Kamis 17 Apr 2025 08:53 WIB

Palestina, Antara Paradoks Utopia Zionisme dan Kegagalan Kolektif Umat

Dunia Islam belum memiliki kekuatan geopolitik untuk menantang dominasi zionis.

Pengunjuk rasa mengikuti aksi bela Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Pengunjuk rasa mengikuti aksi bela Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Jumat (21/3/2025).

Oleh : M Waliyulloh, Kordinator Penerbitan Aqsa Working Group

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 1896, Theodore Hertzl, yang dikenal sebagai pelopor zionisme menyerukan pendirian sebuah negara Yahudi sebagai solusi permanen terhadap persoalan antisemitisme. Insiden Dreyfus di Perancis menjadi katalis kuat yang membentuk visi zionis mempercepat upaya memiliki tanah air bagi bangsa Yahudi. Dalam versi mereka ide itu adalah cita-cita dan mimpi membangun tanah yang aman, damai, demokratis, beradab, dan modern. Sebuah utopia etnis-religius yang menjanjikan perlindungan, kemakmuran, dan identitas kolektif. 

Paradoks Utopis

Baca Juga

Cita-cita zionisme secara faktual adalah bukan perdamaian, melainkan benteng impunitas yang dibangun dari puing-puing rumah orang-orang Palestina, merampas tanah dan menghapus identitas bangsa lain. Karena, demi menciptakan surga bagi kelompoknya, mereka menciptakan neraka bagi kelompok lain. Dulu mereka merasakan ketidakadilan dan dikucilkan, kini zionis berubah menjadi gerakan politik yang menebar angkara murka dan dendam. Itulah yang disebut dengan jantung dari paradoks utopis. Sebuah idealitas yang katanya demokratis, beradab, dan modern, tapi dalam realitas sejarah yang kita ketahui mereka berdiri di atas kehancuran, pemisahan tembok, segregasi, pengusiran, apartheid dan genosida.

Utopia yang diwujudkan dengan membunuh, menjajah, merampas, dan mengangkangi hak orang lain bukanlah utopia. Ini adalah distopia yang disamarkan melalui propaganda. Kecongkakan ini tampak jelas ketika meneriakkan jargon perdamaian di muka tetapi menciptakan perang dan perselisihan. Sementara itu, rakyat Palestina mencita-citakan kemerdekaan. Cita-cita yang telah lama menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan dan ketidakadilan. Namun, dalam kenyataan politik dan sosial hari ini, harapan itu semakin pudar dan berubah menjadi utopia, sebuah gambaran ideal yang terus diharapkan, tetapi semakin jauh dari jangkauan. 

Penjajahan zionis bukan hanya berwujud kekerasan militer dan pendudukan wilayah, tetapi juga dominasi narasi, kontrol diplomasi, dan infiltrasi ke dalam sistem kekuasaan global. Semua jalur menuju kemerdekaan secara sistematis ditutup, resolusi internasional diabaikan, dukungan negara-negara besar bersifat hipokrit, dan lembaga-lembaga dunia memasang standar ganda.

Lebih tragis lagi, kondisi internal Palestina juga bermasalah yang tidak hanya dihambat oleh kekuatan luar, tetapi perpecahan dan pertikaian internal menjadi fragmentasi dan friksi. Perbedaan pandangan politik antara faksi-faksi, minimnya kepemimpinan tunggal yang visioner, serta kondisi sosial-ekonomi buruk telah menempatkan rakyat Palestina dalam posisi yang sulit. Narasi kemerdekaan yang terus diulang berproses tanpa refleksi dan evaluasi strategi hanya berpotensi menjadi romantisme kosong.

Menyebut kemerdekaan Palestina sebagai utopia bukan berarti melemahkan legitimasi perjuangan itu, justru sebaliknya, ini adalah kritik terhadap kegagalan kolektif, terutama dari umat Islam secara global. Dunia Islam, yang secara historis dan emosional memiliki keterikatan kuat dengan Palestina, belum mampu membentuk kekuatan geopolitik untuk menantang dominasi zionis dan sekutunya. Persatuan yang kerap didengungkan tidak lebih dari retorika yang tidak terwujud dalam kebijakan nyata. Di sinilah utopia memainkan perannya sebagai cermin: bukan untuk ditertawakan atau dilupakan, melainkan untuk menggugah kesadaran akan betapa jauhnya umat ini memperjuangkan nilai keadilan, keberanian, dan persatuan sebagai pijakan perjuangan. Kemerdekaan Palestina adalah utopia bukan karena ia mustahil, tetapi karena dunia tidak memberi tempat di atas meja diplomasi global.

photo
Demonstran memegang bendera Palestina saat protes mengutuk operasi militer Israel di Jalur Gaza, di corniche Beirut, Lebanon, Senin, 7 April 2025. - (AP Photo/Bilal Hussein)

Saat ini kita sedang menyaksikan genosida sebuah pemusnahan sistematis terhadap satu bangsa. Setiap motion peristiwa berdarah tertangkap dan terekam kamera. Tidak lagi di tengah gelap lampu tapi real time terjadi di bawah terang dunia yang mengaku beradab. Gaza dihancurkan. Anak-anak dibunuh. Rumah sakit dibom. Tapi para penguasa dunia bisu, tuli dan lumpuh. HAM tidak berlaku untuk bangsa Palestina dan rakyat Gaza. 

Kegagalan Kolektif

Melihat kondisi Palestina khususnya Gaza rasanya terlalu memilukan. Harapan dan asa seperti permainan, terkadang tumbuh dan terkadang layu. Ketika melihat keteguhan dan kesabaran mereka menghadapi ujian yang sangat berat, kita mengiringi tangis dan darah mereka dengan amarah dan semangat melawan. Harapan tumbuh, tetapi ketika melihat minimnya kepedulian negeri-negeri Islam. Para penguasa itu terbelenggu oleh kepentingan, taipan-taipan muslim tersedak harta untuk kesenangan sendiri. Panggung politik negara mayoritas muslim seharusnya mampu berbuat tetapi terlilit oleh birokrasi dan konspirasi remang, institusi negara tidak memberikan ruang untuk menjadi penengah. Seolah-olah orang Palestina adalah alien dari planet lain yang tidak perlu dibela. Padahal, ikatan sakral ikhwah secara syariat telah termaktub dalam Al Quran sebagai kewajiban dengan sesama.

Dalam konteks situasi terkini, eksistensi institusi politik negara-negara Islam khususnya telah menggambarkan sebuah kegagalan dalam pembelaan Al Aqsa dan Palestina. Terhalang oleh batas-batas teritorial, birokrasi, lobi, kepentingan nasional dan pragmatisme serta dinamika geopolitik yang kompleks. Virusnya semacam ini secara diam diam telah dihembuskan oleh Zionis melalui hegemoni mereka di dunia sejak dulu. inilah yang disebut fenomena fragmentasi solidaritas dunia Muslim.

Setidaknya, terdapat beberapa aspek yang menyebabkan fragmentasi ini terjadi. Pertama, adanya perbedaan kepentingan nasional. Banyak negara muslim justru membuka hubungan diplomatik dan kerjasama dengan zionis. Sebagian lain sudah melakukannya sejak lama, bahkan belakangan empat negara muslim menerima Abraham Accord yang diusulkan Amerika Serikat untuk melakukan normalisasi hubungan dengan zionis. Kedua, pengaruh hegemoni global, di mana negara negara muslim berada di bawah bayang bayang Amerika yang mempengaruhi posisi politik dan kebijakan luar negeri terhadap penjajahan zionis di Palestina. Ketiga, perbedaan ideologi dan aliran keagamaan antar negara muslim, misalnya sunni-syiah dan aliran aliran lainnya. Hal ini menciptakan ketegangan dan persaingan.

Fakta-fakta tersebut bukan teori atau pengamatan tanpa dasar. Beberapa ahli menelaah realitas ini dengan pendekatan hubungan internasional, geopolitik dan sosiologi politik. Pendapat mereka patut dicermati sebagai realitas fragmentasi dunia Islam terhadap kondisi Palestina. Oliver Roy, pakar politik Islam asal Perancis dalam bukunya Globalized Islam: The Search of New Ummah (2004) menyatakan bahwa umat Islam saat ini tidak lagi bertindak sebagai suatu komunitas global, melainkan lebih tunduk pada identitas kebangsaan dan kepentingan negara masing masing, inilah yang membuat respon negara-negara Islam berbeda terhadap isu Palestina.

photo
Para pengunjuk rasa berdemonstrasi di luar kedutaan AS untuk mengutuk tindakan militer di Palestina, Yaman, dan Suriah, Sabtu, 5 April 2025 di Tunis. - (Ons Abid)

Fawaz Gerges, pakar hubungan internasional Timur Tengah, dalam The Arab World (2018), berpendapat bahwa pasca Arab Spring, solidaritas antarnegara Muslim melemah karena fokus pada stabilitas domestik dan konflik regional. Tak heran jika Arab Spring dicurigai sebagai skenario rekayasa untuk melemahkan kekuatan dunia Islam yang sebelumnya dipimpin tokoh-tokoh Arab berpengaruh. Noam Chomsky kerap menyoroti bagaimana politik luar negeri Amerika dan sekutunya sengaja memecah belah dunia Islam demi kepentingan geopolitik, terutama untuk melanggengkan penjajahan Zionis di Palestina. Dalam Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians (1999), Chomsky secara lugas menyatakan bahwa fragmentasi dunia Islam adalah hasil warisan kolonialisme dan strategi divide and rule Barat. Kekacauan di Timur Tengah pun tak lepas dari campur tangan aliansi global yang dipimpin Amerika dan Zionis.

Kegagalan kolektif negara-negara Islam dalam membela Palestina adalah cerminan kegagalan politik dalam menjalankan visi kebangkitan Islam. Konteks politik yang terbungkus dalam negara telah gagal sebagai instrumen untuk kejayaan Islam. Bahkan untuk membela Palestina yang terjajah dan tertindas saja tidak mampu, lemah dan loyo. Banyak pula negara-negara Islam yang retoris mengecam tanpa bisa mengambil tindakan nyata seperti pemutusan diplomatik, embargo, apalagi aliansi militer.

Jika realitas dunia Islam dalam perspektif kekuasaan dan politik negara begitu lemah, jalan dan instrumen apa yang dapat ditempuh untuk mewujudkan cita cita perdamaian dunia dan mengakhiri kedzaliman terhadap umat Islam di Palestina? Untuk apa semua kemegahan dan kemajuan negara Islam yang akhir akhir ini sering dipamerkan? Organisasi Konferensi Islam tidak bergigi, KTT yang mandul menjelma menjadi romantisme kosong. Dunia Islam hanya bisa mengutuk dalam bisikan dan menyaksikan kebangkrutan ukhuwah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement