
Oleh : Buya Anwar Abbas*)
Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang membantah Indonesia berada dalam fase krisis lapangan kerja terasa aneh dan terkesan tidak mau mengakui kenyataan. Padahal, faktanya memang seperti itu.
Sebagai contoh, wakil presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (Pak JK) menceritakan, perusahaannya membutuhkan 20 orang insinyur. Yang melamar lowongan itu mencapai 23 ribu orang.
Di kawasan Santiong, Cianjur, Jawa Barat, terlihat antrean pelamar kerja yang mengular hanya untuk satu lowongan toko ritel. Apakah ini tidak mencerminkan bahwa di Indonesia telah terjadi krisis lapangan kerja?
Kelihatan bahwa sang menteri dalam hal ini ingin mengondisikan masyarakat luas agar mereka tetap optimis. Oleh karena itu, Menaker tampaknya tidak mau mempergunakan kata-kata yang menyatakan, di negeri ini telah terjadi krisis lapangan kerja.
Sebab, kata-kata demikian secara psikologis---menurut sang menteri---akan menimbulkan ketakutan. Pernyataan Menaker mungkin ada benarnya.
Namun, menggunakan kata-kata halus untuk menggantikan kata-kata yang tidak menyenangkan, sering disebut sebagai eufemisme, juga memiliki beberapa dampak negatif. Sebab, eufemisme terkadang dapat menyamarkan masalah yang sebenarnya.
Bahkan, penggunaan eufemisme suka-suka tidak mendorong kita untuk melakukan tindakan perbaikan. Akibatnya, eufimisme bisa menjadi sesuatu yang menyesatkan.
Mengapa demikian? Sebab, mempergunakan kata-kata yang diperhalus cenderung membuat bahasa menjadi berbelit-belit, sulit untuk dipahami. Alhasil, makna dari bahasa yang dipergunakan menjadi kabur dan tidak efektif.
Bahkan, yang lebih parah lagi, eufemisme bisa membuat seseorang atau sebuah instansi lari dari tanggung jawabnya. Hal ini tentu tidak kita inginkan.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah jangan sibuk memperhalus kata-kata lugas yang mestinya disampaikan kepada masyarakat. Akan lebih baik kiranya jika pemerintah dengan dunia usaha serta masyarakat luas sibuk berikhtiar mengatasi masalah yang ada dalam kata-kata tersebut.
Dalam hal ini, caranya dengan menciptakan lapangan kerja sehingga masalah pengangguran dan pencari kerja di negeri ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
*) Dr H Anwar Abbas MM MAg atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.