
Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sepekan terakhir Kota Bandung menjadi sorotan masyarakat. Julukan Kota Kembang yang menggambarkan keindahan seolah gugur setelah Bandung ditetapkan sebagai kota termacet se-Indonesia, rawan begal dengan angka kriminalitas tinggi, hingga sejumlah tempatnya menjadi langganan banjir. Belum lagi kasus terbaru soal pungli di sana-sini yang melahirkan pertanyaan, masihkah Bandung jadi kota yang aman dan nyaman untuk ditinggali atau bahkan sekadar disinggahi?
Julukan Kota Kembang tidak hanya melambangkan keindahan alam dan budaya, tapi juga perlambang Bandung sebagai salah satu kota yang berada di menara gading dalam bidang pendidikan karena keberadaan perguruan tinggi negeri favorit. Namun, di balik julukan romantis tersebut, Bandung kini tercoreng dengan stigma kelam: kota macet, rawan kejahatan, dan praktik pungutan liar yang meresahkan warganya, ditambah dengan langganan banjir. Transformasi ini tentu tidak terjadi dalam semalam, tetapi berakar dari sejarah panjang perubahan sosial, urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan lemahnya tata kelola perkotaan.
Bandung sejak masih dalam kekuasaan Kolonial mendapatkan julukan prestise: Paris van Java yang mencerminkan sebagai kota peristirahatan dengan tata kota Eropa yang tertata rapi dengan cuaca yang sejuk. Namun, kemegahan itu mulai berubah sejak medio 1980-an ketika pertumbuhan ekonomi memicu ledakan urbanisasi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Bandung melonjak drastis pasca-reformasi. Pada tahun 2000, Bandung dihuni sekitar 2 juta orang, tetapi jumlah penduduknya melesat menjadi 3 juta jiwa hanya dalam dua dekade. Itu pun belum termasuk mobilitas harian dari wilayah aglomerasi seperti Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Garut. Jadi jangan ditanya jika semua itu membuat jalan-jalan di Bandung yang "terlalu ramping" mampu menampung jumlah kendaraan yang terus membengkak.
Kemacetan di Bandung pada jam-jam tertentu pun sudah di luar nalar. Studi Dishub Kota Bandung pada 2022 mencatat tingkat kemacetan di jalan utama seperti Jalan Asia Afrika, Pasteur, dan Dago mencapai titik jenuh pada jam sibuk pagi dan sore. Itu jamnya siswa berangkat sekolah dan jam karyawan masuk kantor. Mereka saling berebut angkot dan berbagi jalanan aspal dan stopan yang lamanya bahkan dijuluki perenggut masa muda. (BACA JUGA: 3 Stopan Terlama di Bandung, Nomor 1 Disebut Lampu Merah Perenggut Masa Muda)
Kemacetan di Bandung pun seakan tidak mengenal kata libur. Saban akhir pekan, Bandung tetap disiksa kendaraan-kendaraan wisatawan yang datang dari luar kota seperti Jakarta. Tren wisata akhir pekan itu menjadikan Bandung sebagai salah satu kota dengan kemacetan terparah di Indonesia, bahkan polusi kendaraannya mampu "mengasapi" Jakarta yang dikenal sebagai kota macet.
Kakak sepupu saya yang sejak brojol hingga menua di Kota Bandung pun mengaku saat ini memilih diam di rumah ketika akhir pekan, daripada keluar keliling kota. Alasannya apalagi kalau bukan karena macet. Menariknya, setiap akhir pekan Bandung tetap saja tidak sepi dari wisatawan yang datang berkunjung tak kurang dari 48 jam.
Masalah utama kemacetan ini salah satunya karena ketimpangan antara pertumbuhan kendaraan dan infrastruktur. Alasannya tentu saja karena Kota Bandung tidak dirancang untuk mobil pribadi yang terus bertambah banyak.
Berganti pemimpin pun Bandung tetap belum mampu melepaskan diri dari masalah kemacetan. Upaya seperti pembangunan flyover, penerapan rekayasa lalu lintas, dan penggunaan transportasi publik seperti Bus Rapid Transit (BRT) TMB atau program sepeda tidak cukup mengurangi beban jalan yang sudah padat. Bahkan, rencana Wali Kota Bandung Muhammad Farhan yang bakal menghapus seluruh trayek angkutan kota (angkot) di Kota Bandung pun diragukan banyak pihak. (BACA JUGA: Tak Takut Dimusuhi, Wali Kota Bandung akan Tiru Bang Yos Bangun Transportasi Massal)
Farhan bakal menggantikan trayek dengan sistem wilayah dan pemesanan angkot menggunakan sistem online dan berencana meniru Jakarta yang membangun Transjakarta untuk mengatasi masalah kompleks tersebut. Kemacetan Bandung yang "tak ada obat" itu bahkan bisa bikin tobat.