Kamis 22 May 2025 15:30 WIB

Duet Modernisasi Keagamaan Perbutulan dan Fitnah Orba, In Memoriam KH Noor Zein dan KH Abdul Jalil

peran KH Noor Zein dan KH Abdul Jalil demikian besar dalam perkembangan keagamaan.

(ilustrasi) Sejumlah santri mengaji kitab hadits Arbain Nawawi saat ngabuburit mengaji kitab kuning.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
(ilustrasi) Sejumlah santri mengaji kitab hadits Arbain Nawawi saat ngabuburit mengaji kitab kuning.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Nasihin Masha, Wartawan Senior

Harus diakui, peran KH Noor Zein dan KH Abdul Jalil demikian besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Perbutulan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Duet mereka sangat besar dalam modernisasi kehidupan keagamaan. Perbutulan adalah desa santri. Di dekade 1970an, tiap hari, sehabis Ashar, masyarakat sudah rapi. Mereka sudah berkain sarung dan berpeci. Mereka bercengkerama di ujung-ujung gang. Anak-anak pun sudah bersarung dan berpeci. Mereka bermain. Macam-macam permainan kampung: bermain kelereng, petak umpet, pata-an, dan sebagainya. Begitu menjelang magrib, mereka sudah ke musola. Di tiap gang ada musola. Mereka Sholat Maghrib berjamaah. Lalu mengaji Alquran, hingga waktu Isya tiba. Di luar musola dan masjid, kehidupan sepi. Situasi ramai lagi setelah Isya.

Kehidupan berjalan rutin seperti itu. Umumnya mereka hidup sebagai petani, buruh tani, pekerja bangunan, atau pedagang di pasar. Kehadiran Noor Zein dan Abdul Jalil, dua orang yang awalnya tidak saling kenal, mengubah banyak hal. Kehidupan menjadi dinamis. Mereka sama-sama lulusan pesantren. Yang satu dari pesantren tradisional NU, yang satu dari pesantren modern Gontor. Yang satu hadir tahun 1974, yang satu tahun 1977.

 

Noor Zein

Saat saya masih kelas 1 di MI Al Washliyah, setingkat SD, Noor Zein baru lulus dari pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sekitar tahun 1974. Ia berkulit putih bersih dan gagah. Rambutnya ikal, tebal, dan hitam, serta panjang di atas bahu. Matanya tajam dan pandai bergaul. Kumisnya tebal, lengkap dengan jenggot dan cambangnya yang lebat. Badannya gempal dan berkain sarung. Saya kali pertama melihatnya, saat masih sekolah di MI tersebut. Pria kelahiran 1951 ini sedang bercengkerama di warung Mang Parman dengan teman-teman sebayanya.

Jika pagi hari, di Perbutulan, di masa 1970an hingga 1980an, masyarakat biasa sarapan di warung. Umumnya sarapan nasi kuning, bubur berkuah sayur, atau docang (makanan khas dari Cirebon, yaitu potongan lontong dengan sayur docang bertopping daun singkong, tauge rebus, dan parudan kelapa muda plus kerupuk kampung disiram kuah). Sebagian ada yang lebih suka nongkrong di depan tungku serabi yang berjajar di depan pembuat serabi. Udara sejuk pagi, cocok untuk menghangatkan diri. Saat itu di Perbutulan masih sering turun kabut, bahkan sesekali ada halimun yang pekat. Jika musim kemarau dengan angin kumbangnya maka udara juga sangat dingin. Anak-anak sekolah sebelum berangkat gemar bersantap serabi. Sedangkan untuk pemuda, lebih suka sarapan lontong atau serabi yang dicocol sambal terasi yang dibungkus daun pisang atau dengan tempe dempul. Jika musim apem – di bulan safar – maka sarapan apem menjadi menu istimewa. Semua serba hangat. Apem kukus atau apem ‘panggang’ disiram kuah kinca yang bercampur parutan kelapa muda plus topping ‘mata ula’ – santan yang direbus sehingga membentuk gumpalan krim putih yang gurih menetralkan rasa manis kinca. Itulah suasana pagi di Perbutulan masa lalu. Jarum jam terasa berjalan lambat. Suasana sarapan pagi yang riuh menyisakan para pelaku hidup santai untuk ngobrol hingga pukul sembilan pagi. Sedangkan anak sekolah sudah masuk kelas, petani sudah ke sawah, kuli bangunan sudah bekerja, para pedagang sudah pergi ke pasar, serta para pemecah batu dan pengeruk pasir di kali sudah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Noor Zein menjadi bintangnya anak muda. Sebagai lulusan Gontor – yang diajarkan kebebasan berpikir dan keterampilan berorganisasi – Noor Zein kemudian mendirikan perkumpulan pemuda, yang diberi nama Barbathuly, lengkapnya adalah Majelis Musyawarah Keluarga Barbathuly (MMKB), sekitar tahun 1976. Saat saya tanyakan kemudian tentang arti Barbathuly, ia menyebutkan maknanya adalah “orang Perbutulan”. Entahlah. Ia mendirikan Barbathuly dengan teman-temannya seperti Abdul Jalil, Satori, Abdul Manan, Badroozzaman Ismail, dan lain-lain. Semuanya lulusan pesantren. Namun bintangnya adalah Noor Zein dan Abdul Jalil, yang satu fasih berorganisasi, yang satu fasih dalam ilmu agama.

Noor Zein menempuh pendidikan di pesantren Gontor selama enam tahun. Pendidikan dasarnya di MI Al Washliyah. Saat itu di Perbutulan hanya ada lembaga pendidikan Al Washliyah – belum ada SD Inpres yang didirikan Soeharto. SD Inpres di Perbutulan hadir pada tahun 1976. MI Al Washliyah hadir di Perbutulan dibawa oleh Pak Guru Salimi, yang juga seorang pegawai Kantor Urusan Agama. Al Washliyah adalah organisasi keagamaan dari Medan, Sumatra Utara. Organisasi ini bermazhab fikih Syafi’iyah dan bermazhab teologi Asy’ariyah. MI Al Washliyah adalah penyelamat masyarakat Perbutulan dari situasi buta huruf. Desa Perbutulan adalah desa santri. Luasnya kecil saja. Desa ini dibelah oleh jalan raya Plered-Sumber, utara-selatan. Jika berdiri di tengah-tengah jalan ini, maka ibaratnya ujung jalan di utara dan selatan akan terlihat. Saat saya SMP, ada pemilihan kepala desa, jumlah pemilihnya cuma 1.000 orang orang. Sedikit sekali. Saat tahun 1970an, di MI Al Washliyah hanya ada enam ruang kelas. Antar ruang kelas hanya dibatasi gedek anyaman bambu. Papan tulisnya terbuat dari jajaran papan dicat hitam dan berdiri dengan tiang penyangga. Bangunan ini hasil swadaya masyarakat. Sekat antar kelas berganti tripleks, demikian juga papan tulisnya, pada tahun 1976.

Sebelum ke Gontor, Noor Zein sempat sekolah di PGA (saat itu masih ada PGA enam tahun, yang menerima lulusan MI/SD), yang ditempuhnya kurang dari satu tahun. Ia keluar. Setelah itu ia mesantren di Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Orang Perbutulan umumnya mesantren di Ciwaringin – salah satu pesantren besar selain pesantren Buntet. Namun di Ciwaringin ia hanya betah satu tahun. Ia sempat mengajar di MI Al Washliyah, hingga kemudian berangkat ke Gontor. Setelah lulus dari Gontor, awalnya Noor Zein hendak melanjutkan kuliah di Al Azhar, Kairo, Mesir. Namun ayahnya tak mengizinkannya. Beruntung pada 1978, Al Washliyah mendirikan SMP. Tempatnya di MI Al Washliyah itu. Sehingga jika pagi digunakan untuk MI, maka di siang hari digunakan untuk SMP. Karena itu, Noor Zein menjadi guru di SMP Al Washliyah. Ia menjadi guru Bahasa Inggris. Keterampilannya berbahasa Inggris ia dapatkan dari Gontor – yang menggunakan dwibahasa Inggris dan Arab. Ia seorang guru yang kreatif dan mengutamakan praktik. Pelajaran tata bahasa (grammar) bisa ia padatkan dengan baik dan mudah dicerna. Hari pertama pelajaran Bahasa Inggris di kelas 1, ia langsung membawa barang-barang, lalu mengangkat barang itu dan menyebutkannya dalam Bahasa Inggris. Murid harus mengikutinya. Begitu berulang-ulang. Pengenalan kosa kata. Saya sendiri masih ingat pelajaran pertamanya: book, pen, glass, cup, wall, key. Di dinding kelas ditempeli poster-poster tenses dan contoh kalimatnya. Dengan demikian semua menjadi nempel di kepala.

 

Abdul Jalil

KH Abdul Jalil berkiprah di Perbutulan sejak awal. Saat itu ia masih sangat belia. Ia lulusan dari pesantren Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Ia lahir dan tumbuh di Wanasaba Kidul. Namun kemudian menikah dengan Kang Jem (Khuzaemah) – ya kami di keluarga biasa memanggilnya begitu, karena kakeknya dari jalur ibu adalah kakak dari nenek saya, kami memang sepupu. Kakeknya bernama Mang Syawal dan nenek saya bernama Katimah. Ikatan persaudaraan itu makin kuat karena Kang Jem adalah anak Kaji Ali, seorang imam masjid Perbutulan dan pemilik musola di depan rumahnya. H Ali adalah adik Wa Kaji Kusen. Nah, H Kusen ini beristrikan Hj ‘Ad – anak sulung Katimah alias kakak ayah saya. Sejak itu, Kiai Jalil mengajar mengaji di musola milik mertuanya tersebut.

Saat Abdul Jalil menikah, saya masih kecil sekali. Tapi saya ingat obrolan orang-orang kampung saat itu. Calon pengantinnya santri sekali. Jika sholat, takbirnya berkali-kali. Maksudnya, untuk mencapai khusyuk harus ambil niat berkali-kali dan mengulang takbir pertamanya. Saking alimnya. Itulah kesan yang muncul. Namun apa yang disampaikan orang-orang benar adanya. Abdul Jalil menjadi orang paling alim di Perbutulan hingga wafatnya. Ia menjadi imam masjid sejak muda hingga wafatnya. Mertuanya pun dulu imam masjid.

Mertuanya pemilik musola di depan rumahnya. Di situ orang-orang belajar mengaji Alquran. Namun setelah memiliki menantu Abdul Jalil, di musola itu juga jadi tempat untuk mengaji kitab-kitab kuning. Suatu saat ia berujar, “Jika ingin menjadi kiai maka seperti pedagang, harus dedasar (buka lapak).” Karena murid tidak akan datang jika ia tidak memulai dengan membuka ‘penerimaan’ murid.

Abdul Jalil lahir 3 April 1953 di Wanasaba Kidul dan menempuh pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) di desanya. Setelah itu ia langsung mesantren di Raudlatul Thalibin, Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Setelah lulus dari sana, ia memperdalam ilmunya di pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, selama dua tahun. Kemudian ia mesantren lagi di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, selama satu tahun. Nah, setelah itu ia melakukan pengabdian dengan menjadi guru di Ciwaringin. Pada 1976, ia balik kampung. Pada tahun berikutnya, ia menikah dengan Khuzaemah (Kang Jem) pada 24 November 1977. Walau sudah berkeluarga dan menetap di Perbutulan, ia masih bolak-balik mengajar di Ciwaringin, hingga tahun 1984.

Walau ia lahir dan besar di Wanasaba Kidul, sebetulnya Abdul Jalil masih memiliki kaitan dengan Perbutulan. Ayahnya, Dakas, kemudian tinggal di Perbutulan. Adapun ibunya bernama Kasinah.

Setelah reformasi, Abdul Jalil membesarkan pengajiannya dengan mendirikan lembaga pendidikan secara resmi, Al Ikhlas. Pada 20 Juni 2005 ia mendirikan Madrasah Diniyah dan Taman Pendidikan Quran. Lalu pada 2008 ia mendirikan PAUD, tahun 2013 mendirikan TK, dan tahun 2014 mendirikan SD. Kini, lembaga pendidikannya relatif berkembang baik. Cita-cita terbesarnya adalah membangun pesantren yang maju.

Saat saya aktif mengaji kitab kuning ke Kiai Jalil, ia ingin memanfaatkan potensi kami dalam berorganisasi. Maka ia membentuk Jam’iyah Syubbaniyah. Namun organisasi ini tak berkembang dengan baik. Hal ini seiring murid-muridnya merantau karena kuliah.

 

Memulai dari Masjid

Ada banyak kerja monumental yang dilakukan para pemuda Barbathuly. Langkah pertama adalah memodernisasi praktik keagamaan. Apa saja? Pertama, mengadakan speaker di masjid. Sebelumnya, kumandang azan maupun khutbah Jumat tanpa ada pengeras suara. Tanda waktu masuk solat bisa didengar dari jauh hanya mengandalkan bunyi bedug dan kentongan. Kehadiran speaker tak menghilangkan kentongan dan bedug. Bedug dibunyikan saat dhuhur dan kentongan saat empat waktu sholat lainnya. Setelah bunyi kentongan dan atau bedug, akan diikuti oleh kumandang azan dengan speaker. Bedug juga dibunyikan saat lebaran – menandai datangnya lebaran menjadi berirama drugdag.

Kedua, melakukan penyegaran terhadap pengisi khutbah Jumat. Sebelum ini, tak ada jadwal pasti siapa yang akan menjadi khotib saat Jumat. Yang menjadi khotib biasanya K Jafar, H Ali, H Kusen, K Tamimi, ataupun Tosin. Sedangkan untuk imam Sholat Jumat tak ada perubahan: K Jafar, Wa Salim, H Ali, dan sebagai cadangan H Kusen. Melalui penyegaran maka masuk generasi muda untuk menjadi khotib: Abdul Jalil, Noor Zein, Ahmad Fauzi, Udin, dan sesekali Badroozzaman Ismail. Seiring waktu, juga masuk Muslim, Munawar, dan Mahmud. Sejak saat itu pula, pengelolaan masjid menjadi lebih tertata rapi.

Ketiga, mengaktifkan musola untuk pengajaran kitab kuning. Jika sebelumnya aktivitas keagamaan musola hanya untuk belajar mengaji Alquran maupun sholat lima waktu, maka musola juga diaktifkan untuk pengajaran kitab-kitab kuning – sebelumnya hanya ada di Abdul Jalil dan Ahmad Fauzi. Pengajian di Ki Jalil dan Ahmad Fauzi memang tetap yang paling ramai. Di sini diajarkan berbagai kitab kuning seperti tata Bahasa Arab seperti Jurumiyah, Alfiah, dan lain-lain. Juga diajarkan kitab-kitab fikih dan hadis seperti Sullamun Najah, Targhib Wa Tarhib, Bulughul Marom, Durrotun Nasihin, Irsyadul ‘Ibad, Riyadhus Shalihin, dan lain-lain. Juga kitab tafsir, khususnya Tafsir Jalalain. Noor Zein sendiri lebih suka mengajarkan tentang tauhid. Sebelum ini, di saat Ashar, lazimnya ada pengajian untuk ibu-ibu, yang dikenal dengan istilah “Ngaji Kuping” yang diadakan di Musola Nyai Kur, Musola Kleben, dan sebagainya. Anak-anak remaja distimulasi agar jangan hanya mengaji Alquran tapi juga mengaji kitab kuning, umumnya setelag Sholat Isya.

Keempat, Brabathuly aktif mengadakan kegiatan peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, 1 Muharam, dan sebagainya. Khusus di hari ulang tahun Barbathuly diadakan kegiatan besar-besaran seperti khitanan massal, pertandingan olahraga, pentas seni, theatre, qasidah, karnaval, dan sebagainya. Kegiatan ini bukan hanya melibatkan masyarakat Perbutulan tapi juga melibatkan tim-tim olahraga dari desa-desa di kecamatan sekitar.

Kelima, menggiatkan olahraga. Mereka membangun lapangan sepakbola dan bola volley. Keenam, mengadakan kegiatan ceramah umum tiap bulan dengan mengundang penceramah dari berbagai kota, termasuk dari Jakarta. Ketujuh, membangun jejaring ke berbagai desa tetangga dan organasisasi keagamaan seperti Al Washliyah, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) juga menjadi bagiannya. Noor Zein bergabung dengan PII sejak 1977. Ketujuh, mempromosikan dai dari Perbutulan untuk bisa menjadi dai umum. Dalam hal ini adalah mempromosikan Abdul Jalil. Sebagai tahap uji coba pertama adalah memberi panggung untuk ceramah di Wanasaba Lor dalam suatu hajatan.

Untuk mendukung aktivitas pengajian kitab kuning di musola dan rumah Kiai Jalil, Noor Zein membuat tempat wudu yang lebih baik. Ia memanggul sendiri drum yang disiapkan untuk menjadi tempat wudu dari rumahnya ke rumah Abdul Jalil. Saat itu wujud masih menggunakan padasan dari gentong gerabah yang hanya memiliki satu lubang. Dengan drum besar bisa dibuat empat lubang. Ini karena jumlah santri yang mengaji di Abdul Jalil makin banyak.

 

Membangun Ulang Masjid

Saat itu nama masjid Perbutulan adalah Masjid Jami’ Perbutulan. Ukurannya sedang. Arsitekturnya homy. Ada tiga lapis ruang di masjid ini. Hal ini menjadi ciri masjid-masjid zaman dulu. Pola ini juga ditemui di Masjid Jami’ Sumber maupun Masjid At Taqwa Kota Cirebon – sebelum direhab total. Di lapis pertama, ada ruang utama. Ia dikelilingi tembok. Ada empat pintu untuk aksesnya. Di depan dua. Di samping kiri-kanan masing-masing satu pintu. Ruang utama ini terasa hening dan sakral. Lalu di lapis dua, ada ruang umum. Lapis kedua ini dikeliling tembok sebagai partisi, namun banyak lubang-lubang terbuka serta akses masuk tanpa pintu. Selanjutnyar uang teras di tiga sisi: depan, samping kanan, dan samping kiri. Teras ini dikelilingi partisi setinggi pinggang. Nah, di sisi kanan ada kolam, untuk mandi sekaligus menjadi penyegar dan penyejuk udara. Di sisi kiri ada tempat wudu dan jam matahari; penanda waktu dhuhur dan ashar.

Pada 1980 masjid direhab total. Hal ini sesuai kebutuhan. Ruang masjid sudah tak mampu menampung jamaah Sholat Jumat. Saat itu, sebagian jamaah harus sholat di halaman dan di teras rumah Noor Zein, yang terletak di sebelah masjid. Karena itu bangunan lama dirobohkan total. Areal kolam di sisi utara diurug, juga dimajukan ke timur. Arsitektur masjid digambar Badroozzaman, yang insinyur arsitek. Desainnya sangat mirip mengikuti desain Masjid Al Musyawirin, Plered. Maklum, Badroozzaman memang mesantren di Al Musyawirin.

Biaya pembangunan masjid ini sangat besar bagi masyarakat Perbutulan. Dananya dikumpulkan dari iuran. Semua bergotong royong. Tiap keluarga dipatok dengan sumbangan tertentu. Ada yang menyumbang beras, ada yang mengumbang uang, ada yang menyumbang tenaga. Batubata dibuat dengan gotong royong. Pekerjaan-pekerjaan besar dilakukan dengan gotong royong: seperti ngecor, membangun fondasi, dan seterusnya. Di hari libur selalu ada gotong royong. Tua-muda semua guyub.

Namun pembangunan masjid ini kurang mempertimbangkan aspek biaya. Biayanya terlalu besar. Sehingga berbilang tahun tak kunjung selesai. Di sisi lain pada 1982, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot tajam: hanya tumbuh 2,25 persen. Bandingkan dengan 1980 yang 9,88 persen atau 1981 yang masih 7,93 persen. Pada 1983 membaik dengan 4,19 persen. Pada 1984 naik lagi menjadi 6,98 persen. Namun pada 1985 merosot lagi menjadi 2,46 persen. Hingga saya SMA, saya masuk SMA 1983, Pembangunan masjid masih belum selesai. Saat itu, saya menyampaikan ke Kiai Jalil – saya mengaji kitab kuning pada dua kiai, pertama pada Kiai Ahmad Fauzi dan kedua pada Kiai Jalil – apa tidak sebaiknya membuat kotak sumbangan di pinggir jalan seperti yang saya lihat di Jalan Pantura Indramayu-Jakarta. Beliau menolak. Katanya harus mandiri. Namun seiring kondisi ekonomi yang menurun dan beban pembangunan masjid yang besar situasi ini demikian memberatkan masyarakat.

 

Fitnah Orde Baru

Di masa jaya Barbathuly, Perbutulan adalah barometer denyut kehidupan remaja dan masyarakat di kawasan sekitar: kekompakan, kesemarakan, keterampilan berorganisasi, dan pengaruh sosial. Gairah dan motivasi masyarakat untuk maju demikian besar. Kehidupan pemuda dan remaja berdenyut kencang, kegiatan olahraga ramai, aktivitas sosial menggeliat, dakwah keagamaan meningkat, dan sebagainya. Dai-dai kondang dari Cirebon sudah sering tampil di Perbutulan, seperti KH Fuad Hasyim dari Buntet, Ayip Muhammad dari Jagasatru, KH Fuad Amin dari Ciwaringin, KH Amin dari Ciwaringin, KH Saleh Assegaf dari Kota Cirebon, dan sebagainya. Dai dari Jakarta pun demikian: KH Syukron Makmun, KH Nur Muhammad Iskandar, dan KH Ridwan Ibrahim Lubis. Saat itu belum muncul KH Zainuddin MZ, apalagi Aa Gym, dan generasi berikutnya. Saat itu, ceramah-ceramah KH Syukron Makmun, KH Fuad Hasyim, dan KH Nur Muhammad Iskandar terkenal keras dan tajam. Mereka semua dari NU. Hanya KH Ridwan Ibrahim Lubis yang dari Al Washliyah.

Pada sisi lain, di masa itu, Orde Baru justru sedang dihinggapi Islamo Phobia. Sehingga kegiatan keagamaan Islam menjadi suatu ancaman. Dicap sebagai ekstrem kanan. Tiba-tiba ada dua orang lari dan singgah di rumah Noor Zein. Keduanya dari Kuningan, tepatnya dari daerah Cidahu. Satu di antaranya masih ada hubungan kerabat dari ibunya Noor Zein. Tapi saat itu Noor Zein sedang mengajar di SMP Al Washliyah. Rupanya momennya tidak tepat. Yang sedang dijadikan target tak ada di tempat. Maka dua orang itu pergi lagi. Namun operasi tetap berjalan. Pasukan tentara mengejarnya. Saya sendiri menyaksikan, Sersan Rajiman, babinsa di Desa Perbutulan, muncul menenteng M16 dari Gang Kemuneng. Satu dari dua orang itu berhasil ditangkap, satu lagi berhasil lolos. Anehnya, Noor Zein ikut ditangkap.

Tentu saja hal itu menggegerkan Desa Perbutulan yang biasa damai. Satu minggu kemudian Noor Zein dilepas kembali. Rupanya ini bagian dari terror belaka. Satu dari dua orang itu kemudian malah diangkat menjadi PNS. Namun teror bagi masyarakat Perbutulan belum berakhir. Pengejaran tentara terhadap dua orang yang lari ke rumah Noor Zein hanya babak pembuka. Mirip pertunjukan film action: dibuka dengan aksi dramatis, lalu dikuliti satu per satu. Operasi pertama adalah perpecahan di panitia pembangunan masjid. Orang yang secara ekonomi berkecukupan dan memiliki posisi di pemerintah meminjam uang pembangunan masjid. Sehingga kas pembangunan masjid menjadi tipis. Panitia ribut. Noor Zein dan Abdul Jalil pecah kongsi. Operasi kedua adalah menghancurkan Barbathuly hingga tewas selamanya. Noor Zein yang menjadi motornya sudah dijadikan target oleh pemerintah namun organisasi masih bisa berjalan. Maka motor kedua harus dimusnahkan. Apa itu? Mesin ketik! Ya, saat mengawali berdirinya Barbathuly, mereka memulai dengan mesin ketik pinjaman milik KUA. Namun seiring waktu, mereka mampu membeli mesin ketik sendiri. Mesin ketik itu kemudian hilang dibawa lari seseorang. Dengan demikian, organisasi kehilangan alat. Namun mesin ketik tersebut hanyalah simbol, karena yang sesungguhnya, nyawa organisasi sudah sekarat.

Semua operasi itu membuat masyarakat Perbutulan menjadi terpecah. Kadang terbawa dalam khutbah Jumat, walau tersamar. Karena itu, setiap Sholat Jumat, suasana menjadi tegang. Semua orang buru-buru pulang. Sholat Jumat yang seharusnya menjadi ajang silaturahim dan menyenangkan menjadi tegang dan hambar. Tak ada lagi keceriaan dan keramahan. Semua itu berlangsung berbilang tahun, bahkan dampaknya masih terasa hingga kini.

Namun geliat remaja sebagian masih bisa tersalurkan, yaitu lewat Ikatan Pelajar Al Washliyah. Namun tentu tak bisa sesemarak Barbathuly. Kegiatannya pun terbatas saat Milad Al Washliyah. Nah, saat milad tersebut, saya menjadi sekretaris panitia dan Sartono sebagai ketua serta Noor Zein menjadi pembinanya. Kegiatan ini tetap tak disukai tentara. Kantor Kodim 0620 yang berada di Perbutulan menjadi saksi. Sartono dan Noor Zein dipanggil ke Kodim. Saya sendiri tak ikut dipanggil. Keduanya tegang. Namun tak ada sesuatu yang berarti. Kegiatan tetap dibolehkan.

 

Akhir yang Damai

Noor Zein menarik diri dari semua kegiatan. Ia semacam mati sosial. Ia dilarang menjadi guru di SMP Al Washliyah sejak 1984. Ia kemudian menjadi guru SMA Muhammadiyah Cirebon, Akademi Farmasi Muhammadiyah, dan Akademi Kebidanan Muhammadiyah. Akhirnya, ia juga menjadi pengurus Muhammadiyah Kabupaten Cirebon. Selain itu, di masa Pangeran Arief Natadiningrat menjadi Sultan Kasepuhan Cirebon ia menjadi penasihat di bidang agama. Ia memang masih ada darah keraton.

Di masa tuanya, Noor Zein mengabdikan dirinya dengan mendirikan pesantren, mengikuti jejak kakeknya, KH Kamali, yang pernah mendirikan pesantren. Namanya pun sangat Indonesai, yaitu Pesantren Kampung Damai. Tidak menggunakan Bahasa Arab. Trauma fitnah Orde Baru masih membekas. Pesantren didirikan pada 1986. Namun setelah peresmian, ia ditangkap tentara lagi. Empat malam menginap di Kodim lagi. Bangunannya dibongkar. Setelah reformasi, pesantren berdiri lagi. Acara dihadiri bupati.

Abdul Jalil pun menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan. Ia hanya menjadi imam masjid dan mendirikan sekolah/pesantren Al Ikhlas di samping rumahnya. Semua berjalan lancar dan relatif berhasil. Pesantren milik Noor Zein dan milik Abdul Jalil adalah pesantren kecil. Saya pun tetap bisa dekat dengan keduanya.

Saat saya kelas 2 SMA, sekitar tahun 1984 atau 1985, saya dan Sofyanto berusaha mencari upaya mendamaikan Noor Zein dan Abdul Jalil. Saya mengaji di Abdul Jalil, namun saya belajar organisasi ke Noor Zein. Jadi saya bisa berkomunikasi dengan keduanya. Demikian pula Sofyan. Maka kami bersepakat untuk membuat surat yang isinya sama dan dikirim kepada keduanya. Surat itu hanya ditulis atas nama Muslim, ya kami sama-sama seorang muslim. Isinya dalil-dalil Alquran dan Hadis tentang menghentikan permusuhan dan perselisihan serta ajakan untuk saling memaafkan. Namun rupanya itu gagal. Namanya juga remaja SMA, tentu belum terpikir bagaimana yang terbaik. Kami kemudian mendengar bahwa Noor Zein marah dan mendatangi Abdul Jalil. Noor Zein mengira bahwa surat itu dari Abdul Jalil. Suatu saat, sepulang sekolah, seperti biasa, saya kadang datang ke rumah Noor Zein. Saat itulah ia mengkonfirmasi tentang surat itu. Saya pura-pura tidak mendengar karena kebetulan sedang mencari buku di lemari. Tapi Noor Zein tak menanyakan lagi. Mungkin dia sudah mengerti. Noor Zein dan Abdul Jalil hampir-hampir sudah tak berkomunikasi lagi. Namun saya selalu mengundang keduanya untuk hadir saat haul kedua orangtua saya. Usai tahlil, saya mengajak keduanya duduk bersama. Noor Zein mengambilkan air untuk Abdul Jalil. Noor Zein dengan ekspresi lembut dan merendahkan badannya, Abdul Jalil menerimanya sambil tertunduk, lalu meminumnya. Adegan itu sungguh mengharukan dan melegakan.

Sekarang keduanya telah pergi. Abdul Jalil wafat pada Selasa, 25 Juni 2024, sedangkan Noor Zein wafat pada Ahad, 30 Maret 2025 (tepat malam takbiran Idul Fitri lalu).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement