Selasa 17 Jun 2025 10:44 WIB

Posisi Strategis Indonesia di Tengah Perang Israel-Iran

Indonesia dinilai strategis mendamaikan Israel dan Iran.

Sistem pertahanan udara Israel Iron Dome berusaha mencegat serangan rudal Iran di Tel Aviv, Ahad (15/6/2025). Serangan Iran membuat sejumlah bangunan di Israel hancur berantakan. Komando Front Dalam Negeri Israel mengatakan serangan Iran meluas dari Eilat di selatan hingga kota Naqoura di utara, tanpa sepenuhnya bisa dicegat sistem pertahanan udara.
Foto: AP Photo/Leo Correa
Sistem pertahanan udara Israel Iron Dome berusaha mencegat serangan rudal Iran di Tel Aviv, Ahad (15/6/2025). Serangan Iran membuat sejumlah bangunan di Israel hancur berantakan. Komando Front Dalam Negeri Israel mengatakan serangan Iran meluas dari Eilat di selatan hingga kota Naqoura di utara, tanpa sepenuhnya bisa dicegat sistem pertahanan udara.

Oleh : Ali Mocthar Ngabalin*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seketika dunia tersentak. Pada 13 Juni 2025, Timur Tengah kembali berdarah. Israel, melalui operasi udara bertajuk “Rising Lion”, menghantam fasilitas nuklir Iran secara masif dan sistematis. Serangan itu menewaskan sedikitnya 78 orang dan melukai lebih dari 320 warga sipil dan personel militer.

Tidak butuh waktu lama, Iran membalas dengan meluncurkan lebih dari 100 rudal ke arah Jerusalem dan Tel Aviv. Sedikitnya tiga warga Israel meninggal dunia, 44 lainnya luka-luka, dua di antaranya kritis. Krisis ini tidak hanya memporakporandakan kawasan, tetapi mengguncang opini publik dunia yang terancam menyaksikan babak baru perang terbuka.

Baca Juga

Namun, eskalasi ini tidak datang secara mendadak. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa Iran untuk pertama kalinya dalam dua dekade telah melanggar kewajiban nuklirnya. Teheran kemudian mempercepat pengayaan uranium dan mengaktifkan kembali sentrifuga canggih di lokasi rahasia.

Dalam pernyataan bersama yang dirilis kamis lalu, Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) dan Kementerian Luar Negeri Iran menyebut keputusan Dewan Gubernur IAEA sebagai “tindakan politis tanpa dasar teknis dan hukum yang jelas.” Ketegangan memuncak saat tiga komandan senior Korps Garda Revolusi Islam Iran tewas dalam serangan Israel yang menghancurkan fasilitas strategis di Tehran dan Isfahan. Dunia menahan napas.

Tepat sehari sebelum konflik ini meledak ke permukaan, sebuah percakapan diplomatik yang nyaris luput dari sorotan berlangsung. Pada 12 Juni, Presiden Amerika Serikat Donald Trump meluangkan waktu 15 menit berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Sebuah langkah yang tidak bisa dianggap kebetulan. Di tengah ancaman global dan narasi kekerasan, Trump memilih berdialog dengan pemimpin Indonesia. Ini adalah pengakuan bahwa ketika dunia butuh suara bijak, Indonesia adalah pilihan yang dianggap kredibel dan layak didengar.

Percakapan ini mengingatkan kita pada semangat besar Soekarno dan Hatta. Kedua proklamator itu bukan hanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga meletakkan fondasi politik luar negeri yang tidak tunduk kepada kekuatan besar mana pun. Politik luar negeri yang bebas aktif, yang hadir bukan untuk menjadi pengikut, tetapi untuk menjadi penyeimbang. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung dan peran sentral Indonesia dalam Gerakan Non-Blok adalah bukti bahwa sejak awal, bangsa ini dirancang bukan hanya untuk merdeka, tapi juga untuk memerdekakan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement