Selasa 20 May 2025 13:37 WIB

Influencer dan Kesenjangan Media Arus Utama

Kedekatan antara influencer dengan pengikutnya menumpulkan taring media arus utama.

Seseorang menunjukan aplikasi TikTok di Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Seseorang menunjukan aplikasi TikTok di Jakarta, Rabu (4/10/2023).

Oleh: Ayyubi Kholid Saifullah, Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era platform media digital telah membawa dinamika baru dalam ekosistem media massa. Melimpahnya informasi dan kemudahan masyarakat dalam mengakses berbagai sumber dari beragam platform menuntut media arus utama bergerak cepat dan adaptif dalam merespons kemewahan akses tersebut.

Di tengah tuntutan agar media massa mampu memaksimalkan media sosial sebagai saluran penyebaran informasi, hadir satu sosok yang mulai mengguncang eksistensinya—dan tak bisa lagi dianggap sepele: influencer.

Mereka bukan hanya pelengkap dari perkembangan yang ada, lebih jauh mereka telah menggeser fungsi media arus utama itu sendiri. Bahkan menjadi entitas bisnis baru di media sosial.

Influencer hadir di berbagai platform dengan istilahnya masing-masing, misalnya YouTuber yang aktif di kanal Youtube, selebgram yang eksis di Instagram, hingga selebtok yang merajai TikTok.

Masing-masing dari mereka tampil dengan membawa keunikannya, membangun basis pengikut yang setia hingga menciptakan gaya komunikasi baru dalam menyalurkan informasi publik lewat pendekatannya yang personal dan terfragmentasi.

Setiap hari, layar ponsel kita dibanjiri konten-konten mereka. Mulai dari yang bersifat edukasi, hiburan, hingga konten promosi produk yang diselipkan dalam kisah sehari-hari. Pola baru yang terbangun dalam media sosial, dewasa ini mengaburkan batas antara informasi dan iklan.

Di lain sisi, fenomena ini juga menunjukan kesadaran digital masyarakat yang sudah mengalami perubahan. Tepatnya, dahulu mayoritas publik hanyalah sebagai konsumen pasif, karena keterbatasan akses dan teknologi yang hanya bisa dikuasai oleh perusahaan media.

Kini siapa saja bisa mendapat peluang menjadi produsen konten dengan ponsel genggam dan koneksi internetnya, siapa saja bisa membagikan rekaman videonya, menerbitkan oponinya sendiri, hingga melakukan siaran langsung secara real time.

Ketika peluang itu bisa dimanfaatkan dan konten yang diproduksi menjadi viral, secara kultural mereka akan dikenal sebagai influencer.

Perhatian pengikut yang telah dikumpulkan lewat konten personal dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi melalui afiliasi, menjual produk pribadi, hingga endorsement. Dengan kata lain influncer telah menjadikan media sosial sebagai mesin pendapatan mandiri

Kehadiran influencer telah merajai algoritma media sosial yang perlahan menggeser pusat produksi narasi dari newsroom ke ruang-ruang privat. Menggeser peran yang dulu sepenuhnya hanya dipegang oleh media massa.

Dalam lanskap digital, influencer bukan hanya sebagai eksositem baru yang terbentuk akibat pesatnya perkembangan media baru.

Lebih jauh, jika kita melihat mereka dengan mengadaptasi pemikiran Dallas W Smythe, kehadiran influencer adalah simbol kesadaran bahwa selama ini mereka telah menjadi pekerja yang tak dibayar oleh perusahaan media.

Dallas mengumukakan konsep "audience labour" atau "tenaga kerja audiens" sebagai sudut pandang bahwa bisnis media tidak benar-benar menjual konten, tapi juga menjual penikmat konten pada pengiklan.

Waktu yang dihabiskan oleh para penonton, pendengar, atau pembaca adalah waktu kerja yang tak dibayar, waktu yang menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan.

Media massa arus utama memperlakukan audiens sebagai entitas pasif. Karena pada dasarnya, media massa membutuhkan iklan untuk biaya operasionalnya.

Khalayak yang menonton televisi, mendengar radio, membaca koran atau portal berita menurut Dallas sedang melakukan aktivitas pasif sebagai pekerja: mencurahkan waktu, dan perhatiannya untuk dijual kepada pengiklan. Khalayak bukan konsumen utama, kita adalah barang dagangan.

Atas dasar itu, kemunculan influencer dapat dikatakan sebagai bukti bahwa sebagian orang mulai memahami situasi ini, lalu memberontak. Mereka mengambil alih peran produsen konten dan membalik arah relasi: dari “penonton pasif” menjadi “pemain aktif.”

Mereka sadar waktu di depan layar adalah aset ekonomi, bahwa perhatian publik adalah komoditas yang bisa dikapitalisasi. Maka, mereka mengemas kehidupan sehari-hari menjadi tontonan dan menjualnya kembali—dengan nilai tukar yang kini bisa mereka nikmati secara langsung.

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari transformasi teknologi. Smartphone, media sosial, dan algoritma telah menjadikan produksi konten jauh lebih terjangkau dan terdistribusi secara luas.

Siapa pun kini bisa menjadi “media,” menciptakan narasi alternatif di luar kontrol keredaksian. Influencer memanfaatkan ini, bukan hanya untuk popularitas, tetapi untuk menegosiasikan kembali posisi mereka di dalam ekonomi digital.

Tentu tidak semua influencer punya kesadaran teoritis akan hal ini. Tapi dalam praktiknya, mereka telah membuktikan bahwa menjadi “penonton yang sadar” membuka peluang untuk menjadi aktor ekonomi baru.

Mereka menjadikan algoritma sebagai medan bermain, dan audiens sebagai mitra interaktif yang bisa dikonversi menjadi penghasilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement