Rabu 27 Aug 2025 08:36 WIB

Sekilas Sejarah Pangan di Indonesia: Dari Beras, Terigu, Hingga Pati Umbi

Upaya-upaya peningkatan bahan pangan lokal adalah sebuah upaya kemandirian pangan.

 Sejumlah pekerja mengangkut ubi jalar dari sawah di Desa Bangsri di Magetan, Jawa Timur.
Foto: ANTARA
Sejumlah pekerja mengangkut ubi jalar dari sawah di Desa Bangsri di Magetan, Jawa Timur.

Oleh : Ahmed Joe Hara, Ketua Asosiasi Agribisnis Petani Ubi Jalar Indonesia (ASAPUJI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tidak ada yang mengetahui dengan pasti tumbuhan ubi jalar atau Ipomoea batatas berasal. Beberapa  kesimpulan yang didasari dugaan bahwa ubi jalar berasal dari wilayah tropis di Amerika Selatan dan mulai mengalami domestikasi sejak 2.500 tahun sebelum Masehi bersamaan dengan penemuan kentang (Solanum tuberosum).

Tanaman itu mulai dijadikan sebagai bahan makanan oleh orang-orang Indian Andes di pegunungan Peru dan Bolivia karena kentang memiliki karakteristik tumbuh yang baik di dataran pada ketinggian diatas 1.200 meter dari permukaan laut. Tanaman-tanaman pangan mulai banyak ditemukan seiring dengan pola domestikasi manusia disaat itu seiring dengan berubahnya pola kehidupan dari nomaden menuju menetap.

Pola kehidupan nomaden dicirikan dengan adanya perburuan hewan dalam memenuhi kebutuhan pangan yang kemudian perlahan menjadi pola menetap dengan menerapkan pola pemenuhan pangan secara budidaya. Pada proses inilah berbagai tanaman pangan ditemukan, baik oleh mereka yang hidup di daerah sub-tropis maupun yang hidup di daerah tropis.

Disaripatikan dari berbagai sumber bacaan, diduga ubi jalar pertama kali ditemukan oleh bangsa Andes di pegunungan Peru dan Bolivia yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah seiring dengan adanya komunikasi dan perdagangan barter antar kelompok-kelompok manusia. Proses ini yang kemudian memasukkan Ubi Jalar ke Indonesia pada abad ke 16 yang dibawa oleh bangsa Spanyol.

Meskipun semua informasi diatas masih berupa dugaan sejarah karena tidak adanya catatan yang pasti, namun pada tahun 1960-an Ubi Jalar sudah menyebar merata di seluruh Indonesia hingga pada tahun 1968 Indonesia termasuk negara penghasil Ubi Jalar terbesar keempat di dunia.

Terdapat keberagaman makanan pokok masyarakat Indonesia di masa-masa kerajaan atau masa pra kolonialisme Belanda. Diantaranya Singkong, Ubi Jalar, Sagu Aren dan Jagung. Tetapi yang paling umum saat itu adalah beras yang sudah mulai datang ke Indonesia sejak sekitar 1500 SM seiring dengan pola migrasi nenek moyang bangsa Indonesia dari Indochina dan India. Beras telah menjadi makanan pokok mereka dan dibudidayakan di lahan-lahan pertanian yang ada saat itu.

Makanan pokok masyarakat Indonesia di jaman kolonialisme Belanda dicirikan dengan keberagaman jenis dan pola konsumsi, bangsa Belanda didominasi oleh konsumsi kentang dan gandum. Mereka memakan kentang sebagai makanan pokok mereka sesuai dengan budaya eropa darimana mereka berasal. Sementara makanan rakyat Indonesia dari golongan raja-raja dan priyayi mereka adalah konsumen beras, kemudian bagi rakyat umum konsumsi mereka berbagai macam, mulai dari beras, umbi-umbian (singkong dan ubi jalar), sagu aren hingga jagung.

Intensifikasi makanan pokok di zaman Orde Lama dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno dilakukan melalui beberapa program intensifikasi beras. Diantaranya Kasimo Plan yang digagas oleh seorang bernama Kasimo. Nama lengkapnya adalah Kasimo Hendrowahyono, lahir di Yogyakarta April 1900. Waktu itu beliau adalah menteri Persediaan Pangan Rakyat dari Kabinet Hatta di jaman pemerintahan Presiden Sukarno.

Kasimo adalah pencetus program pangan yang dikenal dengan Kasimo Plan yang berlangsung pada 1945 sampai 1950, yaitu intensifikasi pertanian dan pencapaian swasembada beras melalui penanaman padi seluas 280 ribu hektar di Sumatera timur dan pembenihan bibit unggul pada tiap-tiap desa. Kasimo Plan ini yang menjadi cikal bakal intensifikasi padi nasional pada program Repelita di zaman Orde Baru. Situasi politik saat itu sering dalam kondisi tidak menentu dan kurang mendukung pada keberhasilan program tersebut, namun Kasimo Plan adalah peletak dasar program intensifikasi pangan nasional.

Jatuh bangun situasi politik Indonesia menjadikan program pangan di negeri ini sulit dilaksanakan dengan baik. Ketidakstabilan politik berlangsung terus menerus hingga akhirnya Soeharto naik menjadi presiden dan dilantik pada 27 Maret 1968. Ia langsung membuat program pembangunan nasional dalam bentuk REPELITA atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Repelita 1 dimulai pada tahun 1969 dengan program kerja memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.

Program REPELITA ini berlangsung dari tahun 1969 hingga tahun 1994 yang terbagi dalam modul pembangunan Lima Tahunan. Repelita I sampai Repelita VI yang keseluruhan fokusnya adalah pada intensifikasi pertanian, infrastruktur, kestabilan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan dan berbagai pembangunan Industri melalui pembukaan investasi asing. Namun dalam setiap modul Repelita, pertanian selalu menjadi bagian utama dengan tujuan swasembada pangan.

Kebutuhan pangan sebuah negara akan ditentukan oleh jumlah populasi negara tersebut, demikian pula Indonesia. Menurut data yang ada salah satu keberhasilan Repelita I adalah mampu meletakkan Indonesia sebagai negara pengekspor beras karena saat itu tercapai swasembada pangan. Namun demikian karena tingginya pertambahan jumlah penduduk di Indonesia maka di tahun-tahun berikutnya Indonesia tidak lagi mencapai swasembada pangan dan hingga saat ini Indonesia selalu menjadi negara pengimpor beras.

Selain menjadi negara pengimpor beras Indonesia juga adalah negara pengimpor gandum. Banyaknya orang asing yang tinggal dan hidup di Indonesia menjadikan keharusan akan ketersediaan tepung gandum. Karena gandum tidak tumbuh di Indonesia yang beriklim tropis maka gandum didatangkan dari negara penghasil gandum yaitu Amerika Serikat. 

Bahkan ketika era revolusi dan setelah pengakuan kedaulatan, impor tepung gandum tetap tinggi. Menurut catatan Kolonel Raden Mas Gonnie Soegondo dalam Ilmu Bumi Militer Indonesia-Volume 1 (1954:168), impor tepung gandum pada 1948 sebesar 63.223 ton; tahun 1949 sebanyak 68.617 ton; tahun tahun 1950 sebesar 53.979 ton; dan tahun 1951 mencapai 126.231 ton. Hal ini yang menjadikan ketersediaan pangan di Indonesia setelah beras adalah tepung gandum yang kemudian kita kenal dengan nama Tepung Terigu.

Terdapat beberapa versi tentang inisiatif proposal impor gandum kepada pemerintah waktu itu, terdapat nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Yani Haryanto (Liem Poo Hien), Sudwikatmono, Ibrahim Risjad dan beberapa nama lain sebagai inisiator impor terigu. Pada akhirnya dibangun pabrik penggilingan terigu di Indonesia untuk pertama kali pada Mei 1969 dengan nama perusahaan PT Bogasari Flour Mills dengan kapasitas penggilingan 650 ton perhari. Inilah cikal bakal ketersediaan tepung gandum di Indonesia.

Gandum (Triticum spp) adalah tanaman golongan serealia yang telah menjadi salah satu makanan  penduduk bumi sejak sekitar 8500 tahun sebelum masehi. Sebelumnya jelai atau barley (Hordium vulgare) sejenis rumput-rumputan berbiji menjadi makanan kaum nomaden. 

Menurut sejarahnya gandum adalah tanaman yang berasal dari sekitar Laut Merah dan Laut Mediterania kemudian menyebar ke semua pusat-pusat penduduk bumi. Hingga saat ini terdapat kurang lebih 221 juta hektar pertanian gandum di seluruh dunia, dengan produktivitas 8 – 12 ton per hektar dengan umur tanam berkisar antara 90 hari hingga 250 hari. 

Pada 2023 total produksi gandum dunia sebesar 799 juta ton dengan produsen terbesar saat ini adalah China, disusul India, Rusia, USA, Australia, Perancis dan Kanada. Sementara itu negara pengimpor terbesar gandum saat ini adalah Indonesia (11 juta ton), disusul Mesir (10 juta ton) kemudian Turki (9,9 juta ton).

Dengan menerapkan teknologi yang tinggi dalam tata kelola pertanian gandum membuat komoditi ini mencapai efisiensi yang sangat tinggi sehingga menjadi tepung yang paling murah di pasaran. Di samping kegunaannya yang sangat beragam dan fleksibel dengan laju penanaman pertanian yang terus menerus sehingga hampir semua industri makanan dunia mengacu pada penggunaan tepung ini sebagai bahan baku utamanya. Di samping harganya murah – bahkan lebih murah dari harga beras – juga ketersediaannya melimpah hingga ke pelosok-pelosok perkampungan. Belum tentu kita menemukan tepung tapioka atau tepung beras di sebuah wilayah terpencil di Indonesia, tetapi disana kemungkinan besar terigu tersedia, juga roti dan mie instan.

Kondisi inilah yang membuat penggunaan tepung lain non terigu di Indonesia menjadi lambat berkembang karena para pegiat kuliner hingga industri makanan memerlukan kecepatan suplai dengan volume besar akan bahan baku. Ini mampu dipenuhi dengan baik oleh terigu. 

Jika era pasca kolonial Belanda makanan negeri kita didominasi oleh penggunaan bahan umbi-umbian sebagai cadangan pangan olahan maka pasca kolonial perlahan terigu mengambil alih semua bahan makanan olahan karena ketersediaan yang kontinyu dan keterjangkauan yang mudah hingga volume yang besar mampu dipenuhi oleh komoditi ini meskipun impor. Ini hanya sekadar bisnis, meskipun tidak semua makanan olahan yang ada di negeri ini berbahan tepung gandum namun penggunaannya sangat tinggi, hingga mendominasi lebih dari 60 persen bahan makanan non beras.

Namun demikian Indonesia tetap memiliki sumberdaya pangan tersendiri yang penggunaannya akan memberi dampak ekonomi secara langsung kepada petani kita. Kesempatan ini semakin terbuka dengan semakin tingginya permintaan variasi bahan pangan secara global, baik dalam penggunaan secara tunggal maupun komposit (mixing). Sebuah biskuit yang memerlukan sifat getas dan tahan simpan lama harus menggunakan tepung campuran antara gandum dan pati, atau sebuah crackers akan terlalu keras jika hanya menggunakan tepung pati maka harus dicampur dengan tepung gandum agar diperoleh sifat lunak misalnya.

Ketersediaan yang cukup produk tepung pati yang berasal  dari umbi-umbian akan mendorong research and development dari banyak industri makanan untuk terus menerus melakukan berbagai terobosan kreatif dalam rangka menemukan variasi baru pada produk-produk makanan olahan.

Bentuknya bisa bermacam-macam, bisa menjadi subtitutor seperti tepung pati aren dengan pati ubi jalar, bisa menjadi komplementer (saling melengkapi) seperti pada produk-produk biskut dan makanan kering tahan simpan, atau bisa juga menjadi variasi misalnya pada industri kue basah (cake). 

Kita bisa memilih kue yang terbuat dari tepung gandum atau tepung beras misalnya, atau penggunaan tunggal seperti pilihan mie dan soun, mie (noodles) dibuat dari komposit terigu dan pati dengan komposisi terigu yang lebih besar, sementara sohun itu 100 persen terbuat dari pati. Atau semua kerupuk berbahan pati singkong. Siapa yang tidak suka kerupuk? Mungkin ada seratus lebih variasi kerupuk di dunia ini, dan tidak ada yang tidak menyukainya.

Upaya-upaya peningkatan bahan pangan lokal adalah sebuah upaya kemandirian pangan, kedaulatan pangan sekaligus memberikan dampak ekonomi positif kepada para petani kita. Kesempatan ini harus selalu dibuka dan dikembangkan dengan tujuan mencapai kesejahteraan nasional sesuai amanat yang digariskan oleh para pendiri bangsa kita sebagai upaya yang terus menerus dalam rangka mengisi kemerdekaan mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement