Rabu 16 Jul 2025 21:31 WIB

Fatwa Tanggung Renteng dan Menjual Kearifan Lokal Keuangan Mikro

Keunggulan model ini bukan semata dari sisi finansial.

Ilustrasi Ekonomi Syariah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Ekonomi Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Ekonomi Syariah dan Kebijakan Publik

Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Juli 2025) untuk menerbitkan fatwa tentang Skema Tanggung Renteng Dalam Pembiayaan Ultra Mikro merupakan langkah monumental dan mengawali babak baru keuangan mikro syariah. Fatwa ini tidak hanya menjawab kekosongan hukum syariah yang selama ini menyelimuti praktik tanggung renteng di koperasi syariah, BMT, dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), tetapi juga menegaskan keuangan syariah Indonesia bisa bertumbuh dari akar lokalnya sendiri tidak harus selalu meniru model dari luar.

Menemukan Kekuatan dari Akar Budaya

Jauh sebelum konsep Grameen Bank yang digagas Muhammad Yunus di Bangladesh dikenal luas, Indonesia telah memiliki model tanggung renteng dalam bentuk koperasi perempuan. Salah satu pelopornya adalah Koperasi Setia Bhakti Wanita di Jawa Timur yang diprakarsai Ibu Mursia Zaafril Ilyas pada era 1970-an. Model ini lahir dari nilai gotong royong, kedekatan komunitas, dan sistem saling jamin berbasis kepercayaan. Konsep tanggung renteng (joint liability) secara filosofis sejalan dengan prinsip ta’awun (tolong-menolong), tanggung jawab jama’i, dan akhlak berjamaah yang merupakan inti dari ekonomi Islam.

Efektivitas dan Keunggulan Model Lokal

Data dari OJK dan pelaku sektor menunjukkan keunggulan nyata dari model ini. Di BTPN Syariah, misalnya, pembiayaan berbasis tanggung renteng berhasil menjangkau lebih dari 6 juta nasabah perempuan ultra-mikro dengan NPF (Non Performing Financing) di bawah 1 persen. Begitu juga PNM Mekaar Syariah, yang menyalurkan pembiayaan kepada lebih dari 15 juta nasabah pada 2024, mencatatkan pengembalian yang tinggi dan disiplin yang kuat.

Keunggulan model ini bukan semata dari sisi finansial, tapi juga dari sisi sosial. Studi internal PNM menyebutkan 92 persen nasabah mengalami peningkatan pemahaman keuangan dasar dan peningkatan rasa tanggung jawab kolektif. Disiplin, kejujuran, dan gotong royong terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil yang saling menguatkan.

Islamic Microfinance: Tantangan dan Tren Global

Secara global, Islamic microfinance masih belum tumbuh sepesat konvensional. Berdasarkan laporan dari Global Islamic Finance Report (GIFR) 2024, total aset Islamic microfinance di dunia hanya mencapai sekitar 2 miliar dolar AS jauh di bawah total aset microfinance konvensional yang melebihi 140 miliar dolar AS. Hal ini menunjukkan potensi pertumbuhan masih sangat besar.

Namun, beberapa negara menunjukkan keberhasilan. Di Sudan dan Pakistan, Islamic microfinance telah diadopsi sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan. Akhuwat Foundation di Pakistan, misalnya, menyalurkan pembiayaan mikro tanpa bunga (Qard al-Hasan) kepada lebih dari 5 juta penerima manfaat dengan prinsip tanggung renteng berbasis komunitas masjid. Di Timur Tengah, Islamic Relief mengembangkan model hybrid antara wakaf dan microfinance untuk pemberdayaan petani miskin. Indonesia bisa mengambil peran sebagai pemimpin dalam Islamic microfinance global dengan menonjolkan kekuatan lokal dan inovasi fatwa.

Tanggung Renteng Sebagai Model Resilien dalam Krisis

Salah satu kekuatan tanggung renteng adalah daya tahannya dalam menghadapi krisis. Ketika pandemi COVID-19 menghantam sektor keuangan formal, banyak kelompok tanggung renteng di bawah koperasi syariah dan BMT tetap bertahan.

Mereka memperkuat solidaritas komunitas, menyesuaikan tenor cicilan, dan tetap menjaga arus kas secara kolektif. Inilah bukti bahwa sistem keuangan yang berakar pada etika, solidaritas, dan budaya komunal lebih tahan guncangan daripada model individualistik berbasis agunan.

Digitalisasi dan Integrasi Sistem

Namun demikian, tantangan transformasi ke depan juga tak ringan. Digitalisasi tanggung renteng menjadi keniscayaan.

Beberapa fintech syariah seperti Ammana telah mulai menguji coba sistem pembiayaan mikro berbasis kelompok. Tantangannya adalah menjaga esensi kolektivitas, transparansi syariah, dan pendampingan non-transaksional agar tidak berubah menjadi sekadar pinjol alias pindar syariah pada umumnya.

Langkah penting berikutnya adalah membangun platform digital komunitas yang terintegrasi dengan data syariah compliance, tracking literasi, dan asesmen dampak sosial. Sistem tanggung renteng berbasis smart contract dan blockchain juga mulai dikembangkan oleh startup keuangan Islam di Malaysia dan Bahrain. Indonesia tidak boleh tertinggal.

Rekomendasi Strategis

1. Legal Proteksi dan Harmonisasi

Fatwa DSN perlu segera ditindaklanjuti dengan harmonisasi regulasi antara OJK, Kemenkop UKM, dan BI, agar lembaga keuangan mikro syariah yang menerapkan tanggung renteng punya kepastian hukum.

2. Digitalisasi yang Etis dan Bertahap

Digitalisasi tanggung renteng harus dilakukan secara bertahap dengan pelatihan literasi digital dan perlindungan data pribadi nasabah. Jangan sampai teknologi menggerus esensi sosialnya.

3. Replikasi Berbasis Wilayah dan Komoditas

Model tanggung renteng bisa direplikasi di berbagai sektor dan wilayah: nelayan di pesisir, petani di desa, buruh migran, bahkan komunitas pesantren. Pembiayaan bisa disesuaikan dengan siklus usaha dan adat lokal.

4. Pemberdayaan Berbasis Masjid dan Pesantren Mengintegrasikan sistem ini ke dalam jaringan masjid dan pesantren akan memperluas jangkauan sekaligus memperkuat legitimasi sosial dan keagamaan. Masjid sebagai lembaga sosial umat harus bertransformasi menjadi pusat keuangan mikro umat.

5. Indikator Keberhasilan yang Berbasis Nilai

Evaluasi keberhasilan program tanggung renteng jangan semata dari angka pembayaran, tapi juga dari indikator pertumbuhan literasi, pemberdayaan keluarga, dan penguatan komunitas.

Menjual Kearifan, Menjaga Amanah

Fatwa DSN-MUI ini membuka jalan bagi Indonesia untuk mengekspor gagasan, bukan sekadar produk. Dunia Islamic microfinance perlu melihat Indonesia bukan hanya sebagai pasar, tapi sebagai pusat inovasi berbasis kearifan lokal. Ketika dunia mencari solusi keuangan yang lebih manusiawi, pro usaha mikro, etis, berkeadilan berkekeluargaan, bergotongroyong dan berkelanjutan, Indonesia bisa menjawabnya dengan satu kata: tanggung renteng.

Ini bukan sekadar model teknis, tapi amanah sosial yang dibingkai dalam nilai syariah, dibumikan dalam tradisi lokal, dan dibawa menuju masa depan inklusi keuangan yang lebih adil dan bermartabat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement