Jumat 04 Jul 2025 12:13 WIB

Mengakhiri Monopoli Haji

Pada akhir 2024, antrian haji reguler telah mencapai 5,4 juta orang.

Umat Muslim berjalan menuju Arafah untuk melakukan wukuf saat pelaksanaan puncak ibadah haji di Makkah, Arab Saudi, Sabtu (15/6/2024). Jutaan umat muslim berkumpul di Padang Arafaf untuk melaksanakan prosesi wukuf.
Foto: AP Photo/Rafiq Maqbool
Umat Muslim berjalan menuju Arafah untuk melakukan wukuf saat pelaksanaan puncak ibadah haji di Makkah, Arab Saudi, Sabtu (15/6/2024). Jutaan umat muslim berkumpul di Padang Arafaf untuk melaksanakan prosesi wukuf.

Oleh : Yusuf Wibisono – Direktur Next Policy

REPUBLIKA.CO.ID, Di musim haji 2025 kita kembali diperlihatkan buruknya pelayanan kepada jemaah haji yang terus berulang dari waktu ke waktu. Berbagai kasus serupa terus menerpa penyelenggaraan haji Indonesia dari tahun ke tahun, mulai dari kasus jemaah haji yang gagal berangkat, akomodasi dan pelayanan medis yang tidak memadai, hingga jemaah haji yang kelaparan dan petugas haji yang tidak kompeten.

Rendahnya kinerja haji Indonesia berakar dari kelemahan dalam tata kelola haji nasional yang telah berlangsung lama. UU haji pertama pasca reformasi, UU No. 17/1999, mengukuhkan kewenangan Kementrian Agama (Kemenag) sebagai pemegang monopoli penyelenggara haji dengan menjalankan tiga peran sekaligus; sebagai regulator, operator dan pengawas. Hal ini menimbulkan conflict of interest dan secara jelas bertentangan dengan prinsip good governance. Meski pengelolaan keuangan haji mengalami perbaikan dengan pendirian BP (Badan Pengelola) DAU (Dana Abadi Umat), namun secara umum penyelenggaraan haji yang tidak transparan dan inefisien terus berlanjut.

Baca Juga

UU No. 13 / 2008 yang menggantikan UU No. 17 / 1999, telah bergerak ke arah pemisahan fungsi antara regulator (Menteri Agama), operator (Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah/PHU Kemenag) dan pengawas (Komisi Pengawas Haji Indonesia/KPHI). Sayangnya, pemisahan fungsi ini tidak tegas dimana peran Kemenag masih sangat dominan di tiga fungsi ini.

Salah satu milestone terpenting dalam penyelenggaraan haji Indonesia adalah pendirian BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) berdasarkan UU No. 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. UU No. 34/2014 memperkenalkan BPKH yang berdiri pada 2017, untuk meningkatkan nilai manfaat dana haji melalui investasi yang aman dan sesuai syariah. Berdirinya BPKH selain melikuidasi BP DAU, juga berimplikasi pada pemisahan fungsi operator haji reguler antara operator teknis penyelenggara haji, yaitu Kemenag, dan operator pengelola keuangan dana haji, yaitu BPKH.

Merespon antrian haji reguler yang semakin panjang, UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah memperkenalkan kuota maksimal untuk haji khusus sebesar 8 persen dari kuota nasional. UU No. 8/2019 juga berupaya meningkatkan kualitas pengawasan haji dengan membubarkan KPHI dan mengalihkan fungsi pengawasan haji ke inspektorat (internal) dan DPR-BPK (eksternal).

Terkini, pasca naiknya Presiden Prabowo ke tampuk kekuasaan pada Oktober 2024, terjadi perubahan besar dalam arsitektur haji Indonesia. Melalui Perpres No. 154/2024 tentang Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), Presiden Prabowo memperkenalkan BP Haji sebagai operator dan sekaligus regulator haji reguler menggantikan Kemenag. Implikasi dari reformasi besar ini diperkirakan tidak signifikan karena tidak ada perbaikan dalam tata kelola hanya, hanya sekedar berpindahnya monopoli penyelenggaraan haji dari Kemenag ke BP Haji. Isu transparansi dan efisiensi penyelenggaraan haji diperkirakan masih akan menjadi masalah utama haji nasional ke depan.

Dalam jangka pendek, kita membutuhkan revisi UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, untuk mengakomodasi Perpres No. 154/2024 yang mengamanatkan BP Haji menggantikan Kemenag sebagai pengelola penyelenggara haji terhitung musim haji tahun 2026. Agar BP Haji dapat segera bekerja optimal, BP Haji membutuhkan payung hukum yang kuat. Namun agar kemanfaatan reformasi menjadi optimal, maka amandemen UU No. 8/2019 harus juga memperbaiki Perpres No. 154/2024 yang masih mempertahankan fungsi ganda dari regulator dan operator haji yang kini disandang BP Haji.

Pendirian BP Haji sebagai operator haji menggantikan Kemenag adalah langkah yang tepat, karena kemenag yang berada di ranah publik seharusnya hanya boleh mengelola dana negara untuk tujuan pelayanan publik sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara tujuan pelayanan publik dan tujuan mengejar laba. Pendirian BP Haji sebagai operator haji juga menjadi sebuah terobosan karena akan menciptakan wadah permanen bagi petugas haji yang profesional. Ke depan, tidak boleh ada lagi petugas haji temporer yang tidak kompeten dan lebih banyak memanfaatkan posisi-nya untuk ikut menjalankan ibadah haji secara gratis.

Namun hanya memindahkan monopoli haji dari Kemenag ke BP Haji tidak akan menciptakan tata kelola haji yang lebih sehat. Proposal yang lebih menjanjikan bagi perbaikan haji nasional adalah menghapus fungsi ganda dari regulator dan operator haji. BP Haji seharusnya berkonsentrasi hanya sebagai operator haji reguler dan menyerahkan fungsi regulator dan pengawas kepada Kemenag dan DPR. Fungsi pengawasan juga krusial mengakomodasi stakeholders utama haji, yaitu jemaah haji dan masyarakat muslim, dan aspek kepatuhan syariah mendapat pengawasan dari MUI atau ormas Islam.

Jika BP Haji menjalankan fungsi regulator, pengawas dan operator haji sekaligus, maka perhatian BP Haji dipastikan akan lebih banyak tercurah pada fungsi operator sebagai penyelenggara haji yang merupakan lahan bisnis menggiurkan dengan perputaran dana mencapai puluhan triliun Rupiah setiap tahun-nya. Sedangkan fungsi regulator dan pengawasan dari haji dipastikan akan terabaikan. Dengan posisi monopoli yang akan menempatkan BP Haji sebagai “biro perjalanan haji terbesar di dunia” sekaligus sebagai regulator dan pengawas, maka penyelenggaraan haji akan menjadi sangat rawan terhadap korupsi dan perburuan rente ekonomi.

Kemenag sebagai regulator haji selain akan membuat tata Kelola haji lebih baik, juga mendapatkan dukungan sejarah dan fakta bahwa haji lebih banyak merupakan hubungan antar pemerintah (government to government). Salah satu tugas paling krusial dari pemerintah sebagai otoritas haji adalah diplomasi untuk kuota haji. Jumlah antrian haji reguler Indonesia kini sudah semakin panjang dan mengkhawatirkan karena berpotensi menghalangi hak masyarakat muslim untuk menunaikan ibadah haji. Antrian haji reguler yang telah terjadi sejak 2005, terus bertambah panjang. Pada akhir 2024, antrian haji reguler telah mencapai 5,4 juta orang.

Reformasi haji yang juga krusial adalah pemberian dan perluasan kewenangan BPKH untuk terlibat dan ikut serta dalam penentuan besaran BPIH. Selama ini penentuan besaran BPIH menjadi ranah pemerintah (Kemenag) dan DPR (Komisi VIII), yang seringkali memiliki motivasi elektoral dan bahkan juga motivasi perburuan rente ekonomi. Ancaman skema ponzi dana haji terutama datang dari kenaikan biaya haji (BPIH) yang sangat signifikan, sehingga menggerus nilai manfaat dana haji yang sebenarnya merupakan hak jemaah di masa depan.

Kinerja pengelolaan dana haji secara produktif oleh BPKH menjadi tidak berarti ketika BPKH hanya menjadi “kasir” dalam penyelenggaraan haji. Mengendalikan kenaikan besaran BPIH dan bahkan upaya menurunkan BPIH juga seharusnya datang dari pelibatan stakeholders haji lainnya, terutama representasi dari jamaah haji dan penyelenggara haji swasta. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement