Kamis 08 May 2025 18:52 WIB

Masa Depan LSM di Indonesia: Punah atau Tetap Relevan?

LSM di Indonesia terancam dengan advokasi berbasis tehnologi dan hilangnya funding.

Jaringan LSM di seluruh dunia/ilustrasi
Foto: ist
Jaringan LSM di seluruh dunia/ilustrasi

Oleh : Barid Hardiyanto*

REPUBLIKA.CO.ID, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia menghadapi tantangan eksistensial. Pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Amalinda Savirani berjudul: “Antara Civic Making dan Profit Making: Mencari Pembiayaan Alternatif Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia di Era Neoliberal" (27/2/2025) dan opini Barid Hardiyanto berjudul: “Disrupsi LSM” (Tempo, 17/1/2020) sama-sama menyoroti krisis yang melanda kalangan LSM. 

Dalam pidato guru besarnya Amalinda menyitir pendapat Antlov, dkk (2010 dan Davies (2013) yang menyatakan LSM di Indonesia menyandarkan dirinya pada sumber pendanaan funding tradisional yang besarnya sampai dengan 85% bergantung pada funding. Ketergantungan tersebut tentu sangat berdampak jika funding tersebut pergi dari Indonesia dan hal tersebut terbukti dengan menurunya secara drastis jumlah LSM dari 200 ribuan di era 1998 dan sekarang tinggal 8000an LSM. Bahkan bisa saja belakang ini semakin berkurang dengan “ditutupnya” USAID oleh Trump. 

Eksistensi LSM juga terganggu dengan munculnya model advokasi baru berbasis teknologi. Seperti yang dicatat Barid Hardiyanto, masyarakat kini lebih memercayai platform digital dan influencer aktivis daripada LSM konvensional. Kampanye sosial berbasis teknologi seperti KawalPemilu dan Change.org Indonesia membuktikan bahwa advokasi tidak lagi harus melalui organisasi formal yang birokratis.

Startup sosial dan platform digital mampu beradaptasi lebih cepat dibandingkan LSM yang masih terjebak dalam pola kerja konvensional. Advokasi berbasis big data, artificial intelligence (AI), dan crowdsourcing telah menggantikan metode tradisional yang mengandalkan konferensi pers dan lobi kebijakan.

LSM yang ingin bertahan harus mengadopsi pola pikir startup, dengan model kerja yang lebih fleksibel, cepat, dan berbasis data. Kampanye sosial yang memanfaatkan media sosial, gamifikasi, dan micro-donations akan lebih efektif dalam menarik partisipasi publik.

Melihat hal itu, apakah LSM mampu bertahan dengan cara lama, atau justru harus bertransformasi agar dapat bertahan dan menjalankan gerakannya? 

Transformasi: Kunci Keberlanjutan LSM di Indonesia

Agar tetap relevan dengan situasi zaman yang berubah maka LSM perlu segera melakukan transformasi struktural dan digitalisasi. Beberapa strategi yang bisa diterapkan antara lain: pertama, Diversifikasi Sumber Pendanaan. Dalam konteks ini instrumen yang bisa digunakan seperi: Mendirikan usaha sosial (social enterprise) yang berkontribusi pada keberlanjutan finansial, contoh paling nyata dari model ini adalah mereplikasi cara Muhammadiyah dalam mengembangkan amal usahanya yang mempunyai aset ratusan trilyun.

Selanjutnya dapat melakukan pengembangan  crowdfunding berbasis komunitas. Model semacam ini dapat mereplikasi model yang diterapkan Greenpeace dalam melakukan Fundraising. Hal lain yang juga bisa dilakukan adalah dengan membangun kemitraan strategis dengan filantropi korporasi dan CSR yang berdampak sosial nyata. Hal demikian sebetulnya mulai marak dilakukan perusahaan dengan membuat “Yayasan” yang dana awalnya bersumber dari perusahaan tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Yayasan Belantara yang dukungan awal pendanaannya berasal dari Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas.

Kedua, Adopsi Teknologi untuk Advokasi. Untuk mengimplementasikan strategi ini dapat dilakukan dengan berbagai instrumen seperti: Membangun platform digital sendiri untuk advokasi, seperti yang dilakukan oleh KawalPemilu. Memanfaatkan AI dan big data untuk mengidentifikasi pola pelanggaran HAM dan korupsi dan nenggunakan blockchain untuk transparansi keuangan, agar publik lebih percaya terhadap LSM.

Ketiga, Reformasi Tata Kelola dan Model Organisasi. Dalam mengimplementasikan strategi ini, LSM dapat beralih dari model birokratis ke model jejaring dan ekosistem kolaboratif antar-LSM. Selain itu, bisa juga mengembangkan koperasi berbasis anggota, seperti Credit Union Pancur Kasih, agar LSM memiliki sumber pendanaan mandiri.

Akhirnya, di era dengan ragam disrupsi seperti sekarang ini, LSM tidak bisa lagi mengandalkan cara lama. Krisis pendanaan dan perubahan sosial menuntut LSM untuk bertransformasi menjadi lebih mandiri, inovatif, dan berbasis teknologi. Jika tidak, LSM akan kehilangan relevansi dan akhirnya punah.

LSM adalah bagian dari pilar demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, LSM harus menjadi agen perubahan yang tidak hanya mengadvokasi reformasi, tetapi juga mampu beradaptasi dengan realitas baru. LSM harus memilih: bertransformasi, atau tergilas oleh perubahan. 

*Penulis adalah aktivis di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) dan menjadi Dosen di UIN Prof. Saifuddin Zuhri Purwokerto serta CEO Arta Media Nusantara. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement