
Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Islam, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi Islam kini tidak lagi berdiri sebagai sektor marjinal atau alternatif, melainkan telah berkembang menjadi kekuatan struktural dalam perekonomian global yang bernilai triliunan dolar. Laporan State of the Global Islamic Economy Report 2024/25 menunjukkan bahwa pada tahun 2023, umat Muslim dunia membelanjakan sekitar USD 2,43 triliun di enam sektor utama, makanan halal, fesyen modest, kosmetik, farmasi, media dan rekreasi, serta perjalanan ramah Muslim. Angka ini diproyeksikan tumbuh menjadi USD 3,36 triliun pada 2028, mencerminkan pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 5,3 persen. Di balik angka-angka tersebut tersembunyi satu peluang besar yang layak direbut oleh Indonesia, menjadi pusat gravitasi ekonomi Islam dunia.
Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga dunia dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2024, mengungguli negara-negara besar lain dalam indikator ekosistem ekonomi halal. Bahkan, dalam hal nilai investasi sektor halal, Indonesia mencatatkan posisi tertinggi secara global pada tahun 2023/24 dengan total USD 1,6 miliar, mengungguli Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Ini bukan sekadar pencapaian statistik, melainkan sinyal kuat bahwa Indonesia bukan hanya pasar, tetapi kini juga menjadi produsen dan penggerak utama dalam ekonomi halal global. Posisi ini diperkuat oleh kombinasi faktor strategis, populasi Muslim terbesar di dunia, demografi muda yang dominan, merek lokal halal yang berhasil menembus pasar regional seperti Wardah, Zoya, dan ZUS Coffee, serta dukungan kelembagaan melalui regulasi BPJPH dan percepatan sertifikasi halal nasional.
Peluang Indonesia semakin terbuka lebar karena terjadi pergeseran besar dalam perilaku konsumen Muslim global. Konflik geopolitik, terutama agresi Israel di Gaza, mendorong lahirnya gelombang kesadaran konsumen Muslim untuk berpaling dari merek multinasional menuju produk etikal, lokal, dan berbasis nilai. Analisis media sosial global menunjukkan bahwa lebih dari 27 persen percakapan daring berkisar pada makanan dan minuman halal, diikuti kosmetik (16 persen), fesyen (13,6 persen, media dan hiburan (13,3 persen), serta farmasi halal dan perjalanan. Gerakan konsumen ini bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang menuntut keadilan moral dalam konsumsi. Merek-merek Indonesia berada dalam posisi yang sangat tepat untuk menjawab permintaan ini, karena tidak hanya menawarkan produk halal, tetapi juga memiliki nilai keberlanjutan, kemanusiaan, dan kualitas yang semakin diakui dunia.
Investasi global dalam sektor-sektor halal mencapai USD 5,8 miliar pada 2023/24, dengan konsentrasi tertinggi pada keuangan Islam (34,4 persen), perjalanan ramah Muslim (23,9 persen), makanan halal (21,1 persen), farmasi halal (14,8 persen), dan media serta rekreasi (7,8%). Indonesia tidak hanya memimpin dalam angka, tetapi juga dalam arah—yakni dengan menanamkan investasi pada inovasi dan infrastruktur halal yang dapat menopang ekspor dan memperluas akses ke pasar global. Hal ini sejalan dengan urgensi penguatan daya saing industri halal nasional, melalui percepatan transformasi digital, harmonisasi standar sertifikasi halal, serta pengembangan riset dan inovasi di bidang kosmetik, farmasi, makanan, dan logistik halal. Upaya ini semakin relevan ketika kita melihat bahwa mayoritas pasar halal global masih dikuasai oleh negara non-Muslim seperti Cina, India, Brasil, dan Amerika Serikat, yang menguasai lebih dari 30 persen ekspor produk halal ke negara-negara OKI.
Dalam konteks geopolitik dan ekonomi multipolar yang tengah berlangsung, peran Indonesia juga semakin dibutuhkan untuk menjembatani kepentingan ekonomi Islam antara kawasan Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Ketegangan global dan deglobalisasi memicu upaya negara-negara OKI untuk memperkuat perdagangan intra-OKI, mengurangi ketergantungan terhadap Barat, serta membangun sistem ekonomi alternatif berbasis nilai. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang untuk tampil sebagai pemimpin yang menyatukan kekuatan negara-negara Muslim melalui diplomasi halal, kolaborasi industri, dan pertukaran teknologi. Posisi Indonesia sebagai anggota aktif G20, pemimpin ASEAN, serta kekuatan ekonomi terbesar di dunia Muslim, menjadi modal geopolitik yang sangat berharga.
Namun, untuk mewujudkan kepemimpinan itu, kita tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan pasar. Kita memerlukan kebijakan negara yang konsisten dan berorientasi jangka panjang. Strategi nasional industri halal Indonesia perlu ditingkatkan, baik dari segi hilirisasi produk, insentif investasi, penyederhanaan sertifikasi halal, maupun penguatan branding internasional. Pemerintah dapat mendorong terbentuknya klaster industri halal berbasis ekspor di beberapa kawasan strategis seperti Banten, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Kalimantan Selatan. Selain itu, pelaku UMKM halal perlu mendapat dukungan pendanaan syariah berbasis teknologi—misalnya melalui platform fintech halal yang inklusif dan terintegrasi dengan sistem sertifikasi digital.
Dalam hal diplomasi, Indonesia perlu lebih aktif mendorong harmonisasi standar halal internasional dan memperkuat lembaga seperti BPJPH agar bisa menjadi mitra strategis dalam forum halal dunia. Saat ini, terdapat lebih dari 100 sistem sertifikasi halal yang berbeda di berbagai negara, yang sering menjadi hambatan dagang. Dengan pengalaman pluralisme dan regulasi yang inklusif, Indonesia sangat potensial menjadi pemimpin konsolidasi global di sektor ini. Apalagi, semakin banyak negara non-OKI seperti Inggris dan Singapura yang masuk dalam peringkat 15 besar GIEI, menunjukkan bahwa siapapun yang memimpin dalam inovasi dan standardisasi akan memenangkan pasar halal global, terlepas dari mayoritas agama di negaranya.
Ekonomi Islam bukan hanya menjanjikan keuntungan, tetapi juga menawarkan paradigma baru, pembangunan yang berakar pada etika, keberlanjutan, dan nilai spiritual. Ini sangat relevan di tengah dunia yang tengah bergulat dengan krisis ekologi, ketimpangan global, dan gejolak geopolitik. Indonesia, dengan seluruh modal budaya, ekonomi, dan politiknya, berada dalam posisi unik untuk memimpin bukan hanya dari segi pasar, tetapi sebagai pembentuk visi baru ekonomi dunia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini, kita tidak lagi sekadar bertanya apakah Indonesia mampu menjadi pemimpin ekonomi Islam global, melainkan sudah saatnya bertanya, apakah kita siap mengambil tanggung jawab itu?
Tulisan ini mengajak semua pemangku kepentingan—pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil—untuk tidak melihat ekonomi Islam semata sebagai peluang sektoral, tetapi sebagai strategi nasional. Menjadi pusat gravitasi ekonomi Islam dunia bukan sekadar kebanggaan simbolik, melainkan jalan nyata menuju kemandirian, daya saing, dan peran global Indonesia yang lebih bermartabat dan berpengaruh.