi menjadi dasar dalam kepemimpinan. Inikah hasil dari sistem pendidikan nasional yang seharusnya mencetak manusia beriman dan berakhlak mulia?