
Oleh : Devie Rahmawati, Peneliti Komunikasi Digital dan Praktisi Pendidikan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap April, kita memperingati Hari Kartini, dengan semangat emansipasi perempuan. Namun, di era digital, perjuangan Kartini mengalami dimensi baru yang lebih kompleks. Bukan lagi sekadar tentang kesetaraan akses pendidikan, melainkan tentang menjadi garda terdepan melindungi anak-anak dari bahaya dunia maya—sebuah medan pertempuran yang tak kasat mata tetapi dampaknya nyata.
Ruang Digital : Ancaman Jiwa yang Tak Terlihat
Sebagai peneliti digital sekaligus ibu yang pernah "berperang" melawan kecanduan game online anak, saya menyaksikan langsung bagaimana tantangan pengasuhan di abad ke-21 jauh lebih berat daripada yang dihadapi Kartini di masanya. Data global semakin mengonfirmasi kekhawatiran ini. Jika dulu Kartini menuangkan pemikiran melalui surat-surat, anak-anak kita kini mengekspresikan diri di media sosial—sebuah ruang yang menyimpan bahaya laten, yang terstruktur, sistematis dan masif.
Di antara bahaya itu, utamanya adalah krisis kesehatan mental. Studi Cleveland Clinic (2023) membuktikan remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di media sosial berisiko tinggi mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan body image. Kedua, praktik eksploitasi dan rekrutmen kriminal. Laporan Euronews (2024) mengungkap bagaimana geng online di Swedia memanfaatkan media sosial untuk merekrut anak-anak muda melakukan tindakan berpotensi melanggar hukum.
Ketiga, kecanduan digital. Penelitian di Korea Selatan (ResearchGate, 2018) menunjukkan kebijakan pembatasan game online justru mengurangi gejala adiksi internet dan meningkatkan waktu tidur remaja. Di Indonesia, ancaman ini diperparah dengan fakta terjadinya 40 persen peningkatan perundungan siber pasca pandemi (KPAI 2023); 500.000 kasus eksploitasi seksual online pada anak (UNICEF); dan 23 persen remaja menunjukkan gejala adiksi internet (Riskesdas 2022).
Pendidikan sebagai Senjata: Literasi Digital Keluarga.
Kartini meyakini pendidikan sebagai jalan pembebasan. Di era digital, prinsip ini harus diterjemahkan menjadi tindakan konkret dengan mantra “Berpikir kritis bukan sekedar jago kritik. Selain itu, mengajarkan anak memverifikasi informasi sebelum membagikan (OECD, 2014). Kemudian melakukan detoksifikasi digital, yakni menciptakan "zona bebas gadget" di rumah, seperti kebijakan "back to basics" sekolah di Swedia maupun PP Tunas di negeri ini. Selanjutnya membangun empati digital, menegaskan bahwa setiap komentar di layar mampu memberikan dampak pada nyawa manusia.
Ibu sebagai Agen Perubahan: Ketegasan dan Kolaborasi
Pengalaman saya menyelamatkan anak dari jeratan game online membuktikan bahwa kita perlu melakukan pendekatan berlapis dengan jalan menempuh ketegasan dengan batasan waktu screen time lebih efektif daripada larangan total (ScienceDirect, 2022). Kemudian menjadi contoh pertama alias leading by example. Mengurangi juga screen time orang tua adalah pembelajaran paling kuat. Berikutnya ialah melakukan sinergi dengan sekolah, yang mana pemantauan aktivitas digital anak harus menjadi gerakan kolektif.
Semangat Kartini Abad 21: Melawan Arus dengan Cerdas
Di tengah derasnya arus digital, kita perlu untuk berani berbeda. Ketika lingkungan membiarkan anak bermain game berjam-jam, tegaskan pola asuh berbasis bukti. Kemudian menjadi sahabat digital anak dengan jalan selalu diskusikan tren medsos atau game populer tanpa penghakiman. Yang terakhir memahami perlunya lifelong learning, yaitu terus pembaruan pengetahuan teknologi untuk memahami dunia mereka.
Emansipasi di Era Algoritma
Emansipasi digital bukan lagi tentang kesetaraan gender, melainkan tentang memberdayakan ibu sebagai pertahanan pertama keluarga di dunia maya. Seperti Kartini yang membuka pintu pendidikan, kini saatnya kita membuka mata terhadap literasi digital—senjata utama menyelamatkan generasi penerus bangsa. Selamat Hari Kartini untuk para pejuang keluarga digital. Perjuangan kita hari ini akan menentukan masa depan anak-anak di dunia yang semakin terhubung, tetapi semakin rentan. Kita semua, khususnya para ibu, harus menjadi garda terdepan untuk meretas pikiran dan perasaan anak-anak kita dari racun-racun digital.