
Oleh : Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia anggota penuh BRICS merupakan langkah strategis yang menghubungkan semangat Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 dengan realitas geopolitik kontemporer. Analisis ini mengkaji bagaimana langkah diplomatik tersebut mencerminkan transformasi Indonesia dari negara yang menolak dominasi kolonial menjadi pemimpin aktif dalam tatanan dunia.
Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung melahirkan semangat non-blok yang menolak dominasi kekuatan besar. Tujuh puluh tahun kemudian, BRICS hadir sebagai manifestasi modern dari aspirasi tersebut. Namun bedanya, jika KAA bersifat reaktif terhadap kolonialisme, BRICS lebih proaktif dalam menciptakan alternatif sistem internasional yang lebih berimbang. Prabowo paham, partisipasi Indonesia dalam BRICS bukan sekadar kelanjutan politik luar negeri bebas aktif, tetapi evolusi strategis yang diperlukan. Dalam konteks ini, Indonesia tidak lagi hanya menjadi mediator, tetapi berusaha menjadi pemimpin dalam membangun konsensus Global Selatan.
Keputusan Prabowo untuk fokus pada BRICS sambil mendelegasikan isu tarif dagang AS kepada Menko Airlangga menunjukkan pemahaman strategis yang matang. Langkah ini mencerminkan prinsip diplomasi yang mengutamakan kepentingan jangka panjang dibanding reaksi terhadap tekanan tarif. BRICS menawarkan platform yang lebih menjanjikan untuk diversifikasi ekonomi dan perdagangan Indonesia. Dengan GDP gabungan lebih dari 40% ekonomi dunia, BRICS memberikan alternatif nyata terhadap ketergantungan pada pasar tradisional Barat. Bukan anti-Barat, namun lebih ke arah strategi mengurangi risiko.
Konsep kairos—momentum kritis yang menentukan arah sejarah—menjadi kerangka analisis ini. Prabowo hadir di Rio de Janeiro pada saat yang tepat ketika tatanan dunia sedang mengalami rebalancing. Kekuatan ekonomi dan politik mulai bergeser dari Atlantik ke Indo-Pasifik dan Global Selatan. Indonesia sebagai anggota ke-10 BRICS memiliki posisi unik: negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, populasi Muslim terbesar dunia, dan pengalaman kepemimpinan dalam forum multilateral. Kombinasi ini memberikan Indonesia keuntungan dalam memengaruhi agenda BRICS.
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS menandai pergeseran fundamental dalam arsitektur global. Jika dulu negara-negara berkembang hanya bereaksi terhadap kebijakan negara maju, kini mereka mulai menciptakan mekanisme sendiri untuk keuangan, perdagangan, dan kerja sama teknologi. Deklarasi Rio 2025 yang menekankan reformasi sistem multilateral sejalan dengan kepentingan Indonesia untuk menciptakan tatanan yang lebih adil dan representatif. Ini mencakup reformasi IMF-World Bank, sistem pembayaran alternatif, dan kerjasama energi yang tidak didominasi korporasi Barat.